sepanjang perjalanan pulang, Bram terus tersenyum sendiri di dalam mobil, sampai sang sopir, Dedi terheran melihat tuan mudanya tersebut. Tidak seperti saat baru keluar dari bandara, raut wajahnya yang kesal dan menunjukkan jika tidak senang pulang ke negaranya sendiri.
“Maaf tuan, sepertinya Anda begitu bahagia setelah bertemu gadis tadi?” Bram tertawa kecil
“Bapak bisa saja. Orangnya cantik ya, Pak!” balas Bram sambil melihat gelang milik Wina.
“Iya tuan. Nona tadi cantik, cocok sama tuan.” Bram tertawa kecil membayangkan wajah Wina.
Sesampainya di rumah Bram menemui sang Mama. Ia berjalan menuju ruang makan dengan senyum bahagia. Bram memeluk Mamanya dari belakang membuat Mamanya sedikit terkejut.
“Astaga, Nak. Mama terkejut!” Bram tertawa dan masih memeluk Mamanya.
“Bagaimana perjalananmu, sayang?” tanya Bu Mila.
“Ya begitu lah, Ma. Sebenarnya Bram malas pulang sudah nyaman di London. Tapi aku masih ingat Masih mempunyai Mama di sini. Mama yang selalu mendukung apa yang dilakukan anaknya.” Bram mencium pipi Mamanya.
“Ya sudah, temui ganti baju kamu, terus temui Papa kamu!" Bram mengangguk malas. Ia malas bertemu sang Ayah, sudah pasti jika nanti bertemu ada saja pembicaraan yang membuat dirinya bosan dan sudah pasti hanya membicarakan perusahaan.
“Iya, Ma. Nanti." Bram kemudian mengambil gelas lalu mengambil minum setelah itu ia menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Mila hanya memandang punggung sang anak dengan rasa iba. Melihat Bram yang nampak begitu letih. Mila tahu jika Bram tidak menyukai bertemu Papanya karena sudah pasti masalah pekerjaan yang selalu dibahas.
Pak Bima memang sangat keras dan tegas dalam mendidik sang anak, agar Bram terlihat sempurna di mata orang lain, bahkan di mata rekan bisnis Papanya agar disegani dan ditakuti.
Bram dibentuk dan didik Papanya ala Militer, disiplin, tegas, tanggung jawab, serta tidak takut pada siapapun, dan hasilnya ia juga tidak takut pada Pak Bima sendir, miris bukan.
Pak Bima melihat Bram menaiki tangga tanpa menyapanya yang sedang duduk di ruang santai. Ia hanya menghela nafas panjang kemudian meletakkan surat kabarnya di atas meja.
"Bram! Besok kau ikut papa ke
kantor!” seru Pak Bima pada Bram.
“Hm!” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah sang Papa.
Sesampainya di kamar ia menghela nafas panjang dan melemparkan tas ranselnya di atas tempat tidur. Ia duduk di tepi tempat tidur lalu melihat gelang milik Wina. Ia tersenyum mengingat wajah cantik Wina, walau Wina masih mengenakan helm, kecantikan Wina masih tetap terlihat.
“Wina,” gumamnya lalu ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Tanpa terasa ia pun tertidur.
Pagi harinya Bram ke kantor bersama papanya. Ia begitu gagah berjalan sejajar bersama pak Bima memasukinya lobby. Aura Anak dan orang tua tersebut sangat disegani oleh semua karyawan.
Bram menjadi pusat perhatian banyak karyawan yang belum mengetahui jika pak Bima mempunyai putra yang gagah, tampan dan berwibawa seperti dirinya.
Sesampainya di lobby Mereka berdua disambut oleh Damar, sang asisten sekaligus sahabat Bram semasa remaja.
"Selamat pagi pak. Selamat datang!” sambut Damar dengan senyuman santun.
"Pagi! " jawab pak Bima. Damar beralih menyalami Bram yang sedari tadi diam dengan mengedarkan pandangan di area lobby.
“Selamat datang Bram!"
“Hm!” jawab Bram sekenanya.
Bram masih mengedarkan pandangannya dan tidak sengaja melihat seorang gadis yang kemarin ia tolong di jalan. Siapa lagi kalau bukan Wina Wijaya. Bram melepaskan kaca matanya dan melihat Wina sampai menghilang di balik lift.
“Dia kerja di sini?” batin Bram lalu mengenakan kaca mata hitamnya lambali.
Damar dan Pak Bima hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Mereka sudah yakin jika Bram melihat Wina, sudah pasti jatuh hati. Sebab Wina walau seorang office girl, ia adalah primadona di kantor. Mereka bertiga masuk ke dalam lift khusus dan menuju lantai 29.
Sesampainya di lantai 29. Pak Bima membawa Bram ke ruangannya, di ikuti Damar.
“Ini ruangan kamu,” ujar Pak Bima. Bram melihat sekeliling ruangan yang sepertinya sudah diperbarui sesuai keinginan Bram agar nyaman dalam bekerja.
“Baiklah. Papa pulang, mulai detik ini perusahaan ini tanggung jawabmu,“ ujar Pak Bima pada Bram.
“Iya!" Jawab Bram singkat.
“Damar nanti yang akan membantumu dan menjadi asistenmu.”
“Ok!“ lagi-lagi Bram hanya menjawab dengan singkat.
“Papa pulang. Dam kau bantu Bram!”
“Siap, Om!” Damar menyalami pak Bima lalu pak Bima keluar ruangan.
“Apa rencanamu kau selanjutnya, Bram?" tanya Damar saat Bram duduk di kursinya.
"Bekerja? Apalagi?” balas Bram tanpa ekspresi
“Ok baiklah, Aku kembali ke ruanganku, jika membutuhkan bantuanku. Aku ada di ruangan sebelah.”
“Hm!"
Bram dan Damar memang sudah berteman dari kecil bahkan sampai kuliah, dan Ayah Damar dulunya bekerja di perusahaan Sanjaya group. Tempat saat ini ia bekerja menggantikan posisi sang Ayah, ketika Ayahnya meninggal dunia.
Disisi lain Wina dan rekan kerjanya mengantarkan minuman untuk para staf dan dewan direksi, dan itu sudah pekerjaannya setiap pagi.
“Wina! Tolong kamu antar air putih ini ke ruangan pak Bima, tapi di ruangan pak Bima bukan pak Bima, tapi katanya bos baru. Kalau gak salah dengar tadi anak pak Bima.“ Tiyas memberikan nampan berisi segelas air pada Wina.
“Ya sudah antar sana! Kenapa harus aku.”
“Gak bisa, aku kebelet. Bye!“ Tiyas pergi begitu saja menuju toilet sedang Wina hanya tertawa kecil, kemudian Wina menuju ruangan Bram untuk mengantarkan air putih tersebut.
“Permisi!” salam Wina di ambang pintu.
“Masuk!” Wina berjalan masuk dan menuju meja Bram.
"Maaf Pak. Ini air minum untuk Bapak.” Bram terdiam mengingat suara yang pernah ia dengar tak lama ia memutar kursinya dan melihat Wina.
Wina terkejut rupanya bos barunya adalah orang yang menolongnya kemarin.
“Tuan? Tuan yang kemarin menolong saya?” Bram tersenyum tipis ia kecewa rupanya Wina hanya seorang office girl.
Wina meletakkan kopinya di meja dan tersenyum sopan. Wina men menunduk saat Bram melihatnya.
“Kalau begitu saya permisi pak!"
“Hm!” Wina lalu berjalan keluar,
"Tunggu! Buatkan saya kopi!" pinta Bram sebelum Wina menarik knop pintu. Wina membalikkan badannya dan melihat Bram.
"Baik tuan, " balas Wina lalu membalikkan badannya kembali
"Jangan terlalu manis,” pinta Bram lagi. Terpaksa Wina membalikkan badannya lagi.
"Baik tuan!”.
''Kopinya jangan terlalu banyak.'' Lagi-lagi Wina harus memutar badannya lagi
''Baik tuan,'' jawabnya yang masih sabar, dan tersenyum sopan lalu membalikkan badannya.
''Airnya harus benar-benar panas!''
''Astaga!'' geram Wina dan ia terpaksa membalikkan badannya lagi.
'Baik tuan! Ada lagi, mungkin sarapan nasi goreng, nasi uduk atau yang lainnya?” jawab Wina sopan namun di buat-buat. seraya mengeratkan giginya. Ingin sekali Wina menimpuk Wajah tampannya itu dengan nampan.
"Tidak itu saja,” jawab Bram menahan tawa melihat ekspresi Wina yang menahan kesal.
"Mohon di tunggu tuan ,permisi .." pamit Wina lalu tersenyum.
“Tunggu!“
“Astagfirullah!!” batin Wina. Wina menghela nafas panjang kemudian membalikkan badannya lagi.
“Ada lagi, Tuan. Apa mau pesan nasi kebuli, biryani?“ kesal Wina, Bram hanya menahan tawa sambil mengeluarkan sesuatu di saku jasnya.
Bram berjalan mendekati Wina, tanpa ekspresi Bram meraih tangan Wina lalu meletakkan gelang tersebut di telapak tangan Wina.
“Gelang kamu kemarin terjatuh,“ Wina masih melihat melongo dengan sikap Bram lalu melihat Pergelangan tangannya. Ia juga baru sadar jika gelangnya hilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Asma Dian
ceritanya seru
2021-07-06
0
Utamy
lanjut
2021-06-10
1
Humairah
ikut baca ya thor
2021-06-04
1