Chapter 6: Kantor Perizinan

Suasana ruang tunggu kantor perizinan yang serba putih itu terlihat sangat tenang. Dilengkapi dengan kursi-kursi yang tersusun rapi, meja-meja dengan literatur dan brosur yang beragam, serta beberapa papan pengumuman yang menampilkan informasi terkini seputar keadaan di Distrik Barren. Biasanya orang-orang yang duduk di sana menunggu giliran untuk mengurus berbagai urusan administratif dan mendapatkan perizinan keluar dari distrik oleh petugas. Begitu juga dengan Genta dan Tera.

Salah satu petugas memberikan secarik kertas bertuliskan nomor dengan ukuran font yang cukup besar di permukaannya. Genta yang melihat itu, meraih secarik kertas yang disodorkan oleh petugas tersebut. Tubuh petugas yang memberikan nomor antrian itu tidak sebesar dan sekekar petugas yang menjaga perbatasan Barren tadi, membuat Genta mengenali bahwa orang itu bukan Pak Ketua yang membawanya dan Tera ke ruang tunggu ini. Sebab hampir semua petugas di tempat ini dengan kompaknya mengenakan setelan jas serba hitam, membuat orang yang melihat merasa mereka adalah orang yang sama.

Tera mengambil kertas yang ada di genggaman Genta, ia penasaran dengan angka antrian yang mereka dapatkan. Setelah puas melihatnya, kertas itu kembali ia letakan pada tangan Genta.

"Padahal gak keliatan banyak orang ya yang ngantri, tapi nomer antrian kita banyak banget," keluh Tera saat melihat nomor antrian yang menunjukan angka 24.

"Bisa-bisa waktu kita habis untuk menunggu doang, kalau begini," sambung Genta resah sambil melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 siang.

Genta pun beranjak dari duduknya lalu menghampiri petugas yang memberinya nomor tadi dan memberanikan diri untuk bertanya.

"Permisi Pak," sapanya. "Saya baru pertama kali ke sini, katanya untuk pergi keluar distrik ini harus mengurus surat perizinan terlebih dahulu, untuk membuat surat tersebut apa saja ya Pak yang harus dipersiapkan?" tanya Genta.

"Banyak, Dik," jawab petugas itu dengan sangat singkat.

"Nah, banyaknya itu apa saja Pak, biar saya bisa menyiapkan sekarang agar mempersingkat waktu?" tanya Genta kembali, karena jawaban tadi tidak sepenuhnya menjawab rasa ingin tahunya itu.

"Adik lebih baik duduk kembali dan tunggu saja sampai nomornya terpanggil," tegas petugas tersebut sambil menuntun Genta kembali ke tempat duduknya.

Tera yang tidak tahu perdebatan apa yang baru saja terjadi antara temannya dengan petugas itu hanya memasang wajah bingung ketika melihat Genta mendengus kesal di sampingnya. Setelah hampir dua setengah jam berlalu nomor antrian mereka akhirnya terpanggil. Tubuh mereka yang tadinya sudah layu menjadi kembali bersemangat.

"Kalian berdua?" tanya petugas yang berbeda tetapi masih dengan setelan jas serba hitam yang sama.

"Iya," balas mereka kompak sambil mengepaskan posisi duduk di dua bangku yang diletakkan berhadapan dengan petugas itu.

"Apa masih satu keluarga?" tanya petugas itu lagi.

Mereka berdua saling menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan, Pak," jawab Genta akhirnya angkat suara.

"Kalau begitu, kalian masing-masing harus memiliki surat perizinan ya. Bisa diserahkan dulu identitas pribadinya," pinta pria tersebut sambil menyalakan layar monitor yang berada di samping kanannya. Genta dan Tera menyerahkan kartu identitas mereka masing-masing.

"Lalu, alasan kalian pergi ke distrik lain kenapa, berapa lama, tujuannya apa, dan adakah teman atau keluarga yang tinggal di sana?"

Pertanyaan beruntun itu membuat Genta dan Tera saling menatap satu sama lain dengan wajah yang bingung. Pasalnya mereka tidak tahu akan tinggal berapa lama disana dan alasan yang tepat mengapa pergi dari Distrik ini.

"Apa gak apa-apa dijawab jujur aja?" bisik Genta di telinga Tera.

"Waduh, Gue juga gak tau, emang bakalan aman?" balas Tera khawatir.

"Ekhm! Jadi, bagaimana?" tanya pria itu sudah menanti lama jawaban yang akan keluar dari mulut kedua pemuda yang malah saling berbisik di hadapannya itu.

"Boleh diskusi dulu Pak?" pinta Tera sambil melemparkan cengiran masam.

"Oh, dari tadi lama nunggu belum tau apa-apa," ucap petugas itu. "Baik, boleh didiskusikan dulu tapi jangan lama-lama ya, saya sekalian mau input identitas kalian dulu, untuk sementara kalian juga bisa mengisinya terlebih dahulu di sini," pesannya dengan ramah sambil memberikan secarik formulir yang sudah lengkap dengan format pertanyaan yang persis sama seperti yang baru saja ia tanyakan.

"Baik, Pak, terima kasih," ucap Tera sambil menerima secarik kertas berukuran F5 tersebut.

Setelah Genta dan Tera beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan petugas itu seorang diri. Pria berkacamata yang berkalungkan id card sebagai Analisis Dokumen Perizinan itu memastikan kebenaran data penduduk Barren dengan identitas mereka masing-masing yang tadi sudah diberikan kepadanya. Selain itu, pria berusia 35 tahun itu juga mengecek status kepergian mereka, karena sudah menjadi peraturan pemerintahan di distrik Barren jika sebelumnya perizinan mereka pernah ditolak maka tidak dapat mengajukan ulang perizinan seumur hidup.

Sepasang pupil mata pria tersebut tiba-tiba membesar diikuti dengan alisnya yang tanpa sadar juga terangkat setelah melihat identitas diri milik Tera. Seolah tak percaya, ia pun kembali memastikan data-data yang ada. Berulang kali ia mengecek kesamaan identitas Tera dengan data keluarga besarnya yang ia simpan, hasil yang keluar tetaplah sama. Hal itu menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki hubungan darah dengan Tera. Sekujur tubuh pria itu pun mendadak kaku, pandangannya juga menjadi kosong. Ingatannya kembali jauh ke sepuluh tahun yang lalu, dimana usianya setara dengan Tera saat ini.

...***...

"Jadi, apa yang membuatmu ingin pergi dari Distrik Barren?" tanya seorang petugas di hadapannya.

"Aku ingin mewujudkan impianku di luar distrik ini," ucap pemuda culun berkacamata dengan penuh semangat.

"Apa karena bertolak belakang dengan profesi orang tuamu saat ini?"

"Ya, itu benar, aku ingin pergi dari sini dan merubah takdirku, aku tidak ingin menjadi pegawai negara seperti orang tuaku, aku ingin hidup dengan jalanku sendiri," jelasnya dengan jujur.

Mendengar pernyataan dari bocah 20 tahun dihadapannya membuat petugas perizinan itu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, Apa katamu?, maka lebih baik perizinan mu itu kutolak mentah-mentah."

"Mengapa?"

"Karena impian itu hanyalah omong kosong, cukup ikuti saja tuntutan orang tua mu yang realistis itu, atau kau akan sengsara dengan pilihanmu sendiri. Dengar, aku hanya melindungimu dari kegagalan yang akan mengecewakanmu itu, Nak!" tegasnya.

Jawaban itu membuat pemuda berkacamata naik pitam sampai-sampai mengentak keras meja dihadapannya,"Bagaimana bisa kau melabeli semua itu dengan mudah tanpa mencobanya?"

"Tutup mulutmu sekarang juga, karena aku sudah mencetak pernyataanmu yang sudah mentah-mentah kutolak barusan, dengan itu pilihanmu sekarang hanya satu, ikuti jalan yang sudah ada!"

"Heyy, bagaimana bisa seperti itu?" amuk pemuda dengan suara yang mungkin bisa terdengar dari luar ruangan.

"Sudah cukup, keputusan tetaplah keputusan, keluarlah sekarang juga sebelum kupanggilkan penjaga diluar sana untuk mengusirmu dengan paksa," bentak petugas itu dengan nada bicara yang tak kalah lantang.

Pemuda itu pun keluar dari ruangan dengan amarah yang berhasil menguasai dirinya. Sejak pertengkaran yang tidak mengenakan antara dirinya dengan petugas perizinan itu terjadi, mimpinya berubah, ia bersedia untuk tetap berada di jalan yang sudah dipilih oleh orang tuanya. Akan tetapi, dengan tujuan yang berbeda.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!