SI JANGGUIK MERAH

"Assalamualaikum!"

Tiba-tiba terdengar ucapan salam yang keluar entah dari mulut siapa. Suara tersebut membuat pak Sarwo menghentikan aktivitas-nya.

"Waalaikum salam!"

Hampir bersamaan ucapan salam itu dijawab oleh pak Sarwo dan Dara. Sambil menjawab salam, Dara menggeser duduknya ke samping pak Sarwo.

"Ada keperluan apa, sehingga Kang Mas memanggil saya dengan cara seperti ini?"

Seiring dengan pertanyaan itu, di depan Dara dan Pak Sarwo telah muncul sosok makhluk yang memiliki jenggot berwarna merah.

Tidak jelas dari arah mana datangnya makhluk tersebut. Tiba-tiba dia telah berada saja di hadapan pak Sarwo dan Dara.

Makhluk tersebut adalah sahabat pak Sarwo yang bernama si Jangguik Merah. Mungkin karena jenggotnya yang berwarna merah, sehingga dia dipanggil dengan sebutan si Jangguik Merah.

"Saya butuh bantuanmu malam ini juga, Dinda Jangguik Merah! Makanya saya memanggilmu dengan cara seperti ini," jawab pak Sarwo, sambil mengulurkan tangannya.

Saat ini pak Sarwo memanggil si Jangguik Merah memang dengan cara yang tak biasa.

Selama ini, bila dia hendak bertemu dengan si Jangguik Merah, pak Sarwo memanggil sahabatnya itu cukup dengan tafakur saja.

Mereka melakukan telepati. Berkomunikasi lewat suara hati. Namun kali ini, pak Sarwo pakai acara membakar kemenyan segala.

Mungkin hal itu dilakukan agar komunikasi mereka cepat tersambung. Sebab, di alam jin, asap kemenyan adalah sinyal wifi yang mempunyai kekuatan anti lemot. Signal-nya sangat kuat, tanpa harus mutar-mutar seperti obat anti nyamuk bakar.

Karena itu, yang namanya bubuk kemenyan wajib dimiliki oleh jin sekaliber pak Sarwo, agar komunikasinya tetap lancar, jelas, dan tanpa harus pindah sana-sini, untuk mencari sinyal yang kuat.

Jangguik Merah membalas uluran tangan pak Sarwo. Mereka berjabat tangan. Setelah itu si Jangguik Merah, pun bersalaman dengan Dara.

Jangguik Merah duduk di hadapan pak Sarwo dan Dara. Ketiga makhluk itu duduk bersila, di atas sebuah tikar yang terbuat dari pandan.

"Sebentar lagi mata hari akan tenggelam. Segeralah pagar rumah dan pekarangan ini dengan ilmu halimun tingkat tinggi, agar para jin pengawas tidak bisa memasuki area pekarangan ini sama sekali!" ucap pak Sarwo seperti bertitah, di saat si Jangguik Merah telah duduk dengan sempurna di hadapannya.

"Apakah jin pengawas masih mengganggu Dara?" Si Jangguik Merah menanggapi ucapan pak Sarwo dengan pertanyaan.

"Bukan, Dinda." Pak Sarwo menggelengkan kepala.

"Malam ini saya akan ke luar. Ada sesuatu yang ingin saya lakukan di luar sana, sementara Dara akan tinggal di sini sendiri," lanjutnya.

Apa yang dikatakan pak Sarwo membuat jidad si Jangguik Merah berkerut. " Kang Mas tidak boleh melakukan itu, itu sangat berbahaya!" cegah si Jangguik Merah dengan raut khawatir.

Dia mengetahui bahwa pak Sarwo saat ini sedang menjalani hukuman.

"Saya harus melakukannya, demi anak saya, sekaligus untuk menebus kesalahan yang pernah saya perbuat terhadap anak dan istri saya selama ini. Apapun akan saya lakukan, sebab inilah kesempatan satu-satunya agar Dara bisa bertemu dengan ibunya."

Mendengar apa yang dikatakan pak Sarwo, seketika tatapan si Jangguik Merah beralih pada Dara. Gadis itu hanya menunduk, dengan bekas kesedihan masih tersirat di wajahnya.

"Apakah Kang Mas akan menjemput ibu Dara ke alam manusia?" tanya si Jangguik Merah, sambil mengembalikan tatapannya pada pak Sarwo.

"Tidak." Pak Sarwo menggeleng pelan, kemudian dia menceritakan peristiwa yang dia alami beberapa hari ini. Tentang keberadaan Aril.

"Saya sangat berharap Dinda mau membantu saya. Tutuplah diri saya dan Dara dari pandangan bangsa jin. Saya akan mencari anak itu, sementara Dara tetap di rumah ini." Pak Sarwo mengakhiri ceritanya dengan sebuah permintaan.

"Tentu saya akan membantu, Kang Mas ...."

Si Jangguik Merah menjeda kalimatnya. Terlihat dia seperti berfikir, dengan telapak tangan mengusap jenggot lebatnya yang berwarna merah, beberapa kali.

"Tapi, Kang Mas tidak bisa keluar dari tempat ini sendiri. Itu terlalu beresiko bagi Kang Mas," lanjut si Jangguik Merah, sambil melepaskan tangan dari bawah dagunya.

"Bukankah kamu bisa menutupi saya dengan ilmu halimunmu?"

"Itu bisa saya lakukan jika Kang Mas menetap di suatu tempat. Seperti di rumah atau area pekarangan ini, atau bila Kang Mas berada di dekat saya," jawab si Jangguik Merah.

Dia menghentikan kalimatnya dengan tatapan lurus mengarah pada wajah pak Sarwo.

"Selagi Kang Mas tidak keluar dari area pekarangan, mereka tidak akan dapat melihat ujud Kang Mas. Tapi, bila Kang Mas telah berpindah tempat, mereka dapat dengan mudah melihat ujud Kang Mas." Si Jangguik Merah melanjutkan, dengan menerangkan kelemahan ilmu yang dia miliki.

***

Cerita kita pindahkan pada Aril, yang saat ini sedang dihadang oleh jurang yang sangat curam.

"Waduh, jalannya buntu," gumam Aril. Matanya bergerilya memperhatikan seluruh bibir jurang.

Jurang itu sangat dalam dan curam. Mustahil rasanya ada orang yang mampu menuruni jurang tersebut.

Seperti itu juga dengan Aril. Dia tidak berniat untuk menuruni jurangnya, karena sangat beresiko.

Aril mengitari seluruh area hutan dengan matanya. Mencari celah semak yang mungkin bisa dia terobos. Namun, tidak ada satupun celah belukar yang terbuka. Semua seperti diselimuti aneka pohon dan semak yang berduri.

Satu-satunya peluang, hanya dari sekumpulan rumpun bambu yang tumbuh di pinggir jurang. Itu pun, dia harus berjalan antara pohon bambu yang celahnya sangat sempit.

Sayang sekali, dia sudah tidak memiliki golok. Aril termenung sesaat. Matanya menilik rumpun bambu dengan teliti.

Tak ada pilihan lain, jika dia benar-benar ingin keluar dari tempat ini. Dia harus menerobos celah sempit yang ada di antara pohon bambu tersebut. Sangat beresiko, tapi resikonya tidak sebesar bila dia menuruni jurang.

Setelah meneliti cukup lama, Aril menjadi was-was. Ada keraguan di hatinya, akhirnya pemuda tanggung itu memutuskan untuk istirahat sejenak.

Dia duduk dengan fikiran terus bekerja. Memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan dia tempuh.

Apakah akan kembali ke arah semula?

Siapa tahu, tadi ada cabang jalan setapak yang luput dari pandangannya. Mungkin saja cabang itu berujung di kaki hutan, yang terdapat perkampungan manusia di sekitarnya.

Tapi, Aril tidak tahu, entah sudah berapa jauh dia meninggalkan kampung Lubuk Agung.

Jika kembali ke arah semula, dia khawatir akan kebablasan dan masuk lagi ke kampung Lubuk Agung. Kampungnya para jin.

Kampung yang aneh, dengan suara-suara yang aneh. Kuda yang aneh, dan kusirnya juga aneh, bahkan pak Sarwo pun ikut-ikutan aneh.

Hanya Dara saja yang tidak aneh.

Mungkin Aril akan kembali ke sana, andai hanya Dara semata wayang yang berdiam di kampung tersebut.

Aril rela hidup di tengah hutan, asal bersama Dara. Menjadi petani pun oke, asal bersama Dara. Dilarang berburu juga tidak masalah, asal yang melarang bukan bapaknya Aril, bukan pula ibunya Basri dan bukan juga bapaknya Dara. Tapi yang melarang, harus Dara seorang.

Pikiran Aril tiba-tiba malah jadi ngaur. Mengembara tidak jelas pada sosok Dara, bukannya memikirkan bagaimana caranya untuk pulang.

"Ahhhh ....!" Aril mendes4h pelan, ketika isi kepalanya seakan dipenuhi oleh bayangan Dara. Gadis keturunan jin yang telah mencuri hatinya.

Ada rasa sedih di hati Aril, karena telah meninggalkan Dara. Tapi untuk kembali, rasanya tidak mungkin.

"Apa boleh buat, Say! Alam kita berbeda." Aril bergumam pelan sambil menguar rambutnya yang sedikit gondrong.

Beberapa kali dia menyibak rambut untuk merapikannya. Entah kenapa, Aril pengen ganteng bila ingat Dara.

"Hohohooiiiiii ....!"

Dalam lamunannya, Aril dikagetkan oleh suara teriakkan seseorang.

Lelaki muda itu mempertajam indra pendengarannya, dengan mengangkat kepala. Mendongak.

"Hohohooiiiiii ....! Hohohooiiiiii ...!"

Teriakkan itu berulang, yang membuat senyum lepas dari bibir Aril. Ada kegembiraan dihatinya mendengar teriakkan tersebut.

Teriakkan seperti itu, adalah kode teriakkan dari para pemburu yang terpisah dengan kelompoknya. Itu yang dia pelajari dari kelompok Tarjo.

"Hohohoooiiiiii ...!"

Aril berdiri sambil membalas teriakkan tersebut. Kedua telapak tangannya dia dekatkan ke mulut, membentuk corong. Mungkin maksudnya, agar suaranya terdengar lebih keras.

Bayangan Dara, pun raib seketika dari kepala Aril.

"Hohohoooiiiiii ...!" Teriakkan Aril pun dibalas oleh pemilik suara tersebut.

"Siapa di sana?"

Pertanyaan itu muncul dari pemilik suara, setelah Aril tujuh kali membalas teriakkan dari pemilik suara tersebut.

Memang begitu aturannya di hutan. Setelah balasan ke tujuh, barulah sipeneriak pertama boleh bertanya nama. Entah mitos dari mana pula itu. Mungkin hanya karangan Tarjo saja dengan kelompok berburunya.

"Saya Aril ...!" jawab Aril menyebutkan namanya.

"Aril ...?"

"Ya ...! Saya Aril ...!"

"Saya Basri ...! Di mana posisimu, Ril?!"

Ternyata pemilik suara itu adalah Basri, teman satu kelompok dengan Aril, yang tergabung dalam kelompok berburu Tarjo.

"Saya di sekitar rumpun bambu! Dekat pinggir jurang ...!" teriak Aril memberi tahu posisinya.

"Oke ...! Saya juga dekat jurang ...! Saya dapat melihat pohon bambu yang kamu maksud ...! Saya akan ke sana ...! Tetap balas teriakkan saya ya ...!"

Meskipun mengucapkan kalimat yang cukup panjang, tapi suara Basri terdengar lantang. Sehingga suara binatang hutan yang bersenandung dari tadi, sempat terjeda beberapa saat.

"Okee ...!"

Aril membalas kalimat Basri dengan suara lebih lantang. Mungkin karena balasan Aril tersebut hanya satu kata, dan pakai bahasa Inggris pula, yang surplus huruf 'e' dan kekurangan huruf 'y.' Sehingga suaranya begitu menggelegar.

BERSAMBUNG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!