MALAM TELAH MENJELANG DI TENGAH HUTAN

Tadi pagi, ketika Basri hendak pergi ke sawah, dia melihat ayah Aril sedang memukvl 4njing tersebut.

Melihat hal itu, Basri merasa kasihan, kemudian dia melepaskannya. Tapi bin4tang peliharaan Aril itu malah kabur. Terpaksa Basri mengejarnya, dan akhirnya Basri sampai ke tempat ini.

"Jadi Bapak saya bersedih karena kehilangan saya?" tanya Aril. Mendung seketika bergelayut di wajahnya.

"Ya, sedih, lah! Tidak ada senyum lagi di wajahnya. Beberapa kali saya sempat melihatnya melamun sambil meneteskan air mata. Bahkan pernah beliau menangis meraung-raung di makam ibumu. Beliau merasa bersalah karena tidak bisa menjagamu dengan baik," jawab Basri.

Mendengar cerita Basri, seketika sesak muncul di dada Aril. Matanya menghangat, seperti ada cairan bening yang ingin keluar dari bola mata pemuda itu.

Dia tidak menyangka, jika bapaknya akan mengalami hal seperti itu karena kehilangan dirinya. Selama ini, Aril mengangap bapaknya tidak acuh padanya, tidak sayang pada dirinya.

Bapak Aril memang tipe lelaki pendiam. Begitu pula sikapnya terhadap Aril. Dia sangat jarang menegur anaknya, jika bicara hanya seperlunya saja.

Apalagi bapak Aril, juga jarang di rumah, karena dia memasarkan barang dagangannya sampai keluar kabupaten tempat mereka bermukim. Kadang sampai berhari-hari tidak pulang. Sikap seperti inilah yang disalah artikan oleh Aril.

Kini ada penyesalan di hati lelaki itu, atas sikapnya selama ini yang tidak mengacuhkan bapaknya, tidak mengikuti apa yang dikatakan bapaknya. Bahkan beberapa bulan belakangan, Aril malah sengaja menghindari bapaknya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, agar kita bisa keluar dari hutan ini?" Pertanyaan Basri, membuyarkan lamunan Aril tentang bapaknya.

"Tidak ada cara lain, kita harus kembali ke jalan yang saya lewati tadi. Seingat saya, ada area hutan yang seperti kebun di sana. Tidak terlalu terang, tapi setidaknya ada hamparan lahan yang terbuka." Aril menunjuk ke arah jalan setapak yang dia lewati tadi.

Dengan adanya Basri, Aril tidak khawatir lagi, andai kata nanti dia kembali nyasar masuk kampung Lubuk Agung.

Dia tidak akan gentar menghadapi jin-jin yang ada di sana bila berdua dengan Basri.

Biarlah Basri maju paling depan untuk melibas para jin tersebut. Sementara dia cukup mengawasi dari jauh saja. Kan, Basri yang memegang golok. Begitu tiba-tiba isi fikiran yang muncul dalam otak Aril.

Tapi jika menghadapi Dara, dia rela menanganinya sendiri. Akan dihadapinya Dara dengan penuh kasih sayang. Soal Dara, Basri tidak boleh ikut campur sama sekali. Kini fikiran Aril kembali pada Dara.

"Ahhhhh ...!" Aril mengeluh.

Hampir saja dia menjitak kepalanya, yang seenaknya saja membiarkan Dara masuk ke dalam benaknya. Kepala yang tidak memiliki tenggang rasa, dan tidak bisa diajak kompromi.

Padahal dalam situasi seperti ini, si kepala harusnya memasukkan fikiran, tentang kiat-kiat atau trik bagaimana cara mencari jalan ke luar, bila sedang tersesat di dalam hutan. Bukannya memasukkan bayangan Dara ke dalam otak, seperti yang dialaminya saat ini.

Hal itulah yang membuat Aril mengeluh, dan ingin menjitak kepalanya. Kepala yang tak tahu diri!

"Kenapa kamu mengeluh begitu?" tanya Basri, ketika dia mendengar keluhan dan melihat mimik Aril yang seperti kesal.

"Tidak apa-apa!" Aril menggeleng, dia berusaha menutup kekesalannya dengan menghadirkan sebuah senyuman.

Aril sengaja tidak menceritakan tentang kampung Lubuk Agung pada Basri. Dia khawatir, nanti Basri malah ketakutan, dan tidak mau diajak kembali ke arah semula.

Lagian, tidak lucu juga memiliki teman yang ketakutan di tengah hutan seperti ini, apalagi senja sudah mulai menerpa. Bisa-bisa Aril juga ketularan rasa takut itu.

"Tidak ada apa-apa? Tapi kok kamu menarik napas dalam? Persis kayak bapak-bapak yang sedang memikirkan beratnya beban hidup. Apa tadi ada sesuatu, yang membuat kamu ragu untuk balik ke sana? Hantu misalnya?"

Bukan Basri namanya, bila tidak kepo orangnya, dan merepet pertanyaannya.

Dari dulu Aril sudah memahami sifat temannya itu. Sekarang dia harus mencari kalimat yang tepat, untuk memberikan jawaban yang bisa mengunci mulut Basri, agar pertanyaan berikutnya tidak menyusul dari mulut orang sekepo Basri. Aril diam sesaat. Berfikir!

"Tidak! Tidak ada hantu di sini! Saya hanya bingung. Malam sudah hampir menjelang, kita belum juga menemukan tempat yang tepat untuk istirahat. Bahkan kemungkinan besar, kita akan bermalam di hutan ini. Bila tidak menemukan gubuk petani, setidaknya kita harus mencari goa, biar aman dari gangguan bin4tang buas--"

"Ayo kita ke tempat yang kamu kira kebun petani itu. Siapa tahu di sana ada gubuknya!"

Belum lagi Aril selesai berkata, Basri telah memotong kalimatnya. Bahkan tidak hanya sekedar memotong, tapi Basri langsung meraih tangan Aril, dan segera melangkahkan kaki menuju arah yang ditunjuk Aril tadi, sambil menarik Aril.

Bagi Basri, mencari gubuk petani adalah langkah yang terbaik saat ini, dari pada tidur di dalam goa.

Seperti terseret, Aril mengikuti langkah Basri. Tapi ada kelegaan di hatinya, karena Basri tidak bertanya macam-macam lagi.

Mereka berjalan dengan gegas, melangkahkan kaki membelah hutan di jalan setapak, yang kiri kanannya dipenuhi oleh tumbuhan semak.

Apa yang dikatakan Aril benar. Belum begitu lama mereka berjalan, mereka telah lepas dari jalan setapak yang sempit tersebut. Tapi, malam telah menjelang, sang mentari pun telah kembali tenggelam ke peraduannya.

Sekarang di depan mereka terbentang lahan yang terbuka. Meskipun tidak begitu luas, tapi cukup membuat lega hati Aril dan Basri. Sebab, mereka telah bebas dari kurungan hutan semak belukar.

"Mau tidak mau, kita harus istirahat menunggu pagi di sini. Setelah matahari muncul, baru kita kembali mencari jalan untuk keluar dari hutan." Aril menyampaikan pendapatnya, setelah langkah mereka berhenti.

Beberapa saat, kedua pemuda tanggung itu mengitari lahan terbuka tersebut dengan matanya.

"Tapi ini bukan lahan kebun petani. Hanya tanah kosong di tengah hutan belantara, yang kebetulan tidak ditumbuhi pohon besar dan belukar. Bagaimana kita mau tidur di tempat seperti ini? Tidak ada gubuknya. Apa harus tidur di atas pohon kayak orang utan seperti di jaman batu?" kata Basri, menyampaikan apa yang sedang dia pikirkan tentang area tersebut.

Celoteh Basri merepet, sambil menatap Aril dengan penuh keraguan. Mirip orang bingung.

Sementara itu Aril hanya diam, dengan mata terus menyusuri lahan yang menghampar di hadapan mereka.

Sepertinya Aril sedang mencari sesuatu dengan ujung matanya, sehingga membuat dia mengabaikan apa yang baru saja dikatakan Basri.

"Apakah tidak ada lokasi lain, selain dari tempat ini? Sebaiknya kita cari kebun petani yang ada gubuknya!" lanjut Basri dengan pertanyaan yang disertai oleh sebuah usulan.

Kalimat itu meluncur dari mulut Basri, mungkin karena dia sudah tidak sabar lagi berdiam diri, menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Aril yang masih terkunci.

"Seingat saya, cuma ini satu-satunya lahan yang terbuka. Mau mencari lahan yang lain di saat malam begini, sangat beresiko," jawab Aril berbohong.

Jawaban Aril membuat Basri lemas, seperti kehilangan tenaga.

Basri membayangkan, betapa menyeramkan tidur di atas pohon. Apalagi jika harus tidur di atas tanah dengan lahan yang terbuka. Bisa saja dia tidak akan pernah lagi melihat matahari untuk selamanya.

Mungkin mereka akan berkubur dalam perut ular, atau tercabik oleh gigitan bin4tang buas.

Sebenarnya tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang, Aril sempat melewati beberapa kebun yang berbatasan dengan kampung Lubuk Agung. Namun, Aril terpaksa harus berbohong pada Basri.

Aril khawatir, jika mereka nekat mencari kebun tersebut, artinya arah mereka akan kembali menuju ke kampung Lubuk Agung.

Bagaimana jika kebablasan, dan mereka justru kembali masuk ke dalam kampung yang dihuni oleh para jin itu.

Tentu mereka berdua akan terperangkap di sana. Apalagi, Aril ingat apa yang dikatakan Dara, bahwa dia tidak boleh keluar rumah. Artinya mereka akan terkurung di dalam rumah jin.

Andai kata nanti mereka menemukan kebun tersebut, dan tidak sampai kebablasan masuk ke dalam kampung Lubuk Agung. Namun, ada keyakinan di hati Aril, bahwa kebun-kebun yang dia lewati tadi, pemiliknya adalah para jin yang mendiami kampung Lubuk Agung, atau jin-jin yang ada di sekitar kampung Lubuk Agung itu.

Karena pekerjaan pak Sarwo adalah petani. Mungkin saja, salah satu kebun yang dia lewati tadi adalah milik pak Sarwo.

Menginap di kebun yang dimiliki oleh para jin, sama saja menyerahkan diri pada para jin tersebut. Tentu saja mereka akan berurusan dengan jin yang ada di sana nantinya.

Berurusan dengan pak Sarwo dan anaknya, bukanlah sesuatu yang dikhawatirkan Aril. Tapi, makhluk-makhluk yang ada di rumah Dara, itu yang mencemaskan dirinya. Bentuk mereka sangat mengerikan.

Mungkin saja jin pemilik kebun, bentuknya persis seperti makhluk yang pernah dilihatnya di jendela waktu itu.

Namanya juga satu kampung, tentu ujud mereka tidak akan jauh berbeda. Begitulah asumsi Aril dalam pikirannya.

Tapi apa yang dia pikirkan itu, justru membuat tengkuknya tiba-tiba merinding. Merinding karena ingat bentuk makhluk yang duduk berjuntai di jendela rumah pak Sarwo.

Mengingat bentuknya saja sudah bikin orang sekaliber Aril merinding. Apalagi jika Basri yang melihatnya. Pasti dia tidak akan kuat.

Jika Aril tadi sempat berfikir bahwa Basri-lah yang akan dia suruh maju menghadapi para jin tersebut, itu adalah pemikiran yang ngaur.

Sebab, meskipun Basri tidak kenal takut merancah hutan, dan berani menghadapi manusia jenis apapun (kecuali nenek-nenek berwajah seram tentunya,) tapi yang namanya makhluk astral, adalah sesuatu yang bisa membuat Basri kencing dalam celana.

Mengenai kenapa Basri begitu takut sama nenek-nenek berwajah seram, akan dikisahkan pada bab berikutnya.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!