"Bagaimana saya mau makan dengan keadaan seperti ini?" Malah pertanyaan seperti itu yang keluar dari mulut Aril.
Ya, pertanyaan itu benar. Bagaimana dia mau makan, dalam keadaan tidur telentang seperti itu.
Dara tersenyum, kemudian membuka sebuah mangkuk, dan mencuci tangan kanannya di sana. Ternyata salah satu dari mangkuk itu adalah tempat kobokkan.
Gerakkan Dara begitu luwes, ketika memotek daging gurame bakar, lalu menggabungkannya dengan nasi, dan menyuapkan pada Aril.
Aril merasa ragu, tapi ujung jari gadis itu telah menyentuh bibirnya. Aril membuka mulut, dan suapan pertama masuk ke dalam mulut Aril.
Rasa dingin kembali dirasakan Aril, ketika jari Dara menyentuh bibirnya. Membuat hati Aril kembali ragu.
"Mungkin bukan tangan Dara yang aneh, tapi keadaanku yang kurang sehat," batin Aril, berusaha mengusir keraguan yang ada di hatinya.
Benar saja, dari suapan-suapan berikutnya, hawa dingin di tangan Dara semakin berkurang dan akhirnya normal, seperti suhu tubuh orang kebanyakkan.
Satu piring nasi berpindah ke perut Aril, yang membuat tubuhnya agak segar, tenaganya pun kembali pulih.
Setelah meletakkan piring di atas meja, Dara menyodorkan cangkir berisi air ke arah Aril. Dengan cepat Aril mendekatkan mulutnya ke pinggir cangkir.
Tanpa disadarinya, dia telah bangkit dari tidur, dan duduk di atas ranjang. Kemudian Aril meneguk minuman tersebut. Karena airnya benar-benar menyegarkan, sehingga Aril menghabiskan seluruh isi cangkir itu.
"Kenapa tidak berteriak 'auhhh' lagi?" tanya Dara, setelah mengembalikan cangkir ke atas meja. Ketika menyebutkan kata 'auhhh', Dara bergaya persis seperti apa yang terjadi dengan Aril tadi.
"Kenapa?" Aril balik bertanya, dia tidak mengerti maksud pertanyaan dan sikap gadis itu.
"Sekarang Mas tidak berbaring lagi."
Aril kaget, ketika menyadari bahwa dirinya memang tidak berbaring lagi. Rupanya ketika Dara menyodorkan cangkir, dengan reflek Aril bangun, dan duduk di atas ranjang.
"Wawwwww ...!" teriak Aril kegirangan, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, sambil bergerak menyentak tubuhnya untuk bangkit.
"Krakkk ...!"
"Aughhhhh ...!"
Aril berteriak keras, ketika dari bagian pinggangnya terdengar suara seperti tulang beradu.
Rupanya itulah yang membuat Aril berteriak. Rasa sakit dari bagian yang berbunyi tadi, membuat wajah Aril meringis.
Sakitnya luar biasa. Saking sakitnya membuat ada genangan air di kelopak mata Aril. Wajah Aril mengerinyit menatap ke arah Dara.
"Makanya jangan kegirangan dulu!" ucap gadis itu, senyumnya berubah menjadi tawa kecil.
Tawa yang membuat pipinya tertarik dan menciptakan lesung di sana, tapi sebelah, lesung pipi itu adanya hanya di sebelah kanan saja.
Ada rasa kagum di hati Aril melihat lesung pipi tersebut, apalagi dipadu dengan tawa Dara. Sebersit rasa senang mencuat di hati Aril. Sehingga rasa sakit yang baru dia rasakan, seakan sirna.
"Sekarang sudah tidak sakit lagi, kan?" tanya Dara di sela tawanya.
Seperti dihipnotis. Tidak ada lagi rasa sakit yang dirasakannya. Aril seakan tidak yakin dengan apa yang dia alami. Dia menggerakkan beberapa bagian badannya, mencari jika masih ada bagian tubuh yang berasa sakit.
Benar! Tidak ak ada lagi rasa sakit yang mengganggu. Aril kegirangan, dia bergerak ingin melompat untuk meluapkan kegembiraannya.
Tapi batal.
Karena dia tidak ingin mendengar suara 'krak' lagi seperti tadi. Sebab, sakitnya luar biasa.
"Akan lebih segar lagi jika minum ini," ucap Dara, sambil berputar ke arah meja dan mengambil sebuah guci.
Setelah membuka tutup guci, dia menuangkan isinya ke dalam cangkir, dengan hati-hati.
Cairan hijau yang ada dalam guci berpindah ke dalam cangkir. Setelah cangkir terisi setengah, Dara menyerahkannya pada Aril.
Dengan cepat Aril menyodorkan mulutnya ke arah cangkir.
"Minum sendiri! Jangan manja!" perintah Dara, sambil menjauhkan tangannya.
Aril tersipu, lalu tangannya menjangkau cangkir yang dipegang Dara. Sesaat kemudian, isi cangkir berpindah ke dalam perut Aril. Seperti bau rempah, rasanya agak sepat, tapi menyegarkan.
"Saya ke belakang dulu, ya, Mas? Mau beres-beres," pamit Dara, yang dijawab dengan anggukkan oleh Aril.
Dara keluar kamar dengan membawa perabot yang kotor. Mata Aril mengikuti punggung Dara, sampai bayangan gadis itu menghilang.
Badan Aril merasa enteng, sakit yang ia rasakan tadi seolah hilang. Begitu pula di bagian tangan, hanya menyisakan bekas yang agak memerah.
Mengalami kejadian seperti ini, Aril jadi penasaran. Siapa sebenarnya Dara? Apakah dia seorang dukun? Dukun yang cantik? Kenapa dia belum bisa mengingat, apa yang membuatnya sampai berada di tempat ini?
Dara menyebut dia terjatuh, lalu apa yang menyebabkan dia jatuh? Aril tidak ingat, bahkan tidak mampu untuk mengingatnya.
Aril turun dari ranjang, melangkah maju mundur beberapa kali. Dia benar-benar telah merasa vit. Matanya mengarah pada jendela yang tertutup.
Walau di kamar ini terasa sejuk dan menyegarkan. Tapi Aril ingin membuka jendela itu. Dia hendak melihat keadaan di luar rumah, sekaligus untuk memberi sirkulasi udara pada kamar ini.
Dengan santai, Aril menuju jendela, kemudian tangannya menarik engsel, perlahan daun jendela dia buka.
Tiba-tiba ada tarikkan yang kuat dari luar. Aril terkejut dan tangannya lepas dari pegangan.
Brakkk ...!
Jendela terbuka menganga, bersamaan dengan itu, datang gelombang angin yang membawa bau busuk.
Bau busuk itu membuat Aril menjadi mual. Dengan cepat tangannya menjangkau daun jendela dan berusaha menutupnya kembali.
Posisi Aril yang miring ketika menjangkau daun jendela, membuat kepalanya terjulur ke luar.
Seketika tubuh Aril menjadi kaku, dengan mata melotot dan mulut menganga, ketika pandangannya beradu dengan sosok makhluk yang sangat menyeramkan, di depan jendela.
Jarak mereka begitu dekat.
Mungkin makhluk itu yang menarik pintu tadi. Dia berdiri persis di dekat jendela, sehingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari muka Aril.
Tanpa mengetahui hal ini akan terjadi, tentu membuat Aril sangat terkejut, apalagi dengan bentuk makhluk seperti itu ... sangat mengerikan!
Bola matanya berwarna hitam sebesar telur puyuh, dengan pupil berwarna putih. Mata itu menonjol keluar, seperti mau lepas dari rongganya.
Di sisi mulut makhluk tersebut, mencuat sepasang taring runcing berwarna kuning, yang membuat bibirnya seakan tidak bisa tertutup, sehingga deretan giginya yang kuning terpampang di sana.
Melihat taring dan giginya yang berwarna kuning, bisa dipastikan makhluk ini jarang sikat gigi.
Dia tidak memiliki hidung, hanya lubang yang berbentuk rongga, terletak antara dua pipi yang penuh borok.
Borok itu mengeluarkan cairan lendir berwarna putih kecoklatan. Dari cairan itu tercium bau busuk yang sangat menyengat.
Ada sepasang tanduk yang tumbuh di kedua sisi keningnya. Kening itu cekung menjorok ke dalam.
Walau di kening menjulai beberapa helai rambut putih sebesar ijuk, tapi itu tidak mampu menutupi cekungan di tengah keningnya. Bisa dipastikan makhluk ini bukan termasuk golongan manusia.
"Hiiiyyyy ...!"
Untung Aril memiliki refleks yang sangat bagus, serta merta dia menarik kepala ke dalam. Tangannya dengan cepat menjangkau daun jendela, dan menutupnya.
Brakkk ...!
Suara benturan daun pintu sangat keras, sehingga dinding seperti bergetar. Dengan gemetar Aril segera mengunci engsel pintu.
"Ada apa, Mas?"
"Whuaaaaa ...!"
Aril melompat kaget, karena kehadiran dan pertanyaan Dara yang datang tiba-tiba. Apalagi gadis itu bertanya dengan intonasi suara yang cukup tinggi, jelas membuat Aril terkejut. Untung saja dia tidak semaput.
Meskipun dia sangat kaget, tapi setelah mengetahui bahwa yang datang adalah Dara, membuat hatinya jadi lega. Setidaknya, dia tidak lagi sendirian di ruangan ini.
"E-entahlah ... ada sesuatu di balik jendela!" jawab Aril gagap.
Tubuhnya masih gemetar dengan wajah yang memucat. Dara berjalan ke arah jendela sambil melewati Aril, kemudian tangannya terjulur hendak membuka jendela.
"Jangannn ...!" Aril berteriak cemas, dan berusaha mencegah dengan tangan terangkat menggapai Dara.
Kriieettt ...!
Terlambat ... tangan Dara telah berhasil membuka engsel dan mendorong daun jendela. Suara derit, menandakan daun jendela sudah bergeser, bersamaan dengan itu, Aril telah berada di samping Dara.
Udara dari luar masuk melewati jendela yang terbuka, membawa aroma seperti bau rumput yang baru diguyur hujan.
Sangat menyegarkan.
"Tidak ada apa-apa, Mas!" kata Dara sambil menjulurkan kepalanya keluar jendela. Aril ikut mengintip dari celah yang tersisa, di samping Dara.
Tiupan angin yang menyapu Dara, mengakibatkan beberapa helai rambut gadis itu berkibar. Sebagian menerpa wajah Aril, aroma shampo entah merek apa, menguar dari sana.
Suasana di luar temaram, khas panorama sore yang akan digantikan senja, di mana cahaya matahari mulai kehilangan kekuatannya menimpa bumi.
Cahaya itu jatuh pada deretan pohon singkong yang tumbuh rapi, di kebun samping rumah Dara.
Di kebun itu, juga terdapat jenis tumbuhan tua, seperti nangka, rambutan, duren dan beberapa pohon lainnya.
Di atas sebidang tanah dengan pemandangan seperti ini, justru merupakan sesuatu yang sangat indah untuk dinikmati, bukan sesuatu yang pantas untuk ditakuti.
"Tadi, ada makhluk yang sangat mengerikan di sini," gumam Aril.
Gumaman itu, untuk menjawab pertanyaan Dara dan ingin meyakinkan gadis tersebut, dengan apa yang barusan dia lihat. Mata Aril menyipit, menyapu hampir semua area yang ada di luar.
"Tidak ada apa-apa, kan?" tanya Dara sesaat kemudian. Ekspresinya begitu santai, bahkan ada senyum tipis yang tersimpul di bibirnya.
"Entahlah ...." jawab Aril tak yakin, sambil menggeleng pelan.
"Sebaiknya istirahat saja dulu, Mas ... keadaan Mas baru pulih dari pingsan! Mungkin karena kesehatan Mas belum stabil sehingga membuat Mas berpikir yang aneh-aneh," kata Dara, sambil menutup jendela.
Aril hanya diam dalam kebingungan, terlihat dia seperti orang yang sedang berpikir keras, sambil menunggu Dara merapatkan engsel.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments