Episode 7

"Lho Ran.. Lo dari mana aja sih..?" Tanya Fian saat melihat Ran sedang menata makanan di meja makan untuk makan siang. Bunda dan Nia juga ada. Mereka berdua sudah pulang dari pasar.

"Ada di kamar... Ketiduran." Jawab Ran. Ran menjawab tanpa menoleh sedikitpun ke arah Fian. Dia masih menata piring.

"Hah... Di kamar. Yakin itu. Tapi tadi gue nyari Lo di kamar kok tidak ada." Fian mendekati meja dan duduk di salah satu kursi yang ada.

"Ikh .. Sono dulu apa. Ini belum selesai di tata. Jadi susah naruhnya..." Ran mengusir Fian. Memang Ran jadi kesulitan saat meletakkan mangkok dan juga segala peralatan makan.

"Iya.. Iya.. Sewot aja sih." Fian bangkit dari duduknya sambil bersungut-sungut. "Padahal bisa dari sebelah sana." Lanjut Fian sambil menyingkir dan berjalan ke ruang tamu.

"Ikh ngambek..."

"Sudah..sudah.. Kalian ini kalau bertemu selalu saja ribut." Bunda menengahi perdebatan di antara mereka.

" Ran.. beneran tadi kamu tidur di kamar." Tanya Bara. Dia belum yakin dengan keterangan Ran. Pasalnya memang tadi dia dan Fian mencari ke kamar, namun tidak ada siapa-siapa. Bahkan tempat tidur masih terlihat rapi. Tidak ada bekas ditiduri.

"Kalian berdua kenapa sih. Tidak percaya banget sama gue. Untuk apa gue berbohong. Tidak ada untungnya juga.." Ran menjawab dengan rasa kesal. Mukanya cemberut. Jadi orang yang tidak dipercayai itu sangat mengesalkan. Tapi memang benar jawaban Ran.

"Eh.. Jangan marah Ran. Kita hanya ingin tahu. "

"Iya.. Iya.. tidak apa-apa. Bunda.. Ayah belum pulang. Udah siang juga." Ran mengalihkan pembicaraan. Dia merasa sebal karena sudah tidak dipercayai.

"Eh .. Iy juga. Belum kelihatan. Berarti belum pulang." Jawab bunda. Bunda melihat ke arah jam yang terpasang di dinding. "Sudah jam satu. Ada apa ya kok lama."

Ran menggeleng. Bara hanya menyimak saja.

"Bunda... Lapar. Fian ikut makan ya." Fian yang berada di ruang tamu, yang dari tadi hanya menyimak akhirnya ikut masuk ke ruang makan. Dia dengan manjanya memeluk lengan bunda.

"Eh..eh.. Anak siapa sih. Manja bener." Bara mencibir melihat kelakuan Fian. "Iri bilang bos.." Fian membalas mencibir Bara.

"Maaf ya, saya tidak pernah iri dan dengki. saya orang baik dan tidak sombong." Jawab Bara lagi.

"Hilih, dokter narsis.." Fian tidak mau kalah.

Bunda hanya tersenyum. Dia bahagia melihat itu semua. Serasa mempunyai anak-anak yang selalu bisa menghibur hari-harinya.

Setetes airmata jatuh di pipi bunda. Dia sangat terharu melihat keakraban mereka. Becandaan mereka yang selalu bisa mengalihkan semua kesedihan yang dia rasakan. Kepergian Arin yang tiba-tiba, sungguh membuat bunda terpukul dan terpuruk.

Namun disisi lain bunda mendapatkan kehangatan dari mereka yang sudah seperti keluarga sendiri. Rumah yang selalu ramai oleh anak-anak yang selalu menyempatkan diri untuk datang, demi hanya untuk menghiburnya.

Apa yang dirasakan Bunda saat ini, tidak lepas dari pandangan Fian dan Bara. Mereka berdua mendekati bunda secara bersamaan dan memeluk bunda. "Bunda kenapa. Jangan sedih lagi ada kita yang akan selalu menemani bunda.." Fian mengusap tangan bunda dengan penuh kelembutan. Dia sangat menyayangi bunda seperti ibunya sendiri. Bahkan tak jarang dia datang ke rumah bunda hanya untuk menumpang makan.

"Bunda tinggal bilang ke kita, mau apa saja. Kita akan melaksanakan dengan sebaik mungkin." Tambah Bara. Mereka berdua tidak mau bunda bersedih.

"Hiks...hiks.. Terimakasih kalian mau menjadi anak-anak bunda. Bunda terharu melihat kalian begitu perhatian sama bunda." Bunda semakin terisak. Dadanya terasa semakin sesak, bunda kembali teringat Arin. Kematian Arin yang tidak mereka sangka, membuat seluruh keluarga terpukul. Orang-orang terdekat juga merasa terluka karena merindukan dia.

"Sudah bunda, jangan menangis lagi. Kita ada disini."

Bara tentu saja ikut merasa bersedih. Demikian juga dengan Fian. Tak terasa air mata menetes begitu saja. Dada mereka pun terasa sesak. Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk melepaskan semua rasa yang ada di dalam dada.

Rama yang dari tadi memperhatikan dari kamar, merasa tidak tahan dengan keadaan itu. Walaupun hatinya juga sangat bersedih dan merasa sangat kehilangan. Namun dia tidak mau kesedihan ini menjadi berlarut-larut. Rama berusaha mengalihkan suasana

Setelah menghapus airmata yang juga menetes di pipinya. Rama mendekati mereka bertiga yang sedang berpelukan. " Ada apa ini, kok berpelukan. Seperti Teletubbies...." Ucapnya sambil mencibir.

" Hilih kamu Ram, merusak suasana saja..." Fian melepas pelukannya pada bunda dan duduk di kursi yang biasa di duduki oleh Arin. Diikuti oleh Bara.

"Bunda lapar....Tadi habis menyapu halaman lima kali..." Ucap Rama merengek seperti bocah yang kelaparan.

" Kok bisa lima kali, rajin amat Ram.." Fian memandang Rama tidak percaya. "Tanya saja sama bang Bara.. dia saksinya. Untung tadi dibantuin sama bang Bara. Kalau tidak , entahlah sampai kapan akan selesai." Muka Rama terlihat memelas. Seperti orang yang teraniaya.

" Biasa aja kali itu muka. Lebay Lo Ram...." Nia yang baru datang ikut berkomentar karena sebal melihat muka Rama.

"Dih kakak... adik kan capek.." Rama malah sengaja bersikap manja.

" Kalau capek ya istirahat, lapar ya makan. " Nia berucap sambil lalu. Dia masih harus menyiapkan nasi tambahan karena yang ikut makan bertambah banyak. Tapi Nia senang rumah menjadi ramai dan itu bisa mengalihkan kesedihan bunda.

"Eh, Ram. Bagaimana ceritanya kamu bisa menyapu sampai lima kali." Tanya Nia, Nia ikut duduk salah satu kursi. Dia sungguh penasaran mendengar cerita Rama .

", Sudah Sono, ke dapur. Nanti tempenya gosong.."

" Eh iya lupa..." Nia berlari ke dapur. Dia lupa kalau sedang menggoreng tempe.

Ran dan Nia memasak di dapur. Sambil memasak mereka berbincang santai selayaknya wanita. Namun tiba-tiba..

"Ran... Kamu mencium bau sesuatu ga sih.." Nia mengendus-endus. Dia mencium bau menyengat yang tidak biasanya. Dapur biasanya bau masakan, ini malah bau kemenyan.

" Bau apa sih kak..." Ran pun ikut mengendus. Namun dia hanya mencium bau masakan.

" Coba Cium deh Ran.. Seperti bau kemenyan yang di bakar..."

Baru saja ucapan Nia berhenti, Ran langsung mencium,bau kemenyan yang sangat menyengat. Seperti sangat dekat membakarnya.

" Iya kak.. Sekarang tercium baunya. Siapa yang siang bolong membakar kemenyan..."

"Tidak tau juga. Tapi baunya seperti di bakar di sekitar sini. Tercium sangat dekat aromanya.."

Ran dan Nia semakin mengendus. Mereka melihat ke sekeliling. Tidak ada asap yang terlihat. Namun bau itu semakin santer tercium di hidung mereka.

"Siapa sih yang siang-siang melakukannya. Kurang kerjaan banget.." Ran terlihat kesal. Dia mulai menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan rumah ini. Ada yang sengaja menerornya. Entah apa tujuan orang tersebut.

"Iya juga ya Ran, setau aku ayah sama bunda tidak pernah melakukannya hal seperti ini sama sekali... " Nia segera mengangkat tempe yang terlihat sudah matang dari penggorengan. Sedangkan Ran mengangkat nasi dari kukusan.

"Nah, Akhirnya selesai semua. Ayo ke depan kak, Aku lapar.. ..hehehe.." Ran cengengesan ketika perutnya berbunyi. Dia malu sama Nia yang mendengar suara perut yang terdengar keras.

"Ayo, kita bawa ke depan. Semua pasti sudah menunggu.."

Ran dan Nia menuju ruang makan. Semua sudah berkumpul untuk makan. Ayah sudah pulang dan sudah duduk di kursi di ruang makan tersebut.

" Ran, Ustadz Yusuf mana. Panggil sana.." Ucap Ayah, sengaja menyuruh Ran karena Ran yang sudah terbiasa dengan Yusuf.

Ran menuju kamar Rama. Namun dia tidak melihat Yusuf di dalam kamar. Setahu Ran, Ustadz Yusuf tidak pergi. Setau Ran ustadz Yusuf tidak keluar kamar sama sekali dari tadi. Tapi kok di dalam kamar tidak ada.

" Kemana ustadz ya, kayaknya tidak terlihat keluar.... Tapi itu apa... Apa mungkin.....ya sudahlah."

Ran bergegas keluar kamar. Dia harus segera bilang pada Ayah. Walaupun sebenarnya Ran ingin tau namun harus dia tahan dulu.

" Ustadz Yusuf tidak ada di kamar.. Tidak tahu pergi kemana..."

"Apa kalian tidak ada yang melihat Yusuf keluar..." Tanya Ayah sambil melihat satu persatu mereka yang ada di ruang makan tersebut. Namun mereka semua menggeleng. Itu artinya tak ada satupun dari mereka melihatnya.

"Astaghfirullah Al adzim...."

Fian tiba-tiba terperanjat dan bangkit dari duduknya. Dan berjalan ke arah dinding.

" Ada apa Fian..."

Semua orang bingung dengan apa yang dilakukan Fian kecuali Bara. Ternyata Fian menyadari juga keanehan tersebut. Pandangan mereka mengikuti kemana Fian melangkah.

"Assalamu'alaikum....."

Namun tak lama kemudian terdengar salam. Semua menoleh ke pintu. Mereka tidak fokus pada Fian lagi.

"Wa'alaikumsalam....." Jawab mereka bersamaan.

"Lho.. Mas Yusuf dari mana. ..?"

" Dari luar sebentar..."

"Oh pantesan tidak ada di kamar.. .. Duduk sini mas, kita makan bersama. Kebetulan lagi berkumpul semua.. Dan kebetulan sudah lapar semua..." Ayah mempersilahkan tamunya. Karena memang waktunya makan dan makan makanan sudah siap di meja.

Ran memandang sekilas ke arah Yusuf. Kemudian dia menoleh ke arah Fian dan Bara, yang ternyata juga sedang menatap ustadz Yusuf. Namun sejurus kemudian Bara menoleh ke tempat Fian.

Ran melihat Fian dan Bara saling pandang dan kemudian mengangguk. Ran penasaran terhadap apa yang mereka lakukan. Apa mungkin yang mereka pikirkan sama.

"Aya... Ayo kalian semua makan yang banyak. Ini Ran sama Nia sudah masak banyak. Harus habis dari pada mubazir. "

"Iya bunda... "

Semua menjawab dengan serempak. Kemudian secara bergantian mengambil makanan yang telah tersedia di meja. Menikmatinya dengan penuh perasaan karena memang mereka semua sudah lapar.

Hanya Ran yang terlihat hanya mengaduk makanannya. Fian pun demikian. Dia menjadi tidak berselera makan. Entah kenapa kedua bocah itu. Sering terdapat kesamaan yang tidak sengaja mereka lakukan.

"Ran... Fian kok tidak di makan makanan nya. Tadi bilang nya lapar.." Bunda melihat keanehan kedua orang tersebut, karena biasanya Fian selalu lahab bila makan bersama seperti ini.

",Eh .. Iya bund..."

",Jodoh ini pasti..... Hahaha..." Rama meledek keduanya. Rama memang suka sekali menggoda Ran dan Fian karena mereka berdua pasti akan terlihat merah mukanya.

" Apaan sih Ram...." Fian terlihat tersenyum malu. Demikian juga dengan Ran.

" Kan iya, kalian selalu kompak. Itu artinya jodoh.. Weeeeh...."

Fian melempar tatapan membunuh pada Rama. Namun Rama malah semakin terbahak.

"Sudah... Sudah. Makan dulu. Rama jangan suka menggoda. Tapi bunda setuju sih...." Bunda tersenyum. Dia membayangkan kedua orang itu bersatu. Pasti serasi pikir bunda.

"Tuh.. Sudah dapat restu..." Rama masih terus menggoda Fian. Ran mencibir pada Rama. Sedangkan Fian hanya tersenyum.

"Sudah.. Sudah lanjutkan makannya. Setelah ini kita akan mendengarkan penjelasan dari Mas Yusuf. Bukan kah begitu Ustadz....." Ucap ayah menengahi.

"Uhuk....uhuk.uhuk.. " Ustadz Yusuf tersedak. Mungkin karena fokus mengunyah, menjadi terkejut karena ucapan ayah yang tidak di duga.

" Pelan-pelan makanya mas , sampai tersedak begitu. "

Bunda menyodorkan segelas air putih kepada ustadz Yusuf. Semua orang melihat ke arah ustadz Yusuf.

" Eh.... Kenapa kalian memandangku seperti ini..?" Yusuf terlihat jengah dipandang sedemikian rupa. Namun dia bersikap biasa saja. tetap menyuap dan mengunyah makanannya dengan perlahan.

" Mas Yusuf tidak lupa kan. Tadi pagi ngomong mau bicara sesuatu yang penting.." Cerca ayah .

" Oh iya.. Iya . Kita habiskan dulu makanan kita. Tidak baik berbicara saat makan."

Semua orang meneruskan makannya. Tidak ada suara selain suara sendok dan piring yang beradu.

Namun tiba-tiba..

Kriingg...

Kriingggg...

Suara telepon berbunyi. Semua saling pandang. Suara telepon siapa yang berbunyi.

" Maaf saya angkat telepon dulu.. "

Ternyata punya Ustadz Yusuf . Dia menyingkir sebentar untuk menerima telepon. Semua orang melanjutkan makan.

" Maaf, seperti nya saya harus pulang ke Surabaya. Ningsih menelpon Barusan. Ada sesuatu yang penting harus saya kerjakan..."

Ayah memandang Yusuf sekilas. Ayah menarik nafas panjang. Ayah merasa ada yang disembunyikan oleh ustadz Yusuf.

"Baiklah, nanti biar Rama yang mengantar ke stasiun.." ucap ayah kemudian.

" Tidak usah, biar saya naik ojek saja. Pasti tenaga Rama dibutuhkan di sini untuk persiapan pengajian nanti."

" Baiklah kalau memang itu kemauan Mas Yusuf saya tidak akan memaksa.." Ucap ayah akhirnya.

Semua orang menyelesaikan makannya dan segera akan beristirahat. Ran dan Nia kembali merapikan sisa-sisa makan mereka.

Ran ingin pekerjaannya cepat selesai. Dia juga lelah dan capek. Apalagi hari ini dia mengalami hal yang sangat mengganggu pikirannya. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya, untuk sejenak melupakan semua kejadian yang dia alami.....

Bersambung

Jangan lupa tinggalkan like dan komen Terima kasih ❤️❤️❤️

Terpopuler

Comments

ㅤㅤ

ㅤㅤ

hayoo siapa yang ada di kamar

2023-11-13

7

🍁Cand❣️💋🆂🆄🅼🅰🆁🅽🅸👻ᴸᴷ🔱

🍁Cand❣️💋🆂🆄🅼🅰🆁🅽🅸👻ᴸᴷ🔱

jdi curiga ma yusuf

2023-11-13

7

🍁Cand❣️💋🆂🆄🅼🅰🆁🅽🅸👻ᴸᴷ🔱

🍁Cand❣️💋🆂🆄🅼🅰🆁🅽🅸👻ᴸᴷ🔱

malu2 tpi mau🤭

2023-11-13

7

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!