ARIL BERTEMU BASRI

"Hohohooiiiiii ...!" Teriakkan Basri kembali menggema.

"Hohohoooiiiiii ...!" Aril membalas sambil bergegas ke arah rumpun bambu.

Sesaat Aril plonga-plongo di sana, dengan mata liar menusuk celah-celah pohon bumbu. Kegembiraan semakin jelas terpancar dari wajah pemuda tanggung itu.

Teriakkan kedua pemuda tersebut terus berkumandang, saling sahut-menyahut. Sampai akhirnya terdengar suara orang seperti menebang pohon bambu.

Suara itu berasal dari golok Basri yang sedang menebas pohon, yang menghalangi jalannya.

"Basri ...!" teriak Aril memanggil nama temannya itu, ketika mata Aril melihat pohon bambu yang tumbang. Pertanda jaraknya dengan Basri sudah semakin dekat.

"Tunggu saja di sana ...! Biar saya yang ke sana! Di sini semaknya sangat belukar. Sulit mencari tempat untuk sekedar duduk ...!" titah Basri dengan suara lantang.

"Siapppp ...!" balas Aril dengan kepala masih celingak-celinguk, mencari keberadaan Basri. Aril sudah tidak sabar ingin melihat ujud temannya tersebut.

"Basri ...!" Aril kembali memanggil, ketika matanya telah melihat keberadaan Basri.

"Haiiiii ...!" teriak Basri, sambil mengacungkan golok ke arah Aril, disertai dengan senyum merekah yang mengembang dari bibirnya.

Sekarang kedua pemuda tanggung tersebut, sudah dapat saling melihat lawan bicaranya masing-masing.

Senyuman seakan tidak pernah sirna dari mulut mereka, pertanda betapa gembiranya hati kedua orang itu.

"Kamu baik-baik saja 'kan, Ril? Bagaimana ceritanya, kok kamu ada di sini?" tanya Basri.

"Alhamdulillah ... baik-baik aja! Tapi ceritanya panjang. Nanti saja saya ceritakan," jawab Aril.

Mendengar jawaban Aril, Basri semakin bersemangat menebas pohon bambu yang menghalanginnya. Satu pohon bambu tumbang lagi.

Jalan semakin lebar bagi Basri untuk terus mendekati Aril. Gerakkan Basri pun semakin leluasa.

Akhirnya usaha Basri sukses. Kini lelaki itu telah sampai di rumpun bambu terakhir, perbatasan antara jajaran rumpun bambu dengan jalan setapak, serta bibir jurang.

"Alhamdulillah! Akhirnya saya berhasil menemukanmu!" seru Basri, ketika tubuhnya hampir keluar dari rimbunnya rumpun bambu yang terakhir.

"Heppp ...! Jangan mendekat dulu!"

Basri merentangkan satu tangannya ke depan, kode untuk menyetop langkah Aril, ketika Aril bergegas menghampirinya. Tatapan Basri terlihat tajam.

"Ada apa?" Langkah Aril terhenti seketika, wajahnya pun dibalut oleh raut keheranan.

"Mundur ... mundur beberapa langkah ke belakang!" titah Basri, sambil mengibaskan golok yang ada di tangannya ke arah Aril.

Sekarang posisi Basri benar-benar telah terlepas dari kumpulan pohon bumbu.

"Kenapa?"

Kebingungan semakin ketara di wajah Aril. Batinnya bertanya-tanya, kenapa Basri bersikap aneh seperti ini.

Meskipun demikian, Aril menarik kakinya untuk mundur beberapa langkah. Mengikuti instruksi Basri.

Jarak mereka jadi menjauh, mungkin ada sekitar empat meter.

"Tetap diam di sana ya! Jangan bergerak!" Golok Basri mengacung ke arah Aril, matanya menatap penuh selidik ke arah kaki temannya itu.

"Ada apa sih?" Terlihat kegusaran di wajah Aril, karena ulah Basri yang seakan mencurigainya. Kening pemuda tanggung itu berkerut dengan mata menyipit.

"Tenang aja! Tenang! Pokoknya jangan bergerak!"

Tangan Basri masih mengacung dan mengarah pada Aril, tapi kali ini telapak tangannya mengembang, setelah goloknya beralih ke tangan kiri.

Sesaat mata Basri memindai Aril, dari atas ke bawah, terus ke atas lagi. Kemudian dia memutar tubuhnya perlahan, dengan tatapan masih mengarah pada Aril, sehingga kepala Basri seperti diputar.

"Awas ya, jangan bergerak!" titah Basri dengan suara keras, ketika posisi tubuhnya baru berputar sekitar tiga puluh derajat.

Kini Basri telah memunggungi Aril dengan sempurna, tapi kepala Basri masih menghadap ke belakang. Ke arah Aril.

Mungkin karena posisi tubuhnya yang seperti itu, membuat urat leher Basri ketarik, sehingga matanya sampai mendelik.

"Jangan-jangan dia kesurupan lagi," gumam Aril, demi melihat tingkah Basri.

"Hoiiii, Basri! Ngapain kamu begitu. Mutar-mutar nggak jelas?" tanya Aril setengah berteriak. Kelihatan dia tidak sabar menunggu Basri.

"Ini hutan, Ril! Saya tidak tahu apakah kamu Aril benaran atau bukan. Makanya saya harus waspada! Siapa tahu kamu jelmaan hantu, atau arwah gentayangan!" jawab Basri, juga setengah berteriak.

"Alahhhhh! Ada-ada aja kelakuan kamu!"

Aril menepiskan tangannya ke depan. Ada rasa kesal di hatinya melihat kelakuan Basri.

'Bukannya buru-buru berembuk untuk mencari solusi agar cepat keluar dari hutan ini. Malah dia pakai curiga lagi. Padahal sudah berteriak saling balas-membalas, sesuai dengan apa yang diajarkan kelompok berburu,' batin Aril menggerutu.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Aril kemudian.

"Kamu tetap di sana! Diam ...! Jangan bergerak!" Basri membalas pertanyaan Aril dengan sebuah perintah.

Sementara golok yang ada di tangannya, dia mainkan dengan cara mengayun sambil diputar-putar. Persis kayak jagoan pedang yang hendak bertarung. Meskipun posisinya sedang membelakangi Aril.

"Baiklah, saya akan diam di sini. Tapi ayo cepatan ...! Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Tapi cepatan! Ini sudah hampir senja. Nanti kita kemalaman di sini," jawab Aril.

Aril menyetujui apa yang diinginkan Basri. Dia tidak ingin membuang-buang waktu dengan berdebat, karena udara sudah terasa dingin, pertanda senja telah mulai menjelang.

Tidak ada prasangka buruk di hati Aril terhadap Basri sama sekali, meskipun Basri sedang memegang golok, dan memainkan golok tersebut.

Baru saja Aril menyelesaikan kalimatnya, dengan cepat Basri menungging membelakangi Aril. Mata Basri terbuka lebar menatap tajam ke arah kaki Aril.

Dari sela kedua kakinya yang mengangk4ng, Basri seperti memindai ujung kaki temannya itu.

"Kaki kamu menapak ke tanah, nggak?" tanya Basri setelah matanya celingak-celinguk ke arah kaki Aril.

Mungkin pertanyaan itu muncul, karena Basri tidak dapat melihat bagian paling bawah dari kaki Aril, sebab tertutup oleh tumbuhan rumput yang cukup tinggi.

"Maksudmu apa?"

"Jika kamu manusia, pasti kakimu akan menapak di tanah. Bila ngambang berarti kamu hantu!" kata Basri sambil nyengir.

"Duh illahhh ...! Ya, menapak di tanah 'lah!"

Sambil berkata, Aril menghentakkan salah satu kakinya beberapa kali ke atas tanah, kelihatannya dia begitu geregetan.

Mungkin dia kesal karena melihat ulah Basri yang neko-neko. Atau ingin membuktikan, bahwa kakinya memang menyentuh tanah.

"Nah, berarti kamu bukan hantu! Rupanya tampang kamu saja yang mirip hantu!" seru Basri.

Setelah berkata, Basri melakukan gerakkan melenting. Melompat di udara sambil memutar tubuh. Sehingga ketika kedua kakinya mendarat di permukaan bumi, mereka kembali saling berhadapan.

Lagak Basri seperti jagoan, tapi nomor tiga belas. Mungkin dia merasa gagah dengan golok yang ada di tangannya. Ini dapat ditebak dari gayanya yang memainkan golok.

Beberapa kali golok itu dia putar dengan meliukkan tangannya. Sehingga bilah golok tersebut berputar seperti titiran.

Tidak hanya memainkan, tapi ketika golok dia putar, Basri melakukan gerakkan, meniru gerakkan pendekar mabok jago kungfu, yang pernah dia lihat di tivi.

Barulah ketika dia terpeleset dan hampir jatuh, aksisnya itu dia hentikan.

Senyum mengembang di wajah Basri, sementara Aril cemberut dengan wajah ditekuk. Dia kesal dengan ulah Basri tersebut, yang dianggapnya hanya membuang-buang waktu saja.

"Bagaimana ceritanya sampai kamu berada di sini, Ril? Bukannya kamu jatuh ke curug waktu itu, yang bikin semua orang heboh! Tapi syukurlah kamu masih hidup!" tanya Basri merepet, setelah menyarungkan golok ke sarangnya.

Kini golok beserta sarungnya menggantung di pinggang Basri. Setelah membenarkan posisi sarung golok--menggeser agak kebelakang-- Basri bergegas menghampiri Aril, sambil menguar rambutnya yang sedikit gondrong.

"Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman untuk berbincang, sambil istirahat," jawab Aril, tanpa menanggapi ucapan Basri.

Setelah Basri berada di depannya. Kedua pemuda tanggung itu berjabat tangan, dan berpelukkan seperti teletubies. Tapi cuma sesaat. Sebab, Basri dengan cepat melepas pelukkan Aril. Takut dikira g4y.

"Ke mana kita harus mencari tempat yang agak terang? Hampir sehari perjalanan, saya hanya berhadapan dengan hutan belukar yang sangat lebat. Nggak mungkin kita balik ke arah saya tadi," tanya Basri setelah pelukkan mereka lepas, sekaligus memberi tahu, betapa rumitnya jalan yang dia tempuh.

"Tapi peluang untuk keluar dari hutan ini, harus kembali ke jalan yang kamu tempuh tadi! Kamu kan masuknya dari kaki hutan. Jadi kita ikuti saja jalur kamu tadi. Sementara saya kesasar, sudah tidak ada pedoman, ke mana arah yang harus saya tuju," usul Aril.

"Itu masalahnya, saya sudah lupa dengan rute yang saya lewati tadi. Soalnya saya melewati jalannya dengan merambah hutan, sambil mengejar 4njingmu--"

"Mengejar 4njing saya?" potong Aril dengan pertanyaan.

"Iya, 4njing kamu lepas dan kabur. Dia lari ke hutan. Saya berusaha untuk menangkapnya. Gara-gara mengejar 4njingmu akhirnya saya sampai ke sini," jawab Basri.

"Lalu, mana 4njingnya?"

"Ya, belum ketemu! Dia menghilang entah ke mana!"

"Ya, sudahlah." Aril menarik napas dalam, kemudian bertanya "bagaimana keadaan bapak saya sekarang, Bas?"

Basri menceritakan tentang keadaan bapak Aril. Rupanya sejak Aril hilang di hutan, dan tidak ditemukan. Bapak Aril bersedih terus, dan suka marah-marah.

Kemarahannya semakin memuncak ketika melihat 4njing milik Aril. Tak jarang dia memukul 4njing tersebut untuk melampiaskan emosinya.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!