Selesai mandi, badan Aril terasa segar, dia pun bergegas masuk kamar. Ternyata di kamarnya hidangan telah tersedia.
Melihat hidangan tersebut, Aril langsung berselera, apalagi ketika melihat ikan mas bakar yang begitu besar, tergeletak pasrah di atas piring, siap menunggu untuk disantap.
Benar-benar istri yang luar biasa, batin Aril memuji, eh ... segera saja tangannya bergerak hendak menjitak kepala. Tapi urung, karena ada Dara di sana, dan Aril juga tidak ingin lagi kepalanya menanggung rasa perih, karena kekonyolannya sendiri.
"Ayo, Mas, makan!" Dara langsung menawarkan, ketika Aril telah berada di dekatnya.
Tidak hanya menawarkan, tangan gadis itu malah langsung menciduk nasi dan memasukannya ke dalam piring, untuk Aril.
"Ikan mas-nya dibakar?" Aril bertanya, ketika pantatnya telah menyentuh bibir ranjang.
Mungkin itu hanya sekedar basa-basi, untuk menjawab ajakkan Dara. Sebenarnya Aril merasa tidak enak hati. Sebab, sudah beberapa hari numpang makan di rumah calon mertua, tapi ... eh ...!
Aril jadi geregetan, tangannya bergerak ingin kembali menjitak kepalanya sendiri. Tapi urung.
Aril merasa otaknya saat ini benar-benar keterlaluan. Isi pikirannya selalu berujung pada Dara. Bahkan, saat ini sudah sangat kelewatan, si otak sudah lancang menganggap ini adalah rumah calon mertuanya.
"Iya, Mas. Sebaiknya dibakar. Rasanya lebih enak," jawab Dara, sambil menyerahkan piring yang telah berisi nasi pada Aril.
Untunglah Dara menjawab dengan cepat, serta piring yang ada di tangan gadis itu telah menuju ke arahnya. Sehingga jitakkan Aril gagal bersarang di kepala.
Gerakkan tangan Aril beralih menjangkau piring yang di ulurkan Dara. Kepala Aril pun, selamat dari musibah, benjut.
"Duduknya di sini saja!" kata Dara, ketika piring telah berpindah ke tangan Aril. Dara menggeser bangku ke arah Aril.
Aril duduk di bangku tersebut dengan menghadap ke arah meja. "Ikan beginian digoreng juga enak, loh," kata Aril, sambil menjangkau piring yang berisi ikan bakar, dan menggeser ke arah piring nasinya.
"Sebaiknya selama di sini, Mas makan makanan yang dibakar dan direbus saja. Jangan dulu makan yang digoreng, kecuali kalau doyan minyak sayur yang terbuat dari kelapa. Jika mau, nanti aku akan ke pasar untuk membelinya," jawab Dara. Cukup panjang.
'Jawaban yang aneh, kenapa harus makan yang dibakar dan direbus saja? Kenapa pula minyak sayurnya harus yang terbuat dari kelapa? Emang minyak sawit mahal di sini?' Batin Aril.
'Kenapa bisa mahal? Di sini kan daerah pertanian, dan kebun sawaitnya paling luas sedunia? Apa salah urus, gitu ...?' Aril kembali membatin.
"Apa? Kamu mau ke pasar?" Aril bertanya sambil melirik gadis itu.
"Iya. Jika Mas, mau ikannya digoreng dengan minyak kelapa. Aku akan beli minyak kelapa ke pasar," jawab Dara mengulangi.
"Boleh boleh! Tidak apa-apa! Saya mau, saya mau, saya mauuuu!" jawab Aril cepat, ala Upin Ipin, dengan kegirangan. Tapi tidak lucu di mata Dara. Sebab, dia belum pernah melihat filem Upin dan Ipin.
Bukan soal makan dengan ikan goreng yang membuat Aril kegirangan. Niat Dara hendak ke pasar, itulah yang membuatnya gembira.
Dengan perginya Dara ke pasar, tentu Aril akan sendirian di rumah. Saat itulah dia punya kesempatan untuk kabur dari sini.
Aril mempercepat makannya, dengan harapan Dara bisa pergi dari rumah dengan segera. Apalagi hari sudah siang. Kalau kesorean, bisa-bisa Aril masih di tengah hutan saat malam menjelang.
Aril khawati, jika kemalaman di tengah hutan. Tentu penuh resiko. Apalagi untuk keluar dari kampung ini, dia harus mencari jalan sendiri. Mungkin saja butuh waktu yang lama untuk melakukan itu.
***
Setelah mereka selesai makan, ternyata Dara tidak langsung berangkat ke pasar, bahkan setelah dia selesai mencuci piring dan bersih-bersih, belum juga terlihat tanda-tanda, bahwa gadis itu akan meninggalkan rumah.
"Katanya kamu mau ke pasar, kapan akan berangkat?"
Karena tidak sabar, akhirnya Aril bertanya.
"Nanti setelah salat Zuhur," jawab Dara.
"Salat Zuhur?"
Kening Aril berkerut, ada raut keheranan di wajahnya.
Jawaban Dara benar-benar membuat Aril heran
'Apa Dara ini jin atau manusia, kok pakai salat segala?' Batin Aril bertanya.
"Iya, salat Zuhur." Dara menatap Aril, "emang kenapa? Kok heran?" Dara balik bertanya.
"Nggak pa pa! Cuma saya malu aja," jawab Aril berbohong. Sebab sebenarnya, Aril termasuk makhluk yang tak tahu malu. He he he ....
"Kenapa malu?" tanya Dara, yang membuat Aril bingung untuk menjawab. Mungkin dia kehabisan bahan untuk berbohong.
"E-ehh, eh. Soalnya saya jarang salat," jawab Aril sedikit tergagap. Tapi jawabannya kali ini, justru mengandung kejujuran.
Memang Aril sebenarnya jarang salat. Apalagi sejak ibunya telah tiada, hampir dia tidak pernah salat.
Itulah ibu, disaat beliau ada, setidaknya Aril masih sering ke mushala. Meskipun untuk itu, Aril kadang kala terpaksa harus menerima cubitan, atau sabetan lidi di kakinya terlebih dulu.
Memang, waktu kecil Aril rada bandel, tapi dikit. Itu menurut pendapat Aril. Namun, menurut pendapat orang lain, bandel Aril tidak sedikit, tapi banyak. Malah kelewatan.
Pada masa itu, Aril memang suka malas dan kesal jika disuruh salat berjama'ah. Tak jarang air mata berlinang sepanjang langkah menuju langgar, dan terkadang ada rasa kesalnya pada ibu, yang menurut Aril terlalu memaksakan kehendak. Otoriter.
Namun, setelah ibunya tiada, semua itu menjadi kenangan yang terindah bagi Aril. Dia rindu omelan ibu, dia rindu cubitan ibu, bahkan dia rindu sabetan lidi di kakinya dari ibu. Tapi hal itu tak mungkin lagi terjadi.
Sejak ketiadaan ibu, Aril pun semakin jarang ke langgar, bahkan untuk salat pun dia sudah malas. Bapaknya juga tidak pernah memaksa Aril untuk ibadah. Beliau hanya sekedar memberi saran saja, tanpa memaksa.
Mungkin hal tersebut yang membuat Aril jadi malas untuk menunaikan ibadah. Bahkan dia terpengaruh oleh hobinya, yang membuat dia berada dalam situasi seperti saat ini.
Entah kenapa, hobi berburu begitu melekat di hatinya, dan entah dari nenek moyang yang mana, hobi itu dia warisi. Padahal, Aril paham lewat lagu. Bahwa nenek moyangnya adalah seorang pelaut. Bukan seorang pemburu atau perancah hutan.
Dari bapak tidak mungkin, karena bapaknya hobi berdagang. Dari ibu, lebih tidak mungkin lagi. Soalnya tidak ada perempuan yang ikut berburu.
Soal berburu, bapaknya malah sangat melarang, tapi Aril tidak mengindahkan larangan tersebut. Larangan itu justru membuat hubungan Aril dengan bapaknya jadi merenggang, apalagi sejak bapaknya kawin lagi.
Aril benar-benar seperti bebas, tanpa perhatian orang tua sama sekali.
Untunglah, dia ikut kelompok Tarjo, yang anggotanya pada rajin ibadah. Akibatnya Aril pun ikut-ikutan rajin. Tapi, rajin salat hanya di saat ada acara berburu saja. Itu pun karena dia merasa tidak enak hati dengan Tarjo. Tidak enak, jika tidak ikut berjama'ah.
Artinya, salat Aril hanya karena Tarjo, bukan karena Allah. Namun, itu lebih baik, dari pada tidak salat sama sekali. Siapa tahu lama-lama salat jadi kebiasaan, dan akhirnya, ilmu ikhlas karena Allah merasuki hati.
Bukankah berteman dengan orang yang rajin ibadah, kita akan ikut-ikutan beribadah? Berteman dengan Basri, akan ikut-ikutan sifat Basri yang malas ibadah.
Ya, Basri adalah teman kecil Aril, yang malas ibadah dan rada bandel. Sebelas dua belas dengan Aril.
Akibat masa kecil yang seperti itu. Hasilnya, ya beginilah. Hidup sesukanya, sesuai dengan isi otak sendiri.
"Mas Aril agamanya islam, kan?" tanya Dara dengan sedikit menyipitkan mata.
"Islam, sih."
Rasa malu itu akhirnya hadir di hati Aril, sehingga nada suaranya agak pelan. Emang harus kudu malu ... ngakunya agama islam, tapi nggak salat. Salat kan tiang agama.
"Kalau agamanya islam, harus salat, dong. Salat itu kan wajib." Dara mengingatkan.
"Iya, tau. Tapi belum saja, nanti saya juga salat, sekarang lagi sibuk," jawab Aril berdalih.
"Sibuk ngapain?"
"Berburu, he he ...." Aril cengengesan.
"Bapak kamu salat juga?" tanya Aril. Dia ingin mengalihkan objek penderita.
Dari pada dia terus yang disorot soal salat, mendingan kamera dipindah arahkan kepada Pak Sarwo. Biar pak Sarwo sekarang yang menjadi objek penderita. Sebab, Aril yakin, pak Sarwo tidak salat.
Pak Sarwo itu sebangsa jin, tentu dia tidak salat, jika memang dia tidak salat, maka Aril punya alasan untuk berdalih pada Dara, dan sekaligus Aril bisa memastikan, bahwa Dara adalah manusia. Manusia yang soleha, sedangkan pak Sarwo adalah jin yang tidak soleh.
"Bapakku juga salat," jawab Dara.
Jawaban ini membuat kening Aril berkerut kembali, rasa heran di hatinya semakin besar. Jelas pak Sarwo itu jin, tapi kenapa dia salat? Aril menatap Dara untuk mencari kejujuran di wajah gadis itu.
'Siapa tahu Dara berbohong,' pikir Aril.
"Kenapa?" tanya Dara dengan seulas senyum, pipinya merona. Mungkin disebabkan oleh karena cara Aril menatapnya.
"Saya jadi malu sama Bapak, karena selama di sini, saya tidak pernah salat," jawab Aril berbohong, kemudian dia buru-buru menunduk.
Aril menunduk bukan karena kebohongannya, tapi ada sesuatu yang dirasakan hatinya ketika mata mereka beradu. Rasa yang aneh, sehingga wajahnya pun ikut merona.
Wajah bersih Dara yang bersemu merah, membuat hati Aril menganguminya, tapi karena mata mereka saling menatap, akhirnya Aril jadi malu.
Malu, jika Dara mengetahui detak jantungnya yang tiba-tiba berubah cepat, ketika dia memandang gadis itu. Hal itulah yang membuat Aril terpaksa menundukkan kepala.
Mereka saling diam, suasana pun menjadi hening, mereka larut dalam perasaan masing-masing. Aril merutuk dirinya, kenapa harus ada perasaan seperti ini.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Anik Setyowati
kalo naksir dara gak usah pulang didunia manusia disitu aja nikah sama dara ril
2023-11-09
0