MISTERI SANG DARA

Tarjo menyapu wajah dengan kedua telapak tangan, kemudian bangkit dan berjalan menuju teman-temannya.

Waktu Maghrib hampir tiba, tapi tanda-tanda kedatangan bantuan dari masyarakat desa belum terlihat.

"Cari tempat yang agak luas! Sekarang kita salat berjama'ah dulu! Sebentar lagi waktu Maghrib masuk," kata Tarjo sekaligus bertitah.

Mereka segera membersihkan sebuah lokasi, yang akan mereka gunakan untuk melaksanakan salat berjama'ah. Sebagian dari mereka mencari ranting dan kayu kering untuk dibakar. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengerjakan itu, semuanya kini telah selesai.

Remang-remang senja berhasil diusir oleh cahaya api unggun yang menjulang di dua titik. Bersamaan dengan itu, waktu Maghrib pun tiba, tanpa dikomando mereka kembali ke pinggir curug untuk berwudhuk.

"Kamu tidak salat?" tanya Tarjo, ketika melihat Basri yang memilih kembali duduk dekat api unggun, sambil menyulut sebatang rokok.

"Lagi tidak, Ketua!" jawabnya dengan melepas senyum.

"Lagi tidak? Memang kamu perempuan?"

Basri hanya menjawab dengan cengiraran, dan Tarjo meninggalkan Basri yang mulai asyik dengan rokokoknya. Usia Basri tidak jauh berbeda dengan Aril, tergolong muda, masih bisa dikategorikan sebagai remaja tanggung.

Belum berapa langkah Tarjo meninggalkannya. Tiba-tiba Basri merasa ada sesuatu yang berdiri di belakangnya. Entah siapa? Tengkuknya terasa dingin, seperti ada tiupan angin yang mampir di sana.

Dengan hati berdebar, Basri menoleh ke belakang. Seketika dia melompat kaget, demi melihat sekelebat bayangan, disertai dengan aroma bunga kantil yang menguar.

"Hyiiiiiii ...!"

Basri bergidik dengan bulu kuduk merinding.

"Ketua ...! Tunggu saya!" teriaknya, sambil berlari mengejar Tarjo.

Tarjo dan beberapa orang menoleh ke arah Basri, senyum mengembang di bibir mereka, ketika melihat Basri yang lari terbirit.

"Dasar bocah!" gumam Tarjo.

Basri baru agak tenang, ketika dia telah berada di samping Tarjo, meski mukanya terlihat pucat.

"Kamu takut?" tanya Tarjo.

Basri menggeleng, sambil melirik ke tempat dia duduk tadi. Tidak ada apa-apa di sana, entah ke mana makhluk yang berkelebat tadi.

Makluk apa itu? Kenapa tiba-tiba ada aroma bunga kantil? batin Basri bertanya.

Basri tidak mau jauh-jauh dari Tarjo, bahkan ketika berwudhuk pun, dia masih memepet Tarjo. Selama berwudhuk, pikiran Basri dipenuhi oleh apa yang dia lihat tadi, sehingga membuat dia lupa dengan tata cara berwudhuk, yang memang telah lama tidak dia lakukan.

Basri ingin menceritakan apa yang dia lihat tadi pada teman-temannya yang lain. Tapi rasanya tidak mungkin. Itu hanya akan merusak reputasinya sebagai seorang pemburu.

Ketika salat, Basri sengaja mencari tempat di tengah, dan berada persis di belakang Tarjo yang bertindak sebagai imam. Namun, selama salat hatinya selalu diliputi rasa was-was.

"Salat cuma satu syaf, bagaimana kalau makhluk itu ikutan berdiri di belakangku?" batin Basri. Pertanyaan itu selalu mengganggu hatinya. Tak ayal, dia sering menoleh ke belakang, untuk memastikan keberadaan makluk tersebut.

Ketika berdiri menoleh ke belakang, ketika rukuk juga menoleh ke belakang. Bahkan ketika sujud, dia masih tetap saja menengok ke belakang, dengan cara mengintip dari celah kakinya. Apalagi, ketika posisi duduk antara dua sujud, kepalanya malah bolak-balik menoleh, seperti capung.

Entah salat macam apa yang dilakukan Basri itu!

Cerita berpindah pada Aril.

****

Aril membuka mata perlahan, pandangannya yang kabur membuat dia mengucek matanya beberapa kali.

Langit-langit kamar berlapis triplek masuk ke kornea mata lelaki itu. Walau agak buram, tapi dia dapat menebak, bawah itu adalah langit-langit sebuah kamar. Berarti saat ini, dia sedang terbaring. Aril mengarahkan pandangan ke samping.

Ternyata benar, dia sekarang terbaring di atas ranjang berkasur empuk, yang beralaskan seprai berwarna biru. Aroma wangi menguar dari sana, membuat napas Aril terasa lega.

Mata lelaki itu beralih menyapu seluruh ruangan. Dari bentuk dinding, dia bisa memahami, jika saat ini dia sedang berada di sebuah rumah semi permanen.

Rumah siapakah ini?

Pertanyaan itu muncul di hatinya, Aril coba mengingat kejadian sebelum dia terbaring di sini.

Namun, sia-sia.

Tak satu pun memori yang bisa diputar oleh otaknya. Aril berusaha keras, memaksa isi kepalanya untuk menggambarkan apa saja yang mungkin dia ingat.

Tapi, tetap sia-sia.

Ketika dia paksakan, malah ada yang berdenyut dalam kepalanya. Semakin lama semakin sakit. Akirnya Aril menyerah, membiarkan otaknya kembali kosong. Rasa sakit itu pun menghilang.

Aril menggerakan badan berusaha untuk bangkit.

"Uhhhhh ...!"

Dia melenguh, dengan wajah berkerenyit menahan sakit.

Tubuhnya terasa kaku dengan rasa sakit hampir di seluruh persendian. Beberapa bagian kulitnya terasa perih.

Aril mengangkat tangan kanan. Wajahnya kembali mengernyit, melihat kulit tangannya yang terkelupas, seperti habis diseret di atas aspal.

"Syukurlah! Ternyata Mas sudah bangun."

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Aril, matanya refleks mengarah ke pintu, dari mana sumber suara itu berasal. Terlihat seorang gadis berkebaya, sedang memasuki kamar yang ditempatinya. Ternyata dialah si pemilik suara. Bekas senyum masih tersisa di bibirnya.

Kulitnya yang putih, dengan rambut tebal hitam bergerai menyentuh pinggang. Membuat pemilik suara itu terlihat begitu cantik. Suasana kamar semakin segar, karena aroma parfum yang menguar dari tubuhnya yang ramping.

Gadis itu tidak bisa menahan senyum melihat sikap Aril, walau senyum itu hanya seperti tersipu ... malu.

Aril terpana dengan mulut terbuka, bengong menatap sang gadis. Mungkin karena kecantikan gadis itu, atau karena masih bingung dengan apa yang terjadi menimpa dirinya. Entahlah.

"Di-dimana saya?" tanya Aril sedikit gagap

"Mas sekarang berada di rumah saya," jawab gadis itu lembut.

"Siapa kamu? Kenapa saya berada di sini?"

Aril tidak tergagap lagi, itu menandakan bahwa dia telah dapat menguasai diri. Mungkin karena senyum yang lepas dari bibir gadis berparas cantik tersebut, atau entah karena apa.

"Nama saya, Dara," jawab gadis itu, sambil melangkah ke arah Aril, tanpa mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Dara? Seperti nama burung merpati." Aril bergumam.

Ketika dia bergumam, ada sejumput kegembiraan di hati Aril. Dia merasa otaknya telah pulih. Setidaknya, dia telah bisa mengingat bahwa Dara itu adalah nama lain dari burung merpati.

Gadis itu duduk di kursi kayu yang berada di sebelah ranjang. Posisinya persis dekat kepala Aril.

Ketika gadis itu duduk, aroma wangi dari tubuhnya kembali menguar, dan masuk ke rongga hidung Aril.

Aroma itu mendatangkan kesegaran yang menyenjukan bagi Aril. Aril mengangkat wajah, menatap muka Dara. Mata mereka bertemu.

Dara menunduk, mengalihkan pandangan ke telapak tangannya yang bertaut. Jemari lentik gadis itu saling berkait dan bergerak seperti menari. Hal itu dilakukan Dara untuk menyembunyikan debar di dadanya yang datang tiba-tiba. Mungkin debaran itu datang karena tatapan Aril.

"Kenapa saya sampai berada di sini?" Aril mengulang pertanyaannya tadi.

"Mas terjatuh dari tebing. Untung jatuhnya ke dalam curug, sehingga Mas selamat. Kebetulan Bapak saya menemukan Mas, lalu beliau membawa Mas ke sini. Sudah hampir dua hari, Mas tidak sadarkan diri--"

"Dua hari?" tanya Aril memotong kalimat Dara. Jelas raut keheranan tergambar di wajahnya.

Dara mengangguk, untuk meyakinkan Aril.

Aril memegang perutnya yang tiba-tiba terasa lapar. Itu wajar, karena hampir dua hari dia terkapar. Melihat Aril memegang perut. Dara segera bangkit, dan aroma wangi kembali menguar dari tubuh gadis itu.

"Ternyata perkiraan Bapak saya tepat! Kata beliau, hari ini Mas akan sadar. Karena itu saya sudah menyiapkan makanan untuk Mas," katanya, sambil berlalu ke luar kamar.

Setelah Dara lenyap dari pandangannya, mata Aril kembali menyapu seluruh ruangan itu. Di sebelah kursi yang diduduki Dara tadi, ada meja yang tidak begitu besar. Di atas meja itu bertengger beberapa guci berwarna coklat berukuran sedang. Sepertinya guci itu terbuat dari keramik. Di sampingnya ada termos air dan beberapa cangkir dan mangkuk. Kedua perabot itu juga terbuat dari keramik.

Sangat antik!

Tidak berapa lama kemudian, Dara masuk dengan membawa dua piring di tangannya, yang satu berisi nasi dan yang satunya berisi lauk.

Bau ikan bakar dipadu aroma parfum kembali memasuki hidung Aril, yang membuat rasa laparnya semakin bertambah.

"Mas makan dulu?" ucap Dara, sambil menuangkan air dari termos yang berada di atas meja. Senyum kembali bermain di bibir gadis itu. Senyum tersebut mampu mengusir kecanggungan yang tadi bercokol di hati Aril.

"Aughhh ...!"

Aril melenguh menahan sakit, ketika dia mencoba untuk bangun. Wajah lelaki itu meringis menahan ngilu yang dia rasakan hampir dari seluruh badannya.

"Jangan bangun dulu! Tubuh Mas belum kuat," cegah Dara, dengan satu tangan menahan pundak Aril.

Aril kembali membenamkan tubuhnya ke dalam kasur empuk itu, sementara tangan Dara masih menempel di pundaknya.

Aril merasakan sesuatu yang aneh dari telapak tangan Dara. Telapak tangan itu terasa dingin. Tak ada hawa hangat sedikit pun, seperti layaknya makhluk hidup.

Mata Aril mengarah ke pundaknya yang masih dalam genggaman Dara. Gadis itu seperti tersadar, dan dengan cepat menarik tangannya. Wajah Dara bersemu merah.

Semakin cantik!

Kecantikkan Dara membuat Aril melupakan sesuatu yang aneh tadi. Keanehan yang berasal dari tangan Dara.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦⒋ⷨ͢⚤IмᷡαͤѕͥᏦ͢ᮉ᳟🍜⃝🦁

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦⒋ⷨ͢⚤IмᷡαͤѕͥᏦ͢ᮉ᳟🍜⃝🦁

hati hati loh aril dara itu hantu kayaknya🤭🤭

2023-10-05

0

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦⒋ⷨ͢⚤IмᷡαͤѕͥᏦ͢ᮉ᳟🍜⃝🦁

🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦⒋ⷨ͢⚤IмᷡαͤѕͥᏦ͢ᮉ᳟🍜⃝🦁

hilih cowo emang gitu gk bis liat cewe cantik, lupa deh sama semua nya..

2023-10-05

0

Mochiiz!

Mochiiz!

Bagus banget ceritanya!

2023-09-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!