Ketika jendela terbuka, mata Aril berusaha menjangkau apa yang ada di balik jendela tersebut. Memang benar, tidak ada yang mencurigakan di sana.
Tak ada satu pun makhluk mengerikan yang terlihat seperti apa yang ada dalam pikirannya.
Hanya Dara makhluk satu-satunya yang berada di sana, dan Dara bukanlah makhluk yang mengerikan, tapi dia adalah makhluk cantik yang menyenangkan.
Apalagi saat ini, di mana dia sedang berdiri dengan senyum penuh pesona ke arah Aril.
"Ayo, sekarang mandi!" titah Dara, setelah beberapa saat kemudian.
Gadis itu kembali ke arah meja, kemudian mengambil guci, lalu menuangkan isinya ke dalam cangkir. Aroma rempah menguar dari dalam cangkir tersebut.
"Sebelum mandi, minum ini dulu!" titah Dara, sambil menyerahkan cangkir tadi pada Aril.
"Blrrrrrhhh ...!"
Aril bergidik seperti orang kedinginan, setelah menghabiskan isi cangkir yang rasanya sangat aneh di lidah pemuda itu.
"Ayo, ke kamar mandi!"
Kepala Dara bergerak ke arah kamar mandi, sebagai perintah kepada Aril.
Di tangan gadis itu, kini ada sebuah guci, yang berisi air rebusan rempah-rempah. Ramuan yang akan digunakan sebagai campuran air, untuk mandi Aril nantinya.
Ketika keluar kamar, mata Aril kembali menyapu ruang kosong, yang memisahkan antara kamar yang ditempatinya dengan ruangan, tempat dapur dan kamar mandi berada.
Di ruangan inilah semalam dia melihat sosok putih berkelebat. Tapi kini, tidak ada apa-apa di sana, selain lemari kayu yang telah berumur dan beberapa perabot.
"Nanti mandinya pakai air yang ada di dalam gentong aja, ya, Mas? Jangan gunakan air yang ada di dalam bak!" titah Dara, setelah dia menumpahkan semua isi guci ke dalam gentong.
Aril hanya menjawab dengan anggukkan. Hatinya masih diliputi oleh tanda tanya. Tapi karena tubuh yang masih pegal, membuat dia malas untuk mengiak mulut.
****
Setelah mandi, badan Aril menjadi segar. Pegal yang tadi menggerogoti tubuh mulai berkurang, tapi rasa lapar kini datang menyerang. Rasanya dia ingin segera makan.
Keinginan Aril tersebut langsung terujut, karena di atas meja telah tersaji makanan. Nasi lengkap dengan lauk pauknya. Rupanya Dara menyiapkan itu semua, ketika Aril sedang mandi tadi.
"Makan dulu, Mas!" tawar Dara, sambil memindahkan nasi ke dalam piring, kemudian memberikannya pada Aril.
Sesaat kemudian, mereka telah asyik menikmati makanan yang ada di piring mereka masing-masing. Mereka berdua begitu lahap menikmati hidangan tersebut.
Tidak banyak yang mereka bicarakan setelah selesai makan. Apalagi, Dara juga segera berlalu dari kamar, dengan membawa perabot kotor, dan langsung mencucinya.
Kantuk yang menyerang membuat Aril tidak tahan untuk tidak merebahkan diri. Ia kembali merebahkan tubuh di atas ranjang, tak lama berselang, suara dengkurnya pun terdengar.
****
Sebuah cubitan mengagetkan Aril, walau tidak sakit, tapi menimbulkan rasa perih.
Dulu, Aril sering merasakan cubitan seperti itu. Cubitan yang kadang malah membuat dia tertawa. Apalagi, jika dia berhasil menggoda orang yang mencubitnya.
Cubitan khas dari seseorang yang sangat dia sayang. Seorang ibu yang telah meninggalkannya. Meninggalkan Aril untuk selamanya.
Tapi kenapa cubitan itu sekarang kembali dirasakan Aril?
Mimpikah ...?
Mata Aril menatap paha kirinya, tempat di mana tadi cubitan itu dia rasakan.
"Auwww ...!" Aril menjerit, ketika merasakan cubitan yang lebih keras di paha sebelah kanan. Dia tersentak dan bangun dari tidurnya. Ternyata Aril hanya mimpi.
Matanya menatap ke paha bagian kanan, ada sesuatu di sana. Seperti bekas cubitan yang meninggalkan warna merah kebiruan.
"Ibu?" Aril bergumam. Wajah sang ibu tergambar dalam ingatannya, wajah yang penuh kasih sayang. Kerinduan terhadap ibunya tiba-tiba datang merasuki hati.
Kini pikiran Aril mengembara ke suatu masa, di saat masih bersama ibunya. Masa-masa yang terindah dalam hidupnya. Sejenak dia larut dalam bayangan masa lalu.
Cuma sejenak. Sebab, beberapa saat kemudian, kuping Aril menangkap suara orang seperti sedang berbicara. Namun, tidak jelas apa yang mereka bicarakan.
Aril menajamkan indra pendengarannya, tapi suara itu tetap tidak jelas terdengar.
Mata Aril mengarah ke sumber asal suara. Ketika itulah dia menyadari ternyata hari telah malam. Terlihat dari cahaya gelap yang mengintip lewat ventilasi.
Ruangan ini sekarang hanya diterangi oleh cahaya lampu yang menggantung di loteng. Bola lampu itu terlihat aneh, tidak seperti yang pernah dia lihat sebelumnya.
Aril menyadari bahwa dirinya telah tertidur cukup lama sejak tadi siang. Lalu, kemanakah Dara? Apakah Pak Sarwo telah pulang? Ada keinginan yang menggelitik di hati Aril, untuk mengetahui keberadaan orang tersebut.
Aril turun dari ranjang, bergegas keluar dari kamar menuju ruang tengah. Langkahnya tiba-tiba terhenti, ketika mendengar suara pak Sarwo.
"Sebelum ujudnya terlihat seperti penghuni kampung ini, cegah dulu agar dia tidak keluar dari rumah."
Ujud ... penghuni kampung?
Aril bertanya dalam hati, ketika mendengar apa yang baru saja diucapkan pak Sarwo. Dia merasa heran, dan jadi penasaran dengan apa yang dikatakan Pak Sarwo itu.
Aril mendekatkan kepalanya ke dinding, lalu menempelkan telinga di sana. Dia ingin menguping pembicaraan tersebut. Aril yakin, bahwa yang sedang dibicarakan Pak Sarwo adalah dirinya.
"Berapa lama lagi, Pak?"
Pertanyaan itu dari Dara. Berarti sekarang Pak Sarwo sedang berbicara dengan Dara.
"Tidak lama lagi. Bapak akan terus berusaha untukmu, Nak." Terdengar lirih nada Pak Sarwo ketika mengucapkan kalimat tersebut.
Aril mencari celah di dinding, ingin melihat ke ruang tengah. Mata Aril mengintip dari sebuah lubang sebesar paku.
Cahaya yang ada di ruang tengah, cukup bagi Aril untuk melihat Dara dan Pak Sarwo dengan jelas.
Dara menghadap ke ruang belakang, wajah dan bagian depan Dara jelas terlihat oleh Aril dari celah lubang. Namun, tubuh Pak Sarwo hanya terlihat bagian belakangnya saja.
Dahi Aril berkerut ketika melihat bagian kepala Pak Sarwo. Dia merasa aneh dengan bentuk kepala itu.
Bagaimana Aril tidak merasa aneh. Sebab, bentuk kepala pak Sarwo tidak seperti kepala dia dan kepala Dara. Bahkan bentuk kepala Pak Sarwo tidak menyerupai kepala manusia lazimnya.
Siapakah lelaki itu? Benarkah dia Pak Sarwo? Suaranya memang persis seperti suara Pak Sarwo. Tapi kenapa bagian kepalanya berbeda?
Makhluk apakah yang memiliki kepala menyeramkan seperti itu? Kenapa Dara tidak merasa takut berada bersamanya? Batin Aril bertanya-tanya.
Mungkin karena memikirkan rasa takut yang ada pada diri Dara. Mengakibatkan rasa takut itu, justru menghampiri Aril. Bulu di kuduknya seketika berdiri.
"Hiiiiiyyyy ...!"
Aril bergidik. Tapi seketika rasa takut itu berkurang, ketika Aril mengingat bahwa Dara adalah seorang perempuan.
Perempuan saja tidak takut. Masa, Aril takut? Aril kan laki-laki. Mustahil itu, mustahil takut! Batin Aril menghibur diri.
Aril mencubit tangannya, ingin memastikan apakah ini nyata atau sekedar mimpi. Ternyata ada rasa sakit yang dia rasakan, berarti ini bukan mimpi.
Mungkin juga peristiwa yang dia alami sebelumnya juga bukan mimpi. Bisa jadi Dara telah membohonginya.
Di manakah aku saat ini? Pertanyaan seperti itu kembali muncul dalam hati Aril.
Matanya menyapu seluruh ruangan, memeriksa dengan detail bagian-bagian yang mencurigakan. Tempat di mana dia pernah mendengar suara-suara, dan melihat sekelebat bayangan.
Siapa tahu, di bawah cahaya lampu yang temaram saat ini, hal itu dialaminya lagi. Peristiwa yang menurut Aril nyata, tapi hanya mimpi menurut Dara.
Sama ....
Tidak ada yang berbeda, ini nyata. Dia masih berada di tempat semula, tempat yang misterius dan penuh tanda tanya.
Aril bergerak ke arah pintu kamarnya, dan memperhatikan jendela, lalu mengamati sesaat. Ada rasa penasaran di hatinya, ingin kembali melihat apa yang ada di luar jendela itu.
Ingin meneliti dengan cermat, siapa tahu dengan memperhatikan keadaan di luar rumah, dia bisa mengetahui di daerah mana dia berada saat ini.
Sebelum kakinya melangkah, terdengar lagi suara Pak Sarwo dari balik dinding. Aril mengurungkan niatnya, dan memutuskan untuk menguping kembali.
"Cukup sekali lagi dia mandi dengan ramuan yang Bapak racik, setelah itu semua akan sempurna. Dia akan melihat semua makhluk yang ada di sini, seperti ujud manusia. Begitu pula sebaliknya, semua makhluk dari bangsa jin akan melihat dia dengan ujud jin."
Setelah berkata, Pak Sarwo kembali menunduk, menatap sebuah baskom kecil, yang di dalamnya ada air dan beberapa lembar daun.
Baskom itu terletak di atas lantai, di antara dua lutut Pak Sarwo yang duduk bersila.
"Jin?" gumam Aril pelan.
Hati Aril bergetar, sedikit dia mulai memahami apa sebenarnya yang terjadi. Ternyata saat ini dia berada di perkampungan jin. Mungkin dia tersesat, terdampar, atau apapun namanya, yang menyebabkan dia berada di sini.
"Bagaimana dengan saya, Pak? Apakah saya akan melihat dia dengan ujud jin juga?" tanya Dara.
"Tidak, Nak! Kamu akan tetap melihat dia dengan bentuk aslinya, karena sebagian besar dari dirimu sama dengan dia," jawab Pak Sarwo.
"Setelah pengobatan selesai, baru dia bebas berkeliaran di wilayah ini tanpa ada yang mencurigai. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, jangan pernah ceritakan hal ini pada siapapun!" lanjut Pak Sarwo, yang diiyakan oleh Dara.
Mendengar percakapan itu, Aril bisa memastikan, bahwa saat ini dia memang sedang berada di sebuah alam, yang tidak sama dengan dunianya.
Ini adalah dunia lain, tempat hidup makhluk kasat mata. Makhluk ciptaan Tuhan yang bernama jin.
Berarti Pak Sarwo ini termasuk golongan jin, pantas dia bisa berubah ujud. Tapi, apakah Dara juga sebangsa jin? Kalau iya, kenapa wajahnya masih tetap cantik, tidak berubah jadi jelek seperti wajah Pak Sarwo?
Atau bisa juga, sebagian dari Dara adalah jin, dan sebagiannya lagi manusia.
Makhluk macam apa pula yang seperti itu? Apakah Tuhan ada menciptakan makhluk setengah manusia dan setengah jin? Pertanyaan muncul bertubi-tubi dalam hati Aril.
"Sekarang kamu siapkan makanan untuknya! Sebentar lagi dia akan bangun. Setelah makan, jangan lupa minumkan ramuan itu padanya! Tak lama lagi kesehatannya akan pulih dengan sempurna. Besok suruh dia mandi dengan ramuan ini! Setelah dia benar-benar pulih, maka harus Bapak yang pertama melepasnya dari depan pintu. Setelah itu, barulah dia boleh bebas kemana pun dia mau pergi."
Mendengar ucapan Pak Sarwo, Aril bergegas kembali masuk ke dalam kamar, dan segera berbaring di atas ranjang, lalu dia pura-pura tidur.
Aril bersyukur dalam hati, karena tadi terbangun disebabkan oleh rasa perih di pahanya. Perih seperti dicubit ibu.
Cubitan ibu seolah-olah telah membangunkan Aril, sehingga dia mendengar apa yang dibicarakan pak Sarwo dan anaknya.
***Terima kasih untuk semua ibu. Jasamu tiada tara.*
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Atha rizki Makarim
mulai bagus ceritanya min
2023-10-18
0