“Kamu.”
“Lo.”
Kata itu terucap bersamaan dari bibir Shaquille dan juga perempuan yang berdiri di hadapannya saat ini. Shaquille menatap lebih intens pemilik suara lembut itu. Masih sama seperti yang pertama kali Shaquille lihat. Cantik. Sayang, ia tidak bisa menikmati lebih lama kecantikan perempuan itu. Sebab, ada gejolak di dadanya yang membuat Shaquille merasa sangat terganggu. Namun, Shaquille berusaha untuk tidak menunjukkannya di hadapan orang yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Shaquille berusaha untuk biasa-biasa saja.
“Hm, kamu nggak apa-apa?” tanya Shaquille untuk memastikan kondisi perempuan itu. Kendati apa yang terjadi murni bukan karena kesalahannya. Ya, meskipun Shaquille sendiri tidak tahu bagaimana kejadian itu bisa terjadi. Ia hanya merasakan tubuhnya sudah ditubruk begitu saja oleh sesuatu yang keras dan ternyata tubuh perempuan berkuncir satu tersebut.
“Nggak apa-apa kok. Maaf karena sudah menabrakmu,” ujar perempuan itu merasa bersalah. Lalu, tatapannya mengarah pada wajah Shaquille yang tampak pucat. Keringat pun sudah terlihat bermunculan di sekitar wajah laki-laki itu. Perempuan yang biasa disapa Allura itu memiringkan kepala untuk melihat Shaquille lebih jelas. “Kamu baik-baik saja?” tanya Allura dengan alis rapi yang sudah bertaut menjadi satu. Cukup penasaran dengan apa yang terjadi pada laki-laki yang sudah ia tabrak tanpa sengaja tersebut. Ya, takut-takut jika laki-laki itu mengalami masalah karena ulahnya yang begitu teledor.
Shaquille menganggukkan kepala seraya mencoba mengulum senyum paksanya. “Iya,” balas Shaquille singkat dengan nada suara yang nyaris tidak bisa keluar. Lalu, ia menundukkan kepala kembali. Mencoba untuk menetralisir laju napasnya yang terasa tersendat. Nyatanya, tidak semudah yang diharapkan Shaquille. Semakin ia mencoba untuk bisa bernapas normal, semakin rasa nyeri itu hadir di antara tiap-tiap tarikan napasnya. Sampai ia harus mengeluarkan dahak beberapa kali.
Allura. Perempuan itu memperhatikan dengan lekat Shaquille. Ia bisa mendengar suara napas berat laki-laki yang baru dua kali bertemu dengannya itu. Apa yang ia saksikan saat ini kemudian mengingatkan Allura pada ayahnya. Ayahnya sering mengalami hal yang sama seperti yang dialami Shaquille saat ini. Lalu, entah dorongan dari mana yang kemudian menggerakkan tangan Allura menyentuh dada Shaquille. Dengan sangat jelas Allura rasakan detak jantung Shaquille yang berpacu dengan hebat. Persis seperti yang ia rasakan ketika menghadapi ayahnya jika sedang anfal.
Allura tak langsung menyingkirkan tangannya. Begitu juga dengan Shaquille. Laki-laki itu tak berniat menurunkan tangan Allura yang menyentuh dadanya. Entah karena merasa nyaman atau memang Shaquille yang tidak sempat berpikir sejauh itu sebab ia yang lebih fokus untuk menyingkirkan terlebih dulu rasa sakit yang menyiksa sekaligus mengganggu saat ini.
“Lo ada riwayat sakit jantung?”
Pertanyaan Allura akhirnya berhasil membuat Shaquille mengangkat kepalanya. Lalu, dengan pandangan yang tak begitu jelas ia menatap perempuan di hadapannya itu. Bagaimana bisa perempuan ini tahu tentang tanda-tanda penderita sakit jantung?
Belum sempat Shaquille menemukan jawaban. Allura sudah lebih dulu bertanya lagi. “Dada lo sesak? Nyeri juga?”
Shaquille terhipnotis oleh pertanyaan yang dilontarkan perempuan yang sampai detik ini belum ia ketahui namanya itu. Shaquille menganggukkan kepala sebagai jawaban mengiyakan.
“Lo bawa obat, nggak?”
Sekali lagi Shaquille hanya menganggukkan kepala. Lalu, ia berucap dengan pelan. “Saya pergi dulu.”
“Gue bantuin, ya. Takutnya nanti lo kenapa-napa. Lo mau ke mana?”
“Ruang BEM,” jawab Shaquille.
Allura berniat untuk memapah Shaquille. Namun, otak cerdasnya langsung bekerja dan mengurungkan niatnya. Ia tidak bisa melakukan hal itu tanpa seizin Shaquille. Juga karena Allura tidak ingin menyinggung perasaan Shaquille tentunya. Mungkin Shaquille akan sama seperti ayahnya—Arga—yang tidak ingin dipandang lemah dengan membantunya melakukan hal sederhana. “Lo bisa jalan sendiri?”
“Iya,” jawab Shaquille dan langsung melangkahkan kakinya dengan pasti. Ia kembali mencoba menjadi biasa saja agar tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar lorong. Meski sebenarnya sudah sejak tadi tatapan orang-orang di sana sudah mengarah padanya. Apalagi ia sempat berinteraksi dengan Allura. Pasti akan menimbulkan isu tidak sedap setelah ini. Namun, bukan itu lagi yang menjadi fokus Shaquille melainkan bagaimana ia tiba dengan cepat di ruang BEM dan mengonsumsi butiran-butiran kecil yang bisa membantunya untuk memusnahkan rasa sakit di dadanya yang sepertinya semakin lama semakin menjadi-jadi saja. Benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama.
Tiba di ruang BEM. Shaquille mendaratkan bokongnya di kursi dan langsung menggeledah isi ranselnya. Ia mengeluarkan satu botol kecil dengan tangan bergetar. Jika ia tidak menggenggam benda tersebut dengan erat, bisa dipastikan botol itu akan terjatuh ke lantai dan isinya ikut berserakan seperti sampah dan jelas tidak bisa Shaquille konsumsi karena terlanjur kotor.
Terasa susah bagi Allura menelan salivanya melihat Shaquille yang menelan butiran-butiran yang laki-laki itu keluarkan tanpa bantuan air. Sekali lagi, Allura seperti tengah melihat ayahnya sendiri. Apalagi setelah melihat Shaquille yang langsung menyandarkan tubuhnya dengan sempurna. Lalu, detik berikutnya Allura tersadar bahwa ia membawa botol air minum. Ia kemudian mengeluarkan botol minum miliknya dan menyodorkan pada Allura. “Minum dulu,” ucap Allura.
Shaquille dengan mata setengah terpejam meraih botol minum yang disodorkan Allura padanya. Ia kemudian membuka tutup benda itu dan meneguk isinya. Tidak banyak. Hanya secukupnya. Dan Shaquille kembali menyandarkan tubuhnya untuk menunggu reaksi yang diberikan oleh butiran ajaib miliknya yang selalu menjadi teman sejak ia menginjak usia di angka enam belas tahun.
Allura tidak langsung angkat suara. Ia seperti paham kondisi Shaquille dan memberikan laki-laki itu waktu untuk beristirahat sejenak. Ia menatap lekat Shaquille. Entah kenapa melihat laki-laki itu kemudian membuat Allura seperti tengah menatap ayahnya sendiri. Bibir dan kelopak mata Shaquille begitu mirip dengan Arga.
“Masih sesak?” tanya Allura setelah beberapa saat tenggelam dalam diam dan dunia yang ia ciptakan sendiri di dalam kepalanya. Ia melihat Shaquille kemudian membuka kelopak matanya. Ya, tidak salah lagi. Mata laki-laki di hadapannya ini benar-benar seperti milik Arga.
“Atau dada lo masih sakit?” lanjut Allura bertanya setelah menepis kembali pikirannya.
Shaquille merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. Ia kemudian mengulum senyum tipis. “Sudah mendingan,” jawabnya. “Thank you, ya, sudah bantuin saya.”
Allura mengangguk pasti dan tak lupa juga mengulum senyumnya. “Jantung lo … ada masalah?” tanya Allura dengan sangat hati-hati. Meskipun sebenarnya Allura sudah bisa membaca bahwa Shaquille memang memiliki riwayat penyakit jantung dari apa yang ia lihat tadi. Namun, ia ingin memastikan saja apakah dugaannya memang benar atau tidak.
Shaquille tidak menjawab. Haruskah ia bicara tentang kelemahannya pada seseorang yang tidak ia kenal?
“Papa gue juga sakit jantung. Jadi, gue tahu dari gejala yang terjadi sama lo,” ucap Allura setelah beberapa lama tidak mendapatkan jawaban dari Shaquille. “Gue sering lihat Papa gue anfal kayak lo tadi. Lo pasti kecapekan. Soalnya, Papa gue kalau kecapekan juga gitu,” ujar Allura menceritakan Shaquille.
Shaquille masih memilih bungkam. Ia tidak berniat untuk menjawab ucapan Allura. Lagi pula, sepertinya perempuan itu sudah cukup paham dengan apa yang dialami saat ini. Jadi, untuk apa ia angkat suara.
“Oh, iya. Kita sudah bertemu dua kali. Ngomong-ngomong nama lo siapa?”
Shaquille menatap Allura dengan lekat. Kecantikan perempuan itu tidak berubah dari yang pertama kali ia lihat meski sekarang Allura mengenakan pakaian yang tampak lebih formal. Juga dibungkus dengan almamater. Namun, ada satu hal yang cukup membuat Shaquille merasa heran. Kenapa perempuan ini tidak mengenalnya? Bukan terlalu percaya diri. Hanya saja, posisinya sebagai seorang Ketua BEM membuat Shaquille tentu saja banyak yang mengenalnya. Kendati ia sendiri tidak begitu banyak mengenal mahasiswa lain di kampus.
“Shaquille,” jawab Shaquille kemudian setelah menyingkirkan pikiran yang muncul di dalam benaknya. Ia langsung menyambut uluran tangan Allura setelah itu.
“Nama gue Al ….”
Belum juga Allura sempat menyebutkan nama, ponselnya sudah lebih dulu berdering. Ia kemudian meminta izin untuk menerima panggilan telepon yang masuk. “Mama gue. Gue angkat dulu,” ujar perempuan itu dan langsung mens-schroll ikon telepon di layar ponselnya dan memilih untuk mengambil jarak.
Shaquille hanya bisa menatap Allura yang menyingkir dari dekatnya. Keningnya mengkerut ketika melihat ekspresi perempuan itu tiba-tiba berubah dan tak lagi sama seperti sebelumnya. Kentara sekali raut wajah khawatir itu dan membuat Shaquille berpikir bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi.
Dan benar saja. Allura kembali mendekat dengan langkah tergesa.
“Kenapa?” tanya Shaquille yang kini posisi duduknya sudah tegak sempurna. Sepasang alis milik Shaquille saling bertautan sama lain. Entah kenapa ia begitu penasaran dengan hal yang membuat Allura seperti ini.
“Gue harus pergi. Papa gue masuk rumah sakit lagi,” ujar Allura dan langsung bergegas pergi tanpa menunggu persetujuan Shaquille. Sedang Shaquille hanya bisa menatap punggung Allura yang perlahan menjauh hingga menghilang di balik pintu ruang yang tertutup.
“Hati-hati!” seru Shaquille. Tak peduli jika perempuan itu sudah melangkah dengan jarak jauh dan tak mendengar seruannya lagi. Setelah itu, Shaquille menyentuh dada dan merasakan detakan di sana. Tiba-tiba saja ketakutan seperti saat pertama kali ia divonis oleh dokter menderita penyakit jantung kembali hadir. Ketakutan terbesar yang pernah Shaquille alami selama ini. Shaquille takut jika tiba-tiba detakan itu menghilang dan ia tidak bisa lagi membuka mata. Lalu, bagaimana dengan mimpi-mimpi yang sudah ia rajut sejauh ini? Bagaimana dengan keluarganya yang ia rasakan begitu sangat menyayanginya meski sudah jelas kekurangan yang ada di dalam dirinya? Serta sejauh ini lebih sering merepotkan?
Shaquille. Laki-laki itu sekarang hanya bisa menyemangati diri. Ia ingat apa yang pernah dikatakan Marris—sang ayah tiri—padanya untuk tidak membebani pikirannya dengan pikiran-pikiran yang berat. Shaquille hanya harus meyakini bahwa apa yang ia dapatkan dari Karina—ibunya, Marris, dan Jevano adalah haknya sebagai salah satu anggota keluarga. Ya, bahkan yang ia dapatkan terutama dari Marris persis sama seperti yang Jevano dapatkan. Marris tidak pernah membedakan dirinya dengan Jevano selama ini meski ia bukanlah anak kandung dari Marris.
“Quille, lo dipanggil Pak Dharma.”
Suara itu berhasil menyentak Shaquille dari lamunannya. Ia kemudian menganggukkan kepala dan bangkit. Lalu, meninggalkan ruangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments