BAYANGAN PUTIH DI JALAN SETAPAK

Sudah menjadi rahasia umum di kelompok Tarjo. Bahwa Basri adalah orang yang paling penakut di antara mereka, terhadap makhluk astral.

Tapi anehnya, Basri adalah makhluk yang paling kepo dengan hal-hal yang berbau mistis, dan berani merancah hutan sendirian.

Meskipun dia telah bergabung dengan kelompok Tarjo dalam waktu yang cukup lama. Tapi takutnya terhadap makhluk astral tidak juga pernah hilang.

Jangankan melihat jin yang menyeramkan, melihat ujud asli pak Sarwo saja, dia bakalan heboh ketakutan. Hal seperti itu yang ada dalam pikiran Aril. Makanya, dia terpaksa berbohong.

"Tapi mana bisa tidur di lahan terbuka seperti ini, yang ada juga mampvs dilahap binat4ng buas!" Basri masih kukuh dengan apa yang dia pikirkan.

"Lihat! Di sana ada tebing batu!" kata Aril, sambil menunjuk ke arah selatan tanpa menggubris ucapan Basri.

Mata Basri mengikuti arah telunjuk Aril. Di sana. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, terlihat gundukkan bukit yang tidak terlalu tinggi.

Cahaya bulan yang sedang purnama, membantu mata Basri memindai apa yang ditunjuk Aril.

Ternyata bukit itu tidak terbentuk dari gundukkan tanah, tapi terbuat dari kumpulan batu cadas yang menjulang, sehingga menyerupai seperti bukit kecil.

Mungkin karena keberadaan batu cadas itu pula, yang membuat Aril menyebutnya dengan istilah tebing batu.

"Apa hubungannya keadaan kita sekarang dengan tebing itu?" tanya Basri sesaat kemudian.

Kening Basri berkerut, mungkin karena dia tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aril saat ini.

"Biasanya di antara batu-batu itu ada celah seperti goa. Goa itulah yang akan kita gunakan untuk beristirahat. Di jaman purba, manusia tinggal di dalam goa. Mereka selamat dan baik-baik aja, makanya ada keturunannya sampai sekarang. Contohnya, kamu itu, " jawab Aril menerangkan. Dia melepaskan cengiran di akhir kalimatnya.

"Sama aja, kamu juga keturunan manusia purba!" Mulut Basri mencebik. Tawa Aril pun lepas.

"Kamu serius, kita tidurnya di dalam goa?" Basri bertanya beberapa saat kemudian, dengan membulatkan mata. Aril menjawab dengan anggukan.

"Gila ...! Benar-benar sudah menjadi orang purbakala kita! Bukan keturunannya lagi!" Bulatan mata Basri semakin membesar.

Dalam otaknya muncul fikiran, bila tidur di dalam goa, bisa saja ketika dia terbangun, di sampingnya telah ada nenek-nenek keriput sedang menatapnya dengan senyuman mirip seringai, sambil berkata 'eh, Nak Basri sudah bangun, toh? Mari nenek peluk.'

Membayangkan itu, Basri bergidik. Entah kenapa, sosok nenek-nenek keriput dengan rambut awut-awutan, serta gigi ompong adalah momok yang sangat menakutkan bagi Basri.

Jangankan di hutan, di pasar saja, bila melihat ada manusia yang berpenampilan seperti itu, Basri sudah gemetar.

Mungkin karena dia pernah mengalami kejadian buruk dengan manusia seperti nenek-nenek tersebut. Trauma istilahnya.

Saat usianya sekitar sebelas tahun, Basri pernah dipeluk oleh seseorang dari belakang.

Ketika Basri menoleh, ternyata yang memeluknya adalah nenek kumal dengan rambut awut-awutan, dan giginya pada ompong.

Yang parahnya, ketika Basri menoleh, si nenek langsung menganga mempertontonkan giginya.

Lebih tepatnya, mempertontonkan gusi yang berwarna coklat kehitaman, sebab si nenek itu sudah tidak memiliki gigi lagi.

Basri kaget dan berusaha melepaskan diri. Tapi pelukkan si nenek semakin erat.

Meskipun Basri meronta dengan sekuat tenaga, namun dia tidak mampu melepaskan pelukkan si nenek, malah si nenek tertawa terkekeh-kekeh mirip mbak kunti, sambil berusaha mencium pipi Basri.

Rasa takut Basri tak bisa terbendung lagi, ketika si nenek berhasil mencium pipinya. Saking takutnya, sampai-sampai celana Basri basah oleh air kencing.

Alhamdulillah, rasa takut Basri akhirnya hilang, ketika dia jatuh pingsan dalam pelukkan si nenek.

Usut punya usut, ternyata nenek itu adalah orang gila yang suka berkeliaran di kampung tetangga. Kebetulan hari itu, si nenek berkunjung ke kampung Basri, dan Basri jadi korban keisengan nenek tersebut.

Akibat keisengan si nenek, malah makhluk astral yang kena getahnya. Sebab, sejak saat itu, Basri jadi anti pati dengan yang namanya kunti dan makhluk astral lainnya.

"Saya ogah tidur di tempat seperti itu! Sebaiknya kita cari saja lokasi lain, yang lebih nyaman!"

"Ya, sudah, kalau kamu tidak mau!" Aril kembali mengarahkan pandangan pada bukit tersebut, kemudian melanjutkan ucapannya, "biar saya sendiri yang ke sana. Tidur dalam goa lebih aman, dari pada tidur di tempat terbuka seperti ini. Ntar bangun-bangun, kamu sudah ada dalam pelukkan nenek-nenek ... hyiiiii ...!" Aril bergidik.

Setelah bergidik, Aril melangkah meninggalkan Basri, seakan tidak peduli lagi dengan sahabatnya itu.

Basri hanya melongo tanpa mengeluarkan suara sepatah kata pun. Mungkin dia shock mendengar apa yang baru saja disampaikan Aril.

"Mau ikut, nggak? Lama-lama melongo di sana, bisa kesambet mbak kunti yang udah nenek-nenek, kamu!"

Teriakkan Aril menyadarkan Basri. Dia tersentak, matanya menatap nanar ke arah Aril, yang masih saja berjalan tanpa menoleh sedikit pun.

Rasa takut semakin besar bercokol di hati Basri. Apalagi, sekarang otaknya seperti terpengaruh oleh kalimat 'mbak kunti yang udah nenek-nenek' yang diucapkan Aril tadi.

Tak ayal, bayangan makhluk yang menyeramkan menari dalam otak Basri. Seketika kepalanya berputar, menoleh ke belakang.

"Hiiiiiyyyy ...!" Basri bergidik, ketika matanya menangkap rimbunnya belukar, dan gelapnya lorong jalan setapak yang baru saja mereka lewati. Apalagi, sekilas dia melihat seperti ada bayangan di sana.

Rasa takut di hati Basri semakin bertambah, ketika dia melihat sekelebat bayangan putih di bekas jalan setapak itu.

Basri langsung berfikir, bahwa bayangan putih itu adalah mbak kunti yang sudah ketuaan dan menjadi nenek-nenek.

Tapi bayangan itu hanya sekilas terlihat oleh Basri, jadi dia tidak bisa memastikan, apakah itu hantu atau apa. Namun yang pasti, penampakan tersebut telah membuat kuduk Basri menjadi berat.

Basri kembali ingat dengan penampakkan yang dia lihat waktu di curug, di kala kelompok mereka sedang mencari Aril.

Penampakkan itu persis waktunya seperti saat ini. Di saat Maghrib telah menjelang. Apalagi Basri juga pernah mendengar, bahwa di saat Maghrib, adalah waktunya para hantu bergentayangan.

"Ril ...! Tunggu, Ril ...!"

Teriakkan Basri membuat Aril menghentikan langkah. Dia berbalik menatap ke arah Basri. Seketika senyum tersungging di bibirnya, karena melihat Basri yang sedang ketakutan.

Bersamaan dengan itu, Basri melangkahkan kaki, berlari menyusul Aril. Hampir saja dia terjatuh, ketika ujung kakinya tersangkut pada tumbuhan rambat, yang menjalar di permukaan tanah.

"Hati-hati, Bas!" Aril berteriak kaget, ketika melihat temannya itu sempoyongan dan hampir tersungkur.

Senyum di bibir Aril hilang seketika, berganti dengan raut kecemasan. Untunglah Basri dapat menguasai diri, sehingga dia gagal jatuh ke permukaan bumi.

Ketika jarak Basri telah dekat dengan Aril. Wajahnya masih terlihat pucat, entah karena hampir jatuh, atau mungkin juga karena takut dengan bayangan putih yang tadi terlihat olehnya.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa!" jawab Basri sambil menggeleng. "Tapi kayaknya ada hantu di jalan yang kita lewati tadi," lanjutnya, sambil melirik ke arah yang dia maksud. Aril mengikuti arah lirikkan mata Basri.

Hati Aril menggerutu, kenapa Basri mengatakan hal yang demikian. Sama saja dia ingin membagi ketakutannya dengan Aril.

Seharusnya rasa takut itu jangan dibagi-bagi. Nikmati saja sendiri. Mau sepuasnya atau sampai bosan, terserah!

"Mungkin hantunya seperti yang kamu bilang tadi. Mbak kunti yang telah ketuaan dan menjadi nenek-nenek--"

"Hussss ...!" Aril melotot ke arah Basri, yang membuat remaja tanggung itu menghentikan kalimatnya. Setelah Basri menutup mulut, Aril mengalihkan pandangannya.

"Mana ada hantu di sini!" Aril berkata untuk menghibur dirinya sendiri, setelah matanya beberapa saat memperhatikan tempat yang ditunjuk Basri.

Meski berkata demikian, sebenarnya ada rasa takut yang kini menjalar ke dalam hati pemuda itu.

Mungkin rasa takut itu hadir, karena keadaan alam yang telah mulai berubah, dari terangnya siang, menuju gelapnya malam.

Meskipun bulan purnama menggantung di langit dengan bulat sempurna. Tapi cahayanya tidak sanggup menyamai terangnya sang mentari di kala siang hari.

Sinar purnama yang benderang, hanya mampu membuat jalan setapak seperti remang-remang. Hal itu malah menghadirkan rasa horor bagi yang melihatnya.

Mungkin karena jarak mereka yang cukup jauh dari tempat tersebut, membuat pandangan mereka jadi terbatas. Sehingga lokasi yang ditunjuk Basri terlihat seperti remang-remang.

Suasana remang-remang itulah yang membuat bulu kuduk Aril berdiri.

"Ayo kita jalan!"

Kali ini Aril yang menggaet tangan Basri, kemudian menariknya sambil melangkahkan kaki. Basri mengikuti tanpa banyak tanya.

Kedua pemuda tanggung itu berjalan dengan hati-hati menuju bukit cadas. Mulut mereka sama-sama terkunci, tanpa ada yang mau memulai percakapan.

Sambil berjalan, mereka asyik dengan pikiran masing-masing. Berusaha mengusir rasa takut yang masih bersemayam di hati.

"Alhamdulillah ...!"

Akhirnya ucapan syukur dalam bentuk pujian pada Tuhan, keluar dari mulut Aril, ketika langkah mereka telah hampir sampai di kaki bukit.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!