Ternyata di bawah kaki bukit itu, terdapat anak sungai yang mengalir. Namun, yang membuat Aril mengucapkan hamdalah bukan karena adanya anak sungai tersebut. Tapi karena matanya menangkap beberapa pohon yang tumbuh di sana.
"Ada pohon singkong, Bas!" kata Aril, sambil mengembangkan senyum.
"Iya, ternyata di sini ada pohon singkongnya. Pasti lahan ini milik salah seorang petani," jawab Basri sok tahu.
Ada kegembiraan di hati Basri. Mungkin, rasa gembira yang dirasakannya, melebihi rasa gembira yang dirasakan Aril. Soalnya, ini tentang makanan. Sesuatu yang diharapkan Basri dari tadi.
Malam ini mereka tidak akan kelaparan, sudah ada sumber makanan yang akan mereka nikmati.
Ketakutan dan kecemasan yang tadi bercokol di hati Basri, kini telah lenyap entah ke mana, gara-gara melihat pohon singkong itu.
"Kamu membawa korek api?" tanya Aril.
"Ada!" Basri memeriksa saku yang ada di celananya, kemudian mengeluarkan korek api gas yang selalu dia bawa. Korek itu dia angkat di depan wajahnya.
"Koreknya masih ada, tapi rokoknya sudah habis." Basri menyalakan korek tersebut, dengan mulut mengembangkan senyum.
"Yang penting koreknya. Buat apa rokok? Hanya merusak kesehatan!" balas Aril. Senyum juga mengembang di bibirnya.
Aril berkata demikian karena dia tidak perokok. Berbeda dengan Basri, meskipun tidak perokok berat, tapi dia selalu mengantongi rokok jika ikut berburu dengan kelompok Tarjo.
Apalagi korek api gas. Benda yang satu ini tidak pernah lepas dari kantongnya. Wajib dibawa ke mana-mana. Sebab, Basri punya trik tersendiri. Bila punya korek api, biasanya suka ada rejeki yang menghampiri.
Rejeki dalam bentuk sebatang rokok.
Ada saja orang yang meminjam koreknya untuk menyulut rokok. Bila telah begitu, Basri akan ditawarkan sebatang rokok dari orang yang meminjam koreknya tadi. Tentu saja Basri tidak akan menolak.
Jika mereka tidak menawarkan, maka Basri-lah yang memintanya. Oleh sebab itu, Basri lebih suka mengantongi korek ketimbang rokok.
"Malam ini kita akan makan singkong. Sesuatu yang sangat menyenangkan, bisa membakar singkong di alam terbuka. Apalagi bulan sedang purnama." Aril berkata sambil mendongak ke langit. Menatap rembulan yang sedang tersenyum.
"Ayo, kita ambil!" ajak Basri. Sepertinya dia sudah tidak sabar, untuk mencabut beberapa pohon singkong, yang tumbuh subur di pinggir kali.
"Ayo!" Aril menyetujui.
Kedua pemuda itu menuruni sengkedan tanah yang cukup landai. Cuma butuh waktu sesaat bagi mereka untuk mencapai lokasi yang ditumbuhi pohon singkong tersebut.
Pohon singkong itu tumbuh tidak beraturan, maka bisa disimpulkan bahwa tanaman itu termasuk tanaman liar, alias tidak ada yang menanam. Tumbuh begitu saja.
Beberapa saat kemudian, mereka sibuk mencabut pohon singkong. Tidak ada lagi rasa takut di hati mereka, meskipun mereka sekarang sedang berada di tengah hutan.
Sungguh dua pemuda yang pemberani.
Mungkin keberanian itu disebabkan oleh mental mereka yang sudah terasah sebagai seorang pemburu.
Tapi, kemungkinan besar keberanian itu disebabkan oleh fikiran mereka sendiri, yang sibuk berhayal akan nikmatnya singkong bakar. Sehingga mereka jadi lupa dengan yang namanya takut.
Atau, mungkin juga karena malam ini suasananya sangat terang. Hampir seperti siang. Sebab bulan purnama yang penuh, seakan ikut menemani mereka, dengan menumpahkan semua sinarnya ke permukaan bumi.
Belum lagi jutaan bintang di atas langit. Kumpulan bintang itu, juga ikut memberikan sumbangsih cahaya, untuk membantu sang rembulan menerangi alam semesta.
"Sudah, Bas ... ini sudah cukup untuk kita makan berdua!" seru Aril.
Basri mengurungkan niatnya, ketika dia hendak mencabut satu pohon singkong lagi, yang cukup besar.
"Di mana akan kita bakar singkong ini?" tanya Basri dengan tatapan mengarah pada Aril, setelah dia menyarungkan golok ke sarangnya. Sementara mulutnya masih asyik mengunyah singkong mentah yang dia lalap.
"Kita ke seberang sungai. Ke kaki bukit itu! Kita harus menemukan goa terlebih dulu, untuk tempat kita bernaung. Kita membakar singkong ini di depan pintu goa itu nanti. Biar binat4ng buas atau binat4ng berbisa lainnya menghindar dari sana," jawab Aril menerangkan.
Apa yang dikatakan Aril langsung disetujui Basri, tanpa banyak protes lagi seperti kebiasaannya selama ini. Mungkin hal itu terjadi karena adanya singkong di antara mereka.
Mata Basri menilik anak sungai yang akan mereka seberangi.
Anak sungai itu tidak begitu besar, hanya berbentuk kali kecil dengan air yang bening. Mungkin lebarnya sekitar satu meter.
Dengan ukuran seperti itu, tentu tidak sulit bagi kedua pemuda tersebut untuk menyeberanginya, meskipun di tangan mereka terdapat beberapa bongkah singkong yang cukup besar.
Sekali lompatan, mereka telah berpindah ke seberang kali.
Di seberang kali, mereka memipir sisi kaki bukit cadas, yang teronggok seperti batu karang.
Mata mereka meneliti setiap tempat yang memiliki cekungan. Tidak begitu lama mereka melakukan hal tersebut, akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari.
Sebuah cekungan di antara batu-batu yang berbentuk seperti goa. Tempat itulah yang mereka pilih untuk melewati malam.
Pintu goa itu memang tidak terlalu besar, diameternya mungkin tidak lebih dari satu meter. Namun Aril yakin, ruangan di dalam goa tersebut cukup luas.
"Pinjam golokmu!" kata Aril, setelah dia meletakkan bawaannya di depan pintu goa.
Basri pun ikut meletakkan singkong yang ada di tangannya pada tempat yang sama, menyatukannya dengan singkong yang dibawa Aril tadi.
Setelah golok berpindah tangan, Aril mengambil pelepah kelapa kering, yang berserakkan di sekitar sana.
Aril memisahkan daun kelapa dari dahannya, sementara Basri menyatukan daun-daun kelapa tersebut dalam ikatan, membentuk suluh.
Setelah dapat beberapa ikatan, mereka membakar bagian ujungnya. Tempat itu pun semakin terang, ketika ujung suluh telah dimakan api.
Dengan suluh di tangan, Aril memeriksa bagian dalam goa. Ternyata bagian dalam goa tersebut cukup luas. Sangat lega, bila mereka gunakan untuk tidur berdua. Apalagi, tidak ada binatang yang mereka lihat di dalam goa.
Bagian dasar dari goa tersebut, hanya hamparan batu yang datar, tanpa ada rumput, bahkan debu pun tidak ada di sana.
"Sebaiknya kita cari daun-daunan, atau apa saja yang bisa kita gunakan untuk alas tidur terlebih dulu. Juga beberapa pohon untuk menutupi pintu goa ini," usul Aril, setelah mereka selesai memeriksa bagian dalam goa.
"Betul! Kita harus bikin tempat ini senyaman mungkin untuk tidur, dan terlindung dari gangguan bin4tang buas." Basri membenarkan apa yang dikatakan Aril.
Kedua pemuda itu mulai mengumpulkan ranting dan dedauan untuk menyalakan api. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa menit kemudian, api unggun yang cukup besar telah menyala di depan goa tersebut.
Dengan bantuan cahaya api unggun dan suluh di tangan, Aril dan Basri mulai merapikan goa. Mereka juga mengasapi bagian dalam goa, untuk mengusir nyamuk atau binat4ng yang barangkali masih ada di sana.
Setelah memberi alas pada dasar goa, lalu mereka menyatukan beberapa kayu dengan ukuran sedang, dalam ikatan kecil, berbentuk jeruji.
Ikatan kayu yang berbentuk jeruji itulah yang akan mereka gunakan untuk menutup pintu goa, agar aman dari gangguan bin4tang buas di kala mereka tidur.
Di saat sedang bekerja, Basri bertanya pada Aril, apa yang terjadi dengan Aril selama dia hilang di tengah hutan.
Aril menceritakan kisahnya selama berada di dalam hutan. Tapi, kisah itu dia karang sendiri, alias bohong.
Aril tidak menceritakan tentang kampung Lubuk Agung dan keluarga pak Sarwo pada Basri. Sebab, Aril tidak ingin diberondong oleh pertanyaan yang aneh-aneh oleh Basri yang suka kepo.
Tidak begitu lama, apa yang mereka kerjakan telah selesai. Setelah memeriksanya, dan yakin dengan keamanan tempat yang akan mereka gunakan, kemudian mereka pun membakar singkong.
Mereka mengambil sebagian bara dan abu panas yang ada pada api unggun, kemudian menimbun singkong dengan bara dan abu panas tersebut. Begitulah cara mereka membakar singkong.
"Membakar singkong dengan cara seperti ini lama matangnya, tapi rasanya lebih gurih dan nikmat," ucap Basri, ketika mereka sedang menimbun singkong tersebut dengan bara dan abu panas. Aril membenarkan apa yang diucapkan Basri itu.
"Memang kamu masih lapar?" tanya Aril.
"Iya!" Basri mengangguk.
"Kan kamu sudah makan singkong mentah. Mana banyak lagi! Kok masih lapar?" Aril bertanya sambil melepaskan senyum.
Tadi memang Basri memakan beberapa bonggol singkong mentah. Tapi, ternyata hal itu tidak membuat rasa laparnya hilang.
"Mana bisa kenyang makan singkong mentah, yang ada juga mencret," jawab Basri, yang disambut tawa oleh Aril.
"Sambil menunggu singkong matang, bagaimana kalau kita mencari ikan? Hitung-hitung buat lauk," usul Basri, sesaat kemudian.
"Baiklah!" Aril menyetujui.
Sebelum mereka menuju kali, Aril menutup pintu goa dengan jeruji kayu yang mereka buat tadi. Hal itu dia lakukan untuk mencegah bin4tang masuk ke dalam goa tersebut, selama mereka pergi.
Setelah yakin dengan keamanan pintu goa, kedua pemuda tanggung itu berjalan beriringan, dengan suluh yang menyala di tangan mereka.
Cahaya yang dipendarkan suluh, membuat suasana di sekitar mereka semakin terang.
Belum beberapa meter mereka meninggalkan pintu goa, sesosok makhluk putih muncul di sana. Makhluk itu tiba-tiba saja berdiri di depan goa. Entah dari mana datangnya.
Sesaat makhluk tersebut memperhatikan jeruji kayu yang menutup pintu goa. Kepalanya menunduk, bahkan membungkuk, seakan sedang memindai pintu goa yang tertutup.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments