Sore hari jam pulang kerja, semua karyawan pulang tepat waktu. kecuali Wina, Tiyas dan Doni serta Rudi, mereka masih sibuk melanjutkan pekerjaan mereka yang belum selesai. dan begitu juga Bram yang masih berkutat di meja kerjanya.
Ketika pekerjaan Wina dan kawan-kawannya sudah selesai. Tiba-tiba hp wina berdering, dilihatnya nama yang tertera di layar ponselnya, ternyata sang mertua yang menghubunginya.
“Kalian duluan ya, ada yang telpon!” ucap Wina sambil membuka tasnya.
“Ok, aku tunggu di bawah ya!“ balas Tiyas mengikut langkah Rudi dan Doni.
Wina tersenyum melihat layar ponselnya, lalu ia duduk di salah satu kursi milik staf kantor.
"Halo, pa..."
"Iya Nak, apa kabar?"
"Baik Pa. Ada Apa?”
“Kamu sudah pulang?”
“Belum, Pa. Masih di kantor. Sebentar lagi." Wina melihat sekelilingnya yang sebagian Lampu sudah padam.
“Papa dan Mama saat ada di surabaya.”
"Hah! Kapan Pa! Kenapa Papa gak kabari Wina!" jawab Wina terkejut.
“Iya, papa gak sempet memberitahu kamu. Papa ada meeting dengan rekan bisnis Papa disini,” jelas pak Herman di seberang ponselnya.
"Oh … eum… Pa, maaf akhir tahun ini Wina tidak bisa ke Jakarta,” ucap Wina dengan lesunya
"Kenapa, Nak. Apa ada masalah?"
"Tidak Pa … Wina tidak bisa cuti, maaf ya pa!" jelas Wina
"Iya tidak apa-apa, tapi temui papa sama Mama hari ini di hotel ya dan ada hal yang ingin Mama, Papa sampaikan padamu. Papa sudah pesankan kamar untuk kamu, ajak Syasa ya.
"Baik, Pa. Di hotel biasa kan?”
“Iya.” Wina dan pak Herman memutuskan sambungan ponselnya masing-masing. Wina begitu. Senang akhirnya Mama dan Papa mertuanya datang.
Tanpa disadari Wina, Bram memperhatikannya dan mendengar pembicaraan Wina yang tidak begitu jelas. Bram mengira Wina wanita simpanan dan perempuan tidak benar Karena membicarakan hotel. Namun ia tidak ingin langsung percaya dengan prasangkanya dan tetap berpikir positif. Ia memilih menanyakan langsung pada Wina.
“Belum pulang?” tanya Bram. Wina melihat sekelilingnya, memastikan jika Bram berbicara dengannya.
“Belum, tuan. Tadi orang tua saya menghubungi saya.”
“Terus kamu membicarakan masalah hotel, siapa yang menunggu kamu di sana?” selidik Bram yang benar-benar ingin tahu.
“Maaf, tuan. Saya rasa itu urusan saya. Permisi.” Wina kemudian berjalan menuju lift di ikuti Bram.
“Orang tua kamu?” tanya Bram lagi.
“Iya.”
Wina Masuk ke dalam lift dan tanpa sadar Bram ikut masuk ke lift karyawan. Wina hanya diam tidak berani bertanya. Karena bos berhak sesuka hati menggunakan fasilitas kantor.
“Kau tidak takut berdua denganku di lift?” tanya Bram tiba-tiba. Wina sekilas melihat Bram yang bersandar di dinding lift sambil memasukkan kedua tangannya di dalam kantong celana panjangnya.
“Maaf, tuan. Tuan bukan hantu, untuk apa saya takuti,” balas Wina tersenyum tipis walau sebenarnya ia juga takut berdua dengan bosnya.
“Eum … ngomong-ngomong, kau berapa lama kerja disini?” tanya Bram.
“Dua tahun.”
“Kenapa mau jadi office girl?”
“Hanya itu pekerjaan yang tersedia saat itu.” Bram beralih posisinya di samping Wina, Wina sendiri menggeser posisinya agar tidak terlalu dekat.
“Berapa usia kamu?” tanya Bram lagi. Wina sekilas melihat dirinya, untuk apa sang bos begitu banyak mengajukan pertanyaan pribadi. Tapi bagaimanapun ia harus menjawab dengan sopan.
“27.”
“Sudah menikah?” Wina terdiam dan menunduk lalu ia menggeleng dan tidak menjawab pertanyaan Bram dan juga tidak menjelaskan statusnya.
‘Ting’ suara pintu lift terbuka.
“Permisi tuan, maaf saya duluan.” Wina berjalan keluar, tak lama di ikuti Bram. Mereka berdua menuju parkiran masing-masing..
***
Wina dan Syasa kini berada di hotel. Hotel di mana tempat Pak Herman menginap. Wina memasuki lift sambil menuntun syasa.
Sesampainya di lantai yang di maksud pak Herman, Wina membiarkan putrinya
Berjalan lebih dulu. Syasa berlari kecil menuju kamar sang opa. Tak lupa Syasa melihat nomor kamar yang di maksud.
“Mama … ini kamar opa!” seru Syasa.
“Wah … iya sayang. Coba di ketuk pintunya!” Syasa mengetuk pintu kamar Pak Herman.
'Klek.' Seseorang membuka pintunya.
“Opa!” seru Syasa saat melihat opanya membuka pintunya.
“Cucu Opa!” Pak Herman langsung menggendong Syasa.
“Wina, Ayo masuk! Mama sudah menunggu kamu!” Wina tersenyum dan menyalami pak Herman lebih dulu. Kemudian mereka masuk ke dalam.
“Mama …!” panggil Wina. Bu Dita menoleh.
“Ya Allah, sayang. Apa kabar. Mama rindu.” Bu Mila kemudian memeluk Wina. Bu Dita.
Bu Mita melihat raut wajah Wina begitu lelah, tangannya pun sedikit kasar. Tubuh sedikit kurus. Namun ia juga tidak bisa berbuat banyak, karena semua yang dilakukan Wina adalah pilihannya.
“Maaf, Ma. Wina tidak membawa apa-apa.”
“Tidak apa-apa sayang. Kalian datang kemari saja Mama sudah senang. Sini duduk!” Dita dan Wina duduk di sofa.
“Win … Mama boleh tanya sesuatu?” tanya Bu Dita.
“Boleh, Ma!”
“Kamu kapan mau menikah lagi? Sudah 3 tahun kamu sendiri.”
“Ma …!” Wina memohon pengertian pada Mama mertuanya.
“Syasa butuh sosok Papa, Wina.”
“Wina tahu, Ma. Tapi Wina masih bisa menjadi Ibu sekaligus Ayah untuk Syasa.”
“Tolong buka hati kamu sayang,” sambung Pak Herman yang juga menginginkan Wina menikah lagi.
Wina tersenyum, ia tidak tahu apa ia bisa membuka hati untuk orang lain atau tidak. Rasanya juga sulit ada yang menerima statusnya.
“Memang ada yang mau sama Wina, Ma. Apa lagi Wina punya anak. Wina takut nanti orang itu gak sayang sama Syasa.”
“Pasti ada! Pikirkan Syasa sayang,”jawab bu Dita lalu memangku Syasa.
"Iya ma... akan Wina coba untuk membuka hati," jawab Wina lalu tersenyum, walau ia ragu dengan hatinya sendiri.
“Sebaiknya kamu berhenti dari pekerjaanmu, kalau masih mau kerja, bekerjalah di kantor cabang Papa yang ada di sini," ujar pak Herman lalu menghampiri Wina.
"Bagaimana ya, Pa. Tapi Wina lebih suka seperti ini.”
Herman kemudian duduk di samping Istrinya lalu saling pandang. Mereka berdua sudah bertekad untuk menjodohkan Wina dengan anak rekan bisnisnya.
“Ok ...! Kami cukup lama mengalah dengan keputusanmu itu. Tapi … kali ini kamu harus nurut dengan kami. Kalau tidak Syasa akan Papa bawa ke jakarta.”
“Maksud Papa?”
“Kamu akan papa jodohkan dengan seseorang dan kamu harus menerimanya.”
“Pa …!” Wina mengerutkan dahinya dan tidak terima jika harus dijodohkan.
“Terima atau Syasa kami bawa!” ancam pak Herman. Pak Herman melakukan itu semua demi kebaikan Wina dan juga cucunya yang butuh sosok Ayah, apa lagi pak Herman dan Bu Mita semakin tua. Siapa lagi nanti yang akan menjaganya.
Wina menunduk dan menahan air matanya lalu mengangguk. Ia tidak ingin Syasya jauh darinya, sebab Syasa seperti nyawanya.
“Tapi berikan Wina waktu pa. Wina juga belum mengenal laki-laki tersebut.”
“Ok!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Conny Radiansyah
OG hanya pekerjaan, yang penting halal..
2021-02-19
1
Allyana Ally
janganlah melihat seseorang dari luar dan penampilan ya.
luar ya baik dan mempesona belum tentu dalam baik seperti luarnya
luar ya tidak mempesona mungkin dalam lebih mempesona 😀
2021-01-09
3
Neng Alifa
janda tp pekerja keras , saluttt
2020-12-16
2