Kehadiran Genta dan Tera secara tiba-tiba di dalam ruang pembuatan dokumen perizinan berhasil mengejutkan petugas berkacamata itu dan membuyarkan lamunannya.
“Pak, kami sudah selesai,” ujar Tera sambil melambai-lambaikan secarik formulir dengan bangga.
Petugas itu melemparkan senyuman tipis setelah melihat semangat keponakannya yang persis dengan semangat masa mudanya dulu. “Baik, silakan duduk dulu ya,” pintanya. Lalu ia membaca satu-persatu isi formulir yang sudah diisi oleh Tera dan Genta. Kedua mata petugas itu dengan cepat bergerak ke arah kiri dan kanan, mengikuti setiap baris pada paragraf yang tertulis di sana. Belum saja membaca sampai akhir, ia sudah bisa menemukan hal yang harus diperbaikinya.
Sama seperti apa yang di duga sebelumnya, tujuan yang Tera dan Genta tulis sama dengan tujuan masa mudanya yang membuat ia terjebak dalam distrik kutukan ini seumur hidup.
“Aku minta izin untuk mengganti tujuan kalian, ya,” izin petugas itu sambil mengetik alasan yang berbeda pada dokumen yang akan ia cetak.
“Lho, kenapa?” tanya Tera dengan dahi yang mengerut.
“Apakah tujuan yang kami tulis itu salah, Pak?” potong Genta dengan penuh tanda tanya di kepalanya.
“Tidak, tidak, tidak ada yang salah dari tujuan yang sudah kalian tulis, semua itu baik, tapi jika memang kalian benar-benar ingin mewujudkan mimpi di luar distrik ini, satu-satunya hal yang bisa kubantu adalah memalsukan perizinan kalian,” ungkap petugas itu terus terang.
“Apa pemerintah distrik akan menolaknya jika kami tetap menggunakan tujuan tersebut?” tanya Tera yang masih penasaran.
“Ya, itu benar. Mereka tidak ingin penduduk di Barren ini memiliki impian yang tidak sejalan dengan impian orang tuanya, mereka menyebutnya sia-sia dan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kalian jika perizinan itu pernah tertolak adalah kalian tidak akan bisa merevisinya dan terjebak dalam distrik ini selamanya,” jelas petugas itu menggebu-gebu.
“Kalau begitu mengapa Bapak membantu kami, bukannya Bapak bekerja untuk pemerintahan distrik ini?” protes Genta kritis karena merasa janggal dengan apa yang dilakukan oleh petugas analisis itu untuknya dan Tera.
“Siapa bilang aku bekerja untuk pemerintahan distrik ini? Aku hanya bekerja untuk mengobati luka di hatiku yang sampai saat ini belum pulih sebab penolakan perizinan yang ku ajukan 10 tahun silam,” timpal petugas, “Hal itu membuatku ingin membantu siapa pun yang memiliki kepentingan untuk keluar dari distrik Barren ini, agar tidak bernasib sama sepertiku, apalagi jika untuk mewujudkan cita-cita seperti apa yang ingin kalian lakukan ini.”
“Pak,” ucap Tera dengan mata yang penuh binar. “Kami sangat berterima kasih untuk itu,” sambungnya sambil tersenyum tipis.
“Lantas bagaimana kami bisa membalas kebaikanmu ini, Pak?” tanya Genta lagi yang merasa keberatan menerima kebaikan petugas di hadapannya itu.
“Kejarlah impian itu, buktikan kepadaku bahwa aku tidak sia-sia membantu kalian berdua untuk melintasi distrik ini. karena dengan begitu, aku sudah sangat puas,” pinta petugas dengan wajah yang serius.
“Baik, Pak!” jawab Genta dan Tera dengan kompak.
Setelah surat perizinan mereka selesai dicetak di hari itu juga, Genta dan Tera berpamitan kepada pak petugas yang baik hati itu. Mereka juga tidak henti-hentinya mengucapkan kata terima kasih atas bantuan yang telah mereka terima. Sebagai pengantri terakhir yang datang di hari itu untuk mengurus perizinan, membuat pak petugas memiliki waktu untuk turut ikut mengantar kepergian mereka berdua menuju gerbang perbatasan distrik.
Selama pengantaran yang tidak jauh itu berlangsung, pak petugas belum memberitahu apapun tentang ia yang sebenarnya masih memiliki hubungan darah dengan Tera. Bukannya tidak mau menganggapnya sebagai keponakan yang sah, ia sengaja menyembunyikan hal itu agar Tera dapat mandiri dan tidak bergantung padanya. Suatu saat nanti ketika waktu yang tepat tiba ia berjanji pada dirinya sendiri akan menceritakan semua itu kepada anak dari kakaknya yang hampir 19 tahun tidak ia temui karena sibuk dengan urusan pemerintahan.
...***...
Pintu perbatasan distrik terbuka lebar setelah Genta dan Tera menunjukkan surat perizinan mereka yang masih hangat kepada ketua penjaga perbatasan. Kemudian, ia melajukan sedan hitamnya yang mengkilap melewati perbatasan distrik tersebut dengan kecepatan penuh.
Setelah perbatasan Barren tidak lagi terlihat dari balik laju mobilnya, Genta menurunkan kaca jendela mobil itu penuh, membiarkan udara luar yang kencang masuk memenuhi ruangan mobilnya. Tera yang berada di sebelahnya mengikuti apa yang temannya itu lakukan, membuat rambut mereka berdua terkibas tak berarah. Keduanya tertawa dengan puas, ini barulah langkah awal mereka untuk mewujudkan masing-masing apa yang ingin mereka gapai.
“Woooah,” sorak keduanya kompak diikuti dengan gelak tawa.
“Kita berhasil Gen, kita berhasil,” seru Tera kegirangan. Genta yang tidak dapat mengatakan sepatah kata pun karena terlalu bahagia hanya bisa membuka mulutnya lebar-lebar dan tertawa puas.
“Gen, sebentar, deh,” celetuk Tera yang berhasil membuat Genta menoleh ke arahnya serta menghentikan laju mobilnya mendadak, untungnya jalanan besar yang mereka lewati sepi dari penggunanya jadi tidak menyebabkan bahaya yang dapat mencelakakan nyawa orang lain”
“Kenapa sih, Ter?” tanya Genta sedikit kesal.
“Alamat rumah Paman Gue, kayaknya ketinggalan deh di kamar, hehe,” ungkap Tera.
Genta hanya dapat menatap Tera sinis, pasalnya mereka tidak mungkin kembali lagi ke rumah Tera karena jarak yang sudah terlanjur jauh tertempuh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments