Bukan Cinta Terlarang
“Pagi, Ma, Yah,” sapa seorang laki-laki dengan kemeja panjang yang lengannya digulung sebatas siku serta dipadukan dengan jins berwarna hitam. Laki-laki itu kemudian duduk pada kursi yang selalu diduduki ketika berada di ruang makan. Ia meraih selembar roti di atas meja dan mengolesnya dengan selai cokelat favoritnya.
“Lo nggak mau ngucapin selamat pagi juga sama gue, Mas?”
Laki-laki yang hendak memasukkan roti ke dalam mulutnya itu mengurung niatnya. Ia menoleh ke samping di mana seorang anak laki-laki lengkap dengan seragam putih abunya duduk dengan wajah yang ditekuk. Hal itu membuat laki-laki yang biasa dipanggil Shaquille itu mengerutkan kening. Tidak habis pikir jika adiknya itu akan cemberut hanya karena ia tidak mengucapkan selamat pagi padanya. Lalu, detik berikutnya Shaquille terkekeh kecil. Tangan kirinya lalu mengacak rambut rapi milik adiknya yang bernama Jevano Shamir. “Masih pagi. Jangan cemberut kayak gitu. Mending habisin sarapannya terus berangkat sekolah.”
Embusan napas kesal Jevano terdengar. Hal itu membuat seisi ruangan harus menahan tawa agar tidak terdengar. Sebab, jika tawa itu terdengar, Jevano pasti akan merajuk. Ya, si bungsu itu memang begitu manja di hadapan orang tua dan kakaknya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk merengek. Terlebih lagi pada Shaquille. Jevano sangatlah dekat dengan kakak semata wayangnya itu. Meski perbedaan umur mereka sampai lima tahun. Namun, Shaquille dan Jevano lebih cocok dikatakan seperti teman, bukan saudara. Mereka sering bermain bersama, berbagi cerita, dan melakukan hal-hal random lainnya berdua.
“Tapi, lo yang harus ngantar gue sekolah.”
Lagi-lagi Shaquille menoleh. Adiknya memang bocah meskipun sudah menginjak usia di angka enam belas. Manjanya berlebihan jika bersama Shaquille.
“Berangkat sama Ayah, Dek,” ujar Karina—sang ibu. “Mas ada kuliah pagi. Sekolahmu sama kampus Mas kan berlawanan arah,” sambung Karina memberi penjelasan. Barangkali dengan begitu si bungsu akan paham dan tidak memaksa Shaquille untuk mengantarnya ke sekolah pagi ini. Kasihan juga Karina pada putra sulungnya jika harus bolak-balik. Apalagi dengan kondisi si sulung yang jelas berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Memiliki keistimewaan yang tak banyak orang tahu membuat Karina begitu awas terhadap Shaquille. Namun, ia tidak membedakan kasih sayang terhadap kedua putranya. Sehingga di antara mereka tidak timbul rasa cemburu terhadap satu sama lain.
Jevano mengangkat pandangan dan menatap ibunya dengan tatapan malas. “Nggak. Maunya diantar Mas,” ucapnya dan kembali menyantap sarapannya yang masih tersisa di atas piring. Jevano seakan tidak peduli dengan ucapan Karina. Begitulah Jevano jika sudah menginginkan sesuatu. Selalu keukeuh dengan keinginannya. Dan seisi rumah itu tahu dan hafal sikap si bungsu.
“Dek, ….”
“Nggak apa-apa, Yah. Biar Mas yang ngantar Adek nanti,” ucap Shaquille cepat memotong ucapan ayahnya—Marris. Ia paling tidak bisa melihat adiknya merajuk. Maka, selama ia bisa memenuhi permintaan Jevano, ia pasti akan memenuhinya. Meski terkadang ia sedikit kewalahan dengan permintaan-permintaan yang terkesan aneh dari Jevano. Ya, sebagai seorang kakak, Shaquille paham akan tanggung jawabnya terhadap sang adik. Bahwa, ia memiliki kewajiban untuk menyenangkan dan membahagiakan adiknya. Kendati pada hal-hal tertentu juga Shaquille tetap tegas pada Jevano. Dan beruntungnya juga Jevano tidak pernah melawan apa yang ia katakan. Jevano selalu mendengarnya dan patuh akan apa yang ia ucapkan.
Shaquille menoleh ke samping sekali lagi. Lalu, ia menangkap senyum penuh kemenangan adiknya dan sukses membuatnya menggelengkan kepala. “Cepat habiskan sarapannya. Kalau lama, gue tinggal,” ucap Shaquille memberi ultimatum. Dan yang Shaquille dapatkan hanyalah acungan jempol Jevano.
˚˚˚˚˚
“Mas,” panggil Jevano dan berhasil mengalihkan fokus Shaquille yang tengah menyetir. “Kemarin gue ketemu sama cewek di sekolah. Cantik banget tahu, nggak.”
Refleks tangan Shaquille yang terbebas dari setir mobil mendarat di kepala Jevano. “Dasar bocah! Sekolah fokus belajar. Bukan malah lihatin cewek. Lo mau gue aduin Ayah sama Mama kalau ternyata lo belajar nggak benar?” ancam Shaquille pada adiknya.
“Gue belajar yang benar kok, Mas. Tapi, kali ini gue nggak bohong. Tuh cewek cantik banget.”
“Jevano Andreas Shamir,” ucap Shaquille menyebutkan nama lengkap adiknya dengan penekanan kuat. Artinya, ia tidak suka dengan pembahasan yang dibawa oleh Jevano menjadi topik. Baginya, masih terlalu dini untuk Jevano membahas perihal perempuan. Bahkan, ia sendiri yang sebentar lagi menginjak usia di angka dua puluh satu tahun belum memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan perempuan dan perasaan. Shaquille masih ingin memfokuskan diri untuk pendidikan dan cita-citanya. Ia ingin fokus pada hal-hal yang lebih penting dari sekadar menjalin hubungan asmara dengan perempuan mana pun juga.
Jevano yang keras kepala. Meskipun Shaquille sudah memberikan ultimatum padanya, ia masih saja keukeuh memuji kecantikan seorang perempuan yang ia lihat kemarin sesampai di sekolah. “Tuh cewek kayaknya cocok deh sama lo, Mas. Lo kan ganteng nih, terus tuh cewek cantiknya nggak ketulungan. Kalau lo nikah sama dia, keturunan lo bakalan perfect deh.”
Shaquille memutar bola malas mendengar ujaran Jevano. “Maaf gue nggak doyan bocah.”
“Gue juga nggak bilang kalau tuh cewek bocah. Orang dia datang cuma buat ngantar adiknya doang. Ya, meskipun gue nggak tahu sih itu adiknya benaran atau nggak. Pokoknya dia bukan anak SMA,” terang Jevano untuk mengubah pikiran Shaquille tentang perempuan yang ia ceritakan itu.
Belum sempat Shaquille menjawab ucapan Jevano. Mobil yang ia kendarai harus berhenti, sebab kini sudah berada di depan gerbang sekolah. Ya, cukup beruntung juga bagi Shaquille, karena tidak lagi mendengar ocehan aneh adiknya lebih lama. “Turun cepat.”
“Lo ngusir gue, Mas?”
“Terus lo mau diam di dalam mobil? Gue mau ke kampus, Dek,” jawab Shaquille menahan rasa kesalnya pada Jevano. Bahkan, ia sampai memejamkan mata dalam beberapa saat untuk meredam sendiri rasa kesalnya. Sampai suara Jevano kembali memaksa Shaquille untuk membuka sepasang mata sipit yang terpejam itu. Beruntung tidak ada pemberontakan yang terjadi di dalam detak kehidupannya.
“Mas, itu lho yang gue maksud!” pekik Jevano. Lantas, ia turun lebih dulu dari mobil tanpa permisi. Tak hanya itu tentunya, Jevano juga memaksa Shaquille untuk turun pula dari mobil.
“Hai!” seru Jevano seraya melambaikan tangan pada seorang perempuan yang baru saja ke luar dari gerbang sekolah. Ia kemudian melangkah mendekati perempuan itu dan tak lupa menyeret tangan Shaquille mengikutinya. Sedang Shaquille sudah mendengus kesal, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari genggaman erat Jevano pada pergelangan tangannya.
Perempuan dengan rambut dikuncir satu itu menoleh. Lalu, menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung runcingnya. Sejenak perempuan itu tertegun dengan alis terangkat sedikit. Melihat lambaian tangan Jevano memaksanya kemudian untuk menoleh ke belakang. Namun, yang tersisa kini hanya dirinya yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. “Aku?” tanya perempuan itu seraya mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.
Jevano mengangguk cepat. Lalu, Shaquille mendaratkan pukulan di pundak Jevano. Namun, adiknya itu tidak peduli sama sekali.
“Ada apa?”
“Siapa namamu?”
Sebelum perempuan itu menjawab. Terdengar bel berdering. Hal itu membuat Jevano ingin mengumpat, karena kesal. Belum juga ia tahu siapa nama perempuan yang ia puji kecantikannya itu. Bel masuk sudah berdering saja. Sungguh mengesalkan.
Shaquille yang melihat ekspresi wajah Jevano pun hanya bisa terkekeh. Lalu, ia menepuk sebelah pundak adiknya dengan pelan seraya berucap, “Cepat masuk.”
Dengan terpaksa Jevano membawa sepasang tungkainya melangkah memasuki gerbang sekolah. Namun, sebelumnya ia tidak lupa untuk menyalami Shaquille dengan begitu hormat.
“Hm, maafkan adik saya,” ucap Shaquille pada perempuan itu.
“Tidak apa-apa,” balas perempuan itu seraya mengulum senyum lebar yang kemudian berhasil mempertontonkan gigi gingsul yang membuat kecantikannya semakin bertambah berpuluh-puluh persen. “Kalau begitu saya permisi dulu.”
Shaquille hanya menganggukkan kepala dan menatap kepergian perempuan itu dari hadapannya. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan tipis yang manis. “Cantik,” bisik Shaquille tanpa tersadar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments