KESEDIHAN DI WAJAH DARA

Setelah memastikan jendela tertutup dengan benar, Dara membawa Aril kembali ke ranjang.

Telapak tangan kanan gadis itu menempel di punggung Aril, kemudian mendorongnya perlahan. Raut kebingungan masih terlihat di wajah Aril, mungkin hal itu yang membuat langkahnya begitu pelan.

Setelah Aril berada di atas kasur, dia memilih duduk bersilonjor dan bersandar ke bagian ujung ranjang, yang menempel di dinding.

Mata Aril terangkat dengan pikiran melayang, memikirkan apa sebenarnya yang dia alami.

Kenapa dia tidak bisa mengingat kejadian yang terjadi sebelumnya? Kenapa dia melihat sesuatu, sementara Dara tidak melihatnya? Apakah makhluk tersebut sudah pergi ketika Dara datang?

"Minum ini dulu!"

Dara menyodorkan cangkir berisi air bening hangat yang baru saja dia tuangkan dari termos. Hati Aril kembali agak tenang, setelah meneguk habis isi cangkir tersebut.

"Rasanya, saya benar-benar melihat makhluk itu. Melihat dengan nyata," gumam Aril pelan, sangat pelan. Seolah-olah gumaman itu hanya untuk dirinya sendiri, dan gumaman itu memang tidak ditanggapi oleh Dara.

"Orang tuamu kemana?" tanya Aril, ketika mengembalikan cangkir ke tangan Dara. Inilah pertanyaan pertama Aril tentang Dara.

"Bapak sebentar lagi pulang dari kebun. Keseharian Bapak hanya di kebun," jawab Dara, setelah mengembalikan cangkir ke atas meja, kemudian dia duduk di sebuah bangku.

Meskipun mereka duduk di tempat yang tidak sama, tapi posisi mereka sejajar, karena bangku yang diduduki Dara hampir sama tingginya dengan ranjang yang ditempati Aril.

"Sebenarnya saya sekarang berada di mana? Saya juga tidak pernah melihat kamu sebelumnya." Aril kembali bertanya.

"Kampung ini bernama Lubuk Agung. Saya tidak pernah keluar dari kampung ini, jadi wajar jika Mas tidak pernah melihat saya," terang Dara.

"Lubuk Agung?"

Aril mengulang nama daerah yang disebut Dara. Rasanya dia tidak pernah mendengar nama daerah tersebut, atau mungkin karena ingatannya belum pulih, sehingga dia tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya.

"Iya, Lubuk Agung!" Dara menegaskan, sambil tangannya bergerak merapikan anak rambut yang jatuh di keningnya.

Aril memutar kepala, melirik ke arah Dara yang ada di sampingnya. Gadis dengan wajah teduh itu, membalas lirikkan Aril dengan seulas senyum.

Aril kembali memutar kepala ke posisi semula. Terlihat dahinya berkerut, mencoba mengingat sesuatu yang berkaitan dengan nama tersebut. Tapi sia-sia, tak ada satu pun petunjuk yang hadir dalam otaknya.

Mungkin ini yang namanya hilang ingatan ... insomania atau apapun namanya itu, pikir Aril. Sekali lagi dia melirik ke arah gadis yang ada di sampingnya.

Dara?

Itu nama lain dari burung merpati. Hanya itu yang dia ingat dari semua yang pernah tersimpan dalam memorinya, ditambah satu lagi ... insomania, tapi entah benar atau tidak, ada kosa kata yang bernama insomania. Aril masih ragu.

Aril berharap semoga pikirannya segera pulih. Dengan adanya Dara, dan dengan seringnya dia be-interaksi dengan gadis itu, tentu akan lebih membantu.

Aril hanya perlu lebih intens berkomunikasi dengan gadis ini. Untuk itu, Aril kembali menyiapkan sebuah pertanyaan buat Dara.

"Apakah ibumu juga ikut ke ladang?" Pertanyaan seperti itulah yang keluar dari mulut Aril.

Sebenarnya pertanyaan itu hanya sekedar untuk melanjutkan percakapan dengan Dara. Sekaligus untuk mengenal lebih jauh, keluarga orang yang telah menolongnya.

Ada perubahan di wajah Dara ketika mendengar pertanyaan Aril tersebut. Sekelebat kesedihan mampir di wajah cantik gadis itu.

Pertanyaan Aril hanya dijawab dengan des4han, dan gelengan kepala oleh Dara. Gelengan itu sangat pelan sekali, seakan kepalanya begitu berat untuk digerakkan.

"Lalu di mana ibumu?"

Des4han Dara berubah menjadi tarikkan napas dalam. Seketika mendung berkelebat di matanya. Wajah cantik Dara mulai terselubung awan.

"Dari kecil saya tidak pernah tahu di mana keberadaan Ibu saya," jawabnya kemudian, suaranya terdengar lirih.

Dahi Aril berkerut, alisnya yang tebal hampir bertaut, matanya agak menyipit menatap Dara.

"Apakah bapakmu tidak pernah menceritakannya?" Aril kembali bertanya dengan penasaran.

"Pernah ... tapi sampai saat ini, Bapak belum mau memberi tahu di mana Ibu berada."

Kepala gadis itu terangkat, wajahnya menatap langit-langit dengan mata mengembun, yang kini telah mengandung titik air.

Mungkin hal itu dia lakukan untuk mencegah agar bening tidak merembes dari bola matanya. Kesenduan semakin jelas terlihat di wajah gadis itu.

"Kenapa?" Aril semakin penasaran.

Kini dia lebih fokus pada cerita Dara, melupakan kejadian yang sedang dia alami. Rasa penasarannya terhadap Dara semakin bertambah.

"Bapak takut, seandainya saya mengetahui keberadaan Ibu, saya akan meninggalkan Bapak. Bapak tidak mau berpisah dengan saya, karena sayalah satu-satunya anak Beliau, sementara Bapak tidak memiliki siapa-siapa lagi."

Suara Dara terdengar serak, dari kedua bola matanya terlihat sebersit bening siap meluncur ke pipinya yang bersih. Membuat bola mata itu semakin berkilau seperti kaca.

"Orang tuamu bercerai?"

Dara menggeleng lemah, kilau di matanya tertangkap oleh Aril. Seketika ada rasa kasihan di hati lelaki tanggung itu.

Kasihan melihat kesedihan gadis di depannya. Aril tidak ingin melanjutkan pertanyaan itu lagi, takut akan membuat Dara semakin bersedih dan menangis.

****

Sementara itu, di luar terlihat seorang lelaki bercaping dengan cangkul tersandang di pundaknya, dia berjalan menuju rumah di mana Aril dan Dara berada.

langkahnya semakin dekat, sehingga membuat wajahnya semakin jelas terlihat. Tapi ada sesuatu yang ganjil dari wajah itu.

Wajah yang aneh ....

Bentuk wajahnya panjang dengan hidung kecil dan runcing. Sementara kupingnya juga panjang mirip kuping kelinci.

Belum lagi dengan adanya sepasang tanduk di kepala, yang menyebabkan capingnya terganjal, sehingga caping itu miring ke belakang. Hal ini membuat seluruh wajahnya terbuka dan terlihat jelas.

Dagunya lancip dengan ditumbuhi beberapa helai jenggot, di pipi bagian kiri dan kanan ada sejumput bulu hitam yang lebat, berbentuk lingkaran sebesar uang logam.

Bola matanya hitam dengan titik putih di tengah. Bentuknya berbeda dengan makhluk yang dilihat Aril di jendela tadi.

Sepasang taring, juga menyumbul dari pinggir bibir, yang membuat bibir itu seperti terangkat dan mempertontonkan deretan giginya yang tongos.

Gigi itu berwarna kuning dengan noda hitam di antaranya. Besar kemungkinan makhluk ini juga tidak pernah sikat gigi.

Jorok ...!

Makhluk itu memasuki halaman rumah yang berpagar dengan bambu tersebut. Pagar yang sudah terlihat kusam. Mungkin karena terlalu lama tertanam di sana, sehingga membuat warnanya memudar.

Setelah meletakkan cangkul, dan menyangkutkan caping di sebuah paku yang tertancap pada tiang, lelaki itu berjalan ke arah pintu.

Ketika dia membuka caping tadi, ada yang terlihat aneh dari bentuk kepala lelaki ini. Kepalanya tidak datar seperti kepala manusia layaknya, tapi malah lonjong ke atas. Inilah yang membuat wajahnya terlihat panjang.

Rambutnya hanya beberapa helai, sehingga tidak mampu menutupi batok kepalanya yang mengkilap. Bentuk rambut itu kasar seperti ijuk.

Langkahnya berhenti di depan pintu, lalu tangannya bergerak hendak mengetuk daun pintu. Tapi dia urungkan.

Lelaki itu tertegun dengan tangan masih menggantung di udara. Hal itu terjadi, karena lapat-lapat kupingnya menangkap suara percakapan antara Dara dan Aril.

Sesuatu yang luar biasa. Jarak antara kamar yang ditempati Aril cukup jauh dari pintu depan, tapi lelaki itu bisa mendengar suara Aril dan Dara dari sana. Jangan-jangan, lelaki ini memiliki ilmu kesaktian tertentu. Entahlah.

"Rupanya dia telah sadar." Makhluk itu bergumam.

Sesaat kemudian dia berbalik, berjalan ke tempat semula. Berhenti persis dekat caping yang tersangkut, tangannya meraih caping itu.

Dengan caping di tangan, wajahnya tenggedah menatap langit. Mulutnya komat-kamit, sambil menutup wajah dengan caping yang ada di tangannya, beberapa saat kemudian caping itu dia buka.

Taraaaa ...!

Sungguh aneh!

Wajahnya telah berubah, layaknya seperti wajah manusia. Wajah seorang lelaki dengan wajah klimis. Mungkin usianya sekitar empat puluh tahun. Dialah bapaknya Dara, lelaki yang menyelamatkan Aril dari curug waktu itu.

Lelaki tersebut kembali ke depan pintu, kemudian diam mematung di sana dengan mulut komat-kamit. Entah membaca apa. Sesaat kemudian dia mengusap wajah, lalu mengetuk pintu.

Tok tok tok ...!

"Bapak pulang ... Mas di sini aja, ya? Saya mau membuka pintu dulu sebentar."

Ada keceriaan di wajah Dara mendengar ketukkan itu. Dia bangkit, lalu dengan setengah berlari dia menuju pintu, keluar meninggalkan Aril yang masih duduk di atas ranjang.

Ada rasa lega di hati Aril, karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan orang tua Dara. Lelaki yang telah menyelamatkan nyawanya.

Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang dirasakan Aril, dadanya tiba-tiba berdebar aneh. Debaran itu seperti campur aduk, yang menimbulkan rasa cemas.

Aril tidak tahu, kenapa perasaannya menjadi lain dan aneh seperti saat ini.

Entah kenapa rasa seperti itu, tiba-tiba muncul di hatinya. Bahkan debaran di dadanya semakin keras, seiring dengan semakin dekatnya waktu dia akan bertemu dengan bapak Dara.

"Syukurlah, kamu sudah siuman, Nak," ucap lelaki itu, ketika dia muncul di depan pintu kamar Aril.

Deg!

Seperti ada sesuatu yang tidak normal menghantam dada Aril, ketika mendengar suara bapak Dara tersebut.

Mungkin hal itu terjadi, karena rasa khawatir Aril yang berlebihan dari tadi. Apalagi, bapak Dara masuk dengan tiba-tiba, tanpa mengucapkan salam pula.

"Oh, i-iya, Pak!"

Aril kelihatan sedikit gugup. Untunglah lelaki yang ada di depan pintu itu masuk diiringi oleh Dara. Sehingga kegugupan Aril sedikit berkurang. Soalnya Dara cantik sih!

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!