Mayyesa menyambut kedatangan laki-laki dalam balutan hoodie berwarna gelap itu dengan senyum lebarnya. Namun, senyumnya mendadak menipis saat melihat wajah yang masih kehilangan rona dan tatapan yang masih tampak sayu itu. Ada sesuatu yang rasanya mengiris ulu hati Mayyesa. Kedekatannya dengan laki-laki itu meski tanpa hubungan spesial membuat Mayyesa merasa ada yang sakit jika melihatnya tak seceria biasanya. Akan tetapi, Mayyesa juga tahu laki-laki yang tak lain adalah Shaqueille itu pasti juga tidak menginginkan hal buruk terjadi pada dirinya sendiri. Mayyesa tahu betul betapa banyak hal yang harus dienyahkan dari angan oleh Shaquille sebab satu kekurangan yang dimiliki oleh laki-laki itu.
“Hai!” sapa Mayyesa lebih dulu tanpa bangkit dari kursi yang ia duduki. “Sudah merasa lebih baik?” tanya Mayyesa saat Shaquille sudah mendaratkan bokongnya di kursi di samping Mayyesa. Ia tatap lebih lekat wajah Shaquille yang masih tampak sayu. Ah, anak ini pasti memaksakan diri untuk ke kampus meskipun kondisinya masih belum stabil, pikir Mayesa. Mayyesa tahu bagaimana sikap dan keukeuhnya seorang Shaquille Agha Damaresh. Juga bagaimana laki-laki itu tidak bisa dibantah jika sudah memiliki keinginan. Bahkan, jika yang bicara pun adalah Karina—sang ibu. Dan hanya satu orang yang bisa mengalahkan keras kepala seorang Shaquille. Adalah Marris, ayah tirinya yang tahu bagaimana menghadapi Shaquille.
Shaquille menganggukkan kepala. “Hm, feel better-lah. Bosan juga di rumah terus,” balas Shaquille dengan nada suara yang tak bisa dipaksakan ceria. Ada kelemahan yang terdengar dari nada suara laki-laki itu. Namun, jelas sedang dicoba sembunyikan dari siapapun juga. Kendati yang ia lakukan tidak berlaku untuk Mayyesa ataupun Farrash. Dua manusia yang sangat tahu siapa dan bagaimana dirinya. Akan tetapi, Shaquille akan selalu berusaha untuk menyembunyikan segala sesuatu yang akan mengundang rasa kasihan orang lain pada dirinya. Ia tidak ingin dipandang sebagai manusia lemah oleh orang lain. Tidak! Shaquille tidak pernah menyukai hal itu. Apa pun alasannya.
Mayyesa mengangguk paham dan tersenyum tipis. “Masih ada kelas?”
Shaquille menggelengkan kepala. “Sudah kelar semua. Tapi, gue mau ke Perpus dulu. Banyak tugas yang ketinggalan dan harus gue kejar. Gue nggak mau sampai nggak lulus semester ini,” terang Shaquille. Meskipun ia memiliki kekurangan yang tentu saja tidak banyak orang tahu, Shaquille tidak ingin kalah. Ia tidak boleh kalah hingga mengorbankan pendidikannya. Memang dulu pernah Karina dan Marris memintanya untuk mengambil cuti dan fokus untuk pengobatan. Namun, langsung ditolak mentah-mentah oleh Shaquille. Ia bertekad dengan kuat untuk terus melanjutkan kuliahnya seraya menjalankan pengobatan. Meskipun ia sendiri tahu bahwa pengobatan yang ia lakukan tidak begitu maksimal.
Mayyesa tidak bisa untuk tidak tertawa mendengar ucapan Shaquille. Padahal, meninggalkan satu atau dua tugas saja tidak akan menghancurkan nilainya. Apalagi tidak lulus. Namun, bukan Shaquille namanya jika tidak merasa khawatir dengan tugas-tugas yang ditinggalkan tersebab kondisi tubuhnya yang rewel. “Kalau hanya satu atau dua tugas saja, nggak bakalan bikin lo nggak lulus, Quille. Tapi, memang dasarnya lo saja yang kelewat khawatir,” ucap Mayyesa masih dengan sisa tawanya. Ia menggelengkan kepala berulang kali dengan sikap Shaquille itu. “Tapi, gue harusnya nggak perlu heran sih sama lo. Kalau nggak khawatir dengan nilai, bukan Shaquille Agha Damaresh namanya. Iya, ‘kan?” sambung Mayyesa. Kali ini dengan nada yang terdengar mengejek.
Alih-alih merasa tersinggung. Shaquille justru ikut tertawa mendengar ejekan Mayyesa. Memang ia kelewat khawatir perihal sesuatu yang menyangkut kuliahnya. Bagi Shaquille, bisa melanjutkan pendidikan sampai di jenjang perguruan tinggi saja sudah sangat membuatnya bersyukur. Meski cita-cita yang sebenarnya harus terkubur dalam dan tidak boleh ia ingat. Dan Shaquille berjanji pada dirinya sendiri bahwa apa yang ia tempuh saat ini akan ia jadikan jalan untuk membanggakan kedua orang tua dan adik semata wayangnya. Ia ingin meretas habis-habisan ucapan orang-orang yang menganggapnya lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa hanya karena satu kekurangan yang melekat di dalam dirinya.
“Ya sudah gue ke Perpus dulu, ya,” ucap Shaquille tanpa berniat membalas ucapan Mayyesa sebelumnya.
Mayyesa langsung menganggukkan kepala. “Hati-hati, ya, Quille.”
“Tenang saja. Gue nggak bakalan mati kalau cuma jalan ke Perpus doang,” sahut Shaquille. Ada sesuatu yang tersirat dari ucapan Shaquille. Adalah ultimatum agar Mayyesa tidak berlebihan seperti itu. Padahal, biasanya juga Mayyesa akan mengatakan hal itu padanya. Namun, kali ini memang kondisi hatinya masih belum stabil dan ia sedikit lebih sensitive.
“Bukan gitu maksud gue,” ucap Mayyesa merasa bersalah.
“Nggak apa-apa. Gue mintaa maaf,” balas Shaquille setelah melihat ekspresi wajah Mayyesa yang tampak merasa bersalah. Ia kemudian mengulum senyum dan berlalu meninggalkan Mayyesa.
˚˚˚˚˚
Shaquille mengembuskan napas kasar entah sudah beberapa kali. Ia yang sedang fokus mengerjakan tugas-tugasnya merasa sangat terganggu dengan suara seseorang di belakangnya. Bisa-bisanya membaca dengan suara yang terdengar. Apakah orang itu tidak bisa membaca dalam hati saja?
Sekali lagi Shaquille memfokuskan dirinya. Namun, sekali lagi juga ia merasa terganggu. Hal itu kemudian membuatnya terpaksa menoleh ke belakang. Mendapati seorang mahasiswi yang tengah asyik dengan buku bacaan di hadapannya. Shaquille menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan perempuan itu. Lantas, Shaquille terpaksa bangkit dari duduknya dan meninggalkan tugas-tugas pentingnya. Ia kemudian mendekati perempuan itu. “Permisi.”
Perempuan itu mengangkat kepala dan sukses membuat Shaquille tertegun. Alis laki-laki itu terangkat sempurna. “Kamu?”
“Lo?” ucap perempuan yang merupakan Allura itu. Allura bangkit dan tersenyum lebar. “Kenapa, ya?”
Niat hati Shaquille ingin menegur Allura seketika sirna. Ia mendadak bodoh dan hanya bisa melirik ke kiri ke kanan seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sikap anehnya itu lantas mengundang pertanyaan di dalam benak Allura. Perempuan mengernyit dan sukses menciptakan kerutan dalam di kening. Namun, Shaquille masih saja bergeming. Otaknya masih terlampau buntu untuk memikirkan kalimat seperti apa yang akan ia ucapakan pada Allura. Sial! Bisa-bisanya Shaquille menjelma menjadi manusia bodoh seperti ini.
“Hm, Shaquille,” panggil Allura untuk kemudian sukses menyadarkan Shaquille dari keterdiamannya. “Ada apa?”
“Hm, itu. Saya … saya sebenarnya tadi lagi buat tugas. Tapi, sedikit terganggu karena suaramu yang membaca,” ujar Shaquille dengan nada ragu-ragu. Ia takut sebenarnya menyinggung perasaan Allura. Entah kenapa sekarang semuanya menjadi berbanding terbalik. Sebelumnya, Shaquille ingin sekali melabrak perempuan itu tanpa memikirkan lebih dulu perasaannya. Namun, setelah mengetahui siapa pemilik suara itu, mendadak Shaquille menjadi sangat berhati-hati saat bicara agar ucapannya tidak menorah luka di dalam hati atau jiwa seorang perempuan bernama Allura. Ada apa sebenarnya?
“Oh, maafin gue kalau begitu,” ucap Allura seraya menangkup kedua tangan di depan dada. Tak lupa dengan raut wajah penuh rasa bersalahnya. Memangnya benar juga ia salah dalam hal ini. Ia terlalu asyik dengan bukunya sampai lupa sedang berada di tempat seperti apa.
Shaquille terkesima melihat wajah itu. Padahal, ekspresi yang tengah ditunjukkan Allura tidaklah dalam kondisi yang cantik. Akan tetapi, memang dasarnya Allura yang sudah kadung terlahir menjadi perempuan cantik dan manis. Ah, ada apa dengan Shaquille? Sejak pertama bertemu dengan perempuan itu, ia lebih banyak memujinya. Tidak biasanya ia mengalami hal seperti ini. Bahkan, jauh sebelum bertemu Allura, ia sudah bertemu banyak perempuan.
“Ya sudah kalau gitu gue pindah tempat saja. Sekali lagi maafin gue, ya,” ucap Allura dan membereskan barang-barangnya. Namun, gerakannya seketika terhenti ketika tangan Shaquille menyentuh pergelangan tangan kirinya. Ia mengangkat kepala dan menatap Shaquille yang tengah mengulas senyum manis dan indahnya.
“Kamu nggak harus pergi kok. Saya juga nggak minta itu,” balas Shaquille.
“Tapi, lo keganggu gara-gara gue.”
“Nggak apa-apa. Kamu nggak harus pergi. Kamu cukup turunkan nada suaramu saja.”
Allura mengangguk paham.
“Saya tinggal, ya. Maaf juga karena sudah mengganggumu,” tukas Shaquille dengan nada lembut dan sopannya. Ia kemudian berbalik dan melangkah. Namun, langkahnya langsung terhenti ketika suara Allura terdengar.
“Kenapa nggak gabung saja sama gue di sini?”
Shaquille menoleh ke belakang. Mendapati Allura yang tersenyum padanya. Sial! Perempuan ini tidak sadar apa kalau senyumnya manis sekali dan membuat Shaquille terpesona?
Akhirnya, Shaquille-lah yang memboyong barang-barangnya ke meja yang ditempati Allura. Mereka mengerjakan tugas masing-masing tanpa saling mengganggu. Sampai tak sengaja tatapan Allura jatuh pada sebuah tulisan dengan nama organisasi terbesar di kampus itu.
“Lo anak BEM juga?” tanya Allura meretas sepi yang sejak tadi mendekapnya bersama Shaquille. Ia menunggu beberapa saat untuk kemudian mendapatkan jawaban dari laki-laki yang duduk berhadapan dengannya itu.
Shaquille menganggukkan kepalanya. “Saya ketuanya.”
Sepasang netra milik Allura membulat. Bagaimana bisa ia tidak tahu bahwa Shaquille adalah mahasiswa nomor satu di kampusnya? Bodoh! Bodoh sekali memang.
“Kenapa?”
“Nggak. Nggak apa-apa.”
Hening sejenak.
“Ngomong-ngomong, lo belum tahu nama gue,” ucap Allura setelah mengingat bahwa sebelumnya ia dan Shaquille gagal berkenalan. “Nama gue Allura.” Allura mengulurkan tangannya dan langsung disambut oleh Shaquille.
“Saya nggak perlu sebut nama lagi, ‘kan?” Shaquille tertawa kecil.
Allura juga ikut tertawa.
“Saya nggak pernah lihat kamu sebelumnya. Kamu anak fakultas mana?” tanya Shaquille yang memang merasa Allura cukup asing di kampus. Ia baru beberapa kali bertemu dengan perempuan itu.
“Gue anak FK,” jawab Allura. “Tapi, gue memang anak pindahan juga sih. Sebelumnya, gue di Jakarta. Karena bokap gue harus pindah ke sini, jadi gue juga ikut.”
Shaquille hanya menganggukkan kepala.
“Sebenarnya bisa saja sih gue tinggal sendiri di Jakarta dan lanjutin kuliah gue. Tapi, bokap gue nggak ngizinin. Jadi, mau nggak mau gue harus ikut ke sini,” sambung Allura dengan ceritanya.
“Ayahmu pasti punya alasan kuat sampai melakukan hal itu. Bukan karena memaksakan kehendaknya. Tapi, untuk menjaga anak gadisnya,” ujar Shaquille dengan pikiran positifnya.
Allura tertawa kecil. Apa yang diucapkan Shaquille tidak salah. Memang itulah yang dikatakan Arga padanya dulu.
“By the way, lo bisa, nggak, bicaranya nggak terlalu formal gitu sama gue?”
“Terus?”
“Lo kan bisa pakai lo gue. Atau kalau nggak suka pakai aku kamu juga bisa.”
“Hm, baiklah. Aku kamu saja.”
“Shaquille,” panggil Allura.
“Iya.”
“Waktu itu, apa jantung lo baik-baik saja?” tanya Allura dengan sangat hati-hati. Takut-takut jika pertanyaannya akan menyinggung perasaan Shaquille.
Shaquille menganggukkan kepala. “Berkat kamu,” jawabnya. Shaquille tidak berbohong. Ia merasa tertolong atas bantuan Allura. Kendati setelah tiba di rumah, ia tumbang juga dengan sendirinya dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Jika tidak, bisa saja ia akan kehilangan nyawanya. “Kalau nggak ada kamu, mungkin aku sudah pingsan.”
Allura hanya tersenyum tipis. Ada duka yang tersirat di sorot mata Shaquille. Persis seperti Arga jika sedang membahas tentang kondisinya. “Tetap jaga kondisimu, ya.”
Entah kenapa ucapan Allura terdengar sangat perhatian. Ucapan perempuan itu berhasil membuat Shaquille tersentuh dan terhipnotis untuk menganggukkan kepala.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments