Margi dengan seragam sekolahnya kembali datang ke kediaman kakak satu-satunya dari ibunya tersebut dengan sepeda motor. Meski sudah ditolak mentah-mentah kemarin, tidak sama sekali memberikannya efek jera.
“Eh, Mas Margi,” sapa Mbak Hana gembira, mempersilakan Margi untuk masuk.
“Tante, apa kabar, Mbak? Apa sudah baikan?” tanya Margi sembari menyerahkan keranjang berisi beraneka ragam buah yang ia jinjing sedari tadi.
Mbak Hana menerima keranjang tersebut dan menjawab pertanyaan Margi. “Belum, Mas, dari kemarin belum mau makan.”
“Mas Margi, siang-siang gini gak sekolah?” celetuk Mbak Hana yang baru sadar kalau ini bukan hari libur.
“Kebetulan hari ini pulang cepat, Mbak, gurunya ada rapat. Sekolah aku juga gak jauh dari sini, makanya mamah pesan untuk mampir sebentar jenguk tante,” terang Margi.
“Duduk dulu kalau gitu, Mas. Saya mau menaruh buah ini di kamar ibu dulu. Oh iya, Mas Margi mau dibuatkan minum apa?” tanya Mbak Hana kembali.
“Gak usah, Mbak. Saya mau lihat kondisi tante saja, abis itu langsung pulang,” jelas Margi buru-buru.
“Apa gak apa-apa, Mas? Saya takut nanti Mas Margi diomeli lagi,”
Margi mengangguk, ia siap menerima segala konsekuensi dari kunjungannya kali ini. Meski terkesan ketus, Margi yakin kalau lambat laun hubungan ia dan tantenya serta hubungan kakak-beradik mama dan tantenya itu akan kembali seperti sedia kala. Margi pun memasuki kamar tantenya dengan langkah yang hampir tak terdengar, beruntungnya wanita itu sedang tertidur pulas. Setelah puas melihatnya, ia pun melakukan apa yang sudah ia katakan sebelumnya dan berpamitan pada Mbak Hana untuk pulang.
...***...
Kedua netra berwarna coklat pekat milik gadis yang tangannya ditarik oleh Genta membulat dengan sempurna setelah melihat puluhan kertas dengan sketsa-sketsa indah berserakan di kamar Tera. Dengan cekatan Tera menutup pintu untuk membatasi pandangan gadis tersebut yang sudah terlanjur melihat karyanya.
“Upss, pertunjukan selesai,” ledeknya dengan raut wajah yang lega karena berhasil menutup pintu kamarnya.
“Yaah, Ter, kenapa sih, penasaran tau,” keluh Rui menekuk bibir tipisnya.
“Jangan ya, mending kamu lihat punya Genta saja.” Tera beralih ke pintu yang berada disampingnya dengan cepat, lalu membuka pintu kamar tersebut ketika Genta lengah tak memerhatikan.
“Eh, eh, jangan, jangan!” larang Genta terlambat.
Pintu yang sudah terlanjur terbuka memperlihatkan suasana kamar Genta yang berantakan dengan alat lukis dan kanvas-kanvas yang harus terjeda dirapikan karena kedatangan Rui. Genta yang ingin menutup kembali pintu kamarnya itu dengan cepat langsung dihalang oleh Rui.
“Sebentar, kali ini aku benar-benar penasaran,” ucapnya sambil melangkah perlahan masuk ke kamar Genta.
Ia mengambil salah satu kanvas Genta yang sudah dilukisnya dengan pemandangan Bloom di malam hari. Walau baru pertama kalinya Genta melihat Bloom yang indah di malam kedatangannya, ia berhasil mengilustrasikan ke dalam lukisannya dengan cukup detail.
“Wow…Ini bagus banget, Gen,” puji Rui sambil memandangi lukisan itu dalam-dalam.
Wajah Genta seketika merona, terlebih pada area pipinya yang sedikit chubby. Tanpa sadar senyumnya juga ikut mengembang, memperlihatkan dengan jelas kedua dimple yang ia punya. Tera yang melihat itu, menyikut kecil lengan Genta. “Lo, salting,” ledek Tera dengan suara lantang yang berhasil mengundang tatapan Rui lalu tertawa. Genta yang mendadak tersipu mengganti ekspresinya dengan cepat.
“Sudah, sudah, keluar semuanya,” bentak Genta membubarkan Tera dan Rui yang masih di dalam kamarnya dan mengajak mereka untuk kembali ke ruang tamu. Ketiganya lalu duduk di sana dengan perasaan yang kembali canggung. Sesekali Tera menggaruk rambutnya yang tidak gatal sambil memikirkan kata-kata apa yang harus dikeluarkan untuk memecahkan kecanggungan diantara mereka bertiga.
Rui yang menyadari wajah bingung kedua pria yang ada di sisinya tiba-tiba terkekeh, kedua matanya membentuk lengkungan bulan sabit sampai bola matanya benar-benar menghilang diikuti dengan butiran kecil air yang keluar dari kedua sudut matanya.
“Kenapa sih, kalian?” ujarnya yang akhirnya berhasil memecah kecanggungan diantara mereka. “Eh, ngomong-ngomong, karya kalian itu sebenarnya bagus-bagus loh, tapi kok kalian gak pede gitu, sih?” sambungnya dengan wajah yang berubah menjadi lebih serius.
Genta dan Tera terdiam seribu bahasa, mulut mereka mendadak kelu. Namun, melihat wajah Rui yang sangat menantikan jawaban dari mereka membuat Genta lebih dulu memberanikan dirinya untuk angkat suara.
“Aku gak yakin sih, tapi salah satunya kemungkinan hal ini terjadi adalah kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk keluargaku,” jelas Genta sambil menunduk.
“Lho, tapi apa alasannya?” tanya Rui yang masih belum bisa mengerti apa yang dikatakan oleh Genta.
“Ya, Rui. Orang tua di Barren sungguh egois. Mereka tidak akan mau mendukung sesuatu yang tidak mereka harapkan. Contohnya seperti aku dan Genta, orang tua kami sudah menentukan jalan yang harus kami ambil dan itu sama sekali tidak sesuai dengan passion dan kemampuan kami,” tambah Tera.
“Benarkah?” ujar Rui memvalidasi.
Genta dan Tera mengangguk meyakinkan bahwa apa yang mereka ucapkan bukanlah hal yang tidak sebenarnya terjadi. Wajah Rui ikut bersedih, lantaran ia tidak pernah mendengar ada hal semenakutkan itu selama tinggal di Bloom.
“Apa kamu pernah merasakannya?” tanya Genta heran setelah melihat perubahan ekspresi teman barunya itu.
Rui menggeleng, lalu ia menceritakan apa yang dirasakannya selama tinggal di distrik kelahirannya itu. “Aku tidak pernah merasakannya, bahkan sampai saat ini aku tidak tahu ke mana tujuanku selanjutnya dan menjadi sosok yang seperti apa nanti di masa yang akan datang, tapi aku mencoba melewati semua itu dengan santai dan tidak terburu-buru. Aku turut sedih saat mengetahui ternyata orang tua di Barren bersikap seperti itu sekaligus bangga melihat kalian yang mungkin berusia sebaya denganku tetapi sudah dapat menentukan sendiri tujuan kalian.”
Genta dan Tera dibuat terkejut setelah mendengar cerita dari Rui, mereka tidak mengira jika Rui yang sama-sama berusia 20 tahun bisa dengan santainya mengatakan bahwa ia belum mempunyai tujuan. Sedangkan di Barren, setelah lulus sekolah pemuda di sana sudah dihadapkan dengan pilihan orang tua mereka.
“Kamu gak bercanda kan?’ tanya Genta.
Rui kembali menggelengkan kepalanya. “Masyarakat di Bloom begitu optimis dengan kehidupan mereka. Mereka tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal yang tidak terjamin akan terjadi. Cukup jalankan tanpa mengkhawatirkannya, begitulah kata-kata yang kuingat dari kedua orang tuaku,” terang Rui.
“Bagaimana jika mereka menjadi seseorang yang malah di luar ekspektasi mereka? Maksudku, kau tau kan para tuna wisma yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan bertebaran di tepi-tepi gedung tinggi untuk berteduh?” tanya Tera.
“Mereka semua akan menikmati itu, ya walaupun tidak terlalu banyak orang-orang seperti itu yang bisa kau temukan di Bloom,” balas Rui.
“Menikmati? Bagaimana bisa?” potong Genta merasa tak masuk akal. Rui membenarkan posisi duduknya, lalu kembali menjelaskan kepada kedua pemuda itu bagaimana kehidupan di distrik kelahirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments