Suara sirine ambulance yang membawa tubuh Shaquille mendayu-dayu dan saling bersahutan dengan suara isak wanita yang terus menggenggam tangan laki-laki itu. Sedang pria yang duduk berseberangan dengan wanita itu terus mencoba untuk mengembalikan detak jantung yang entah berapa kali menghilang. Wajah pria itu tampak sangat tenang. Namun, siapa yang tahu apa yang dirasakan sebenarnya? Apalagi yang pria itu hadapi kini bukanlah orang luar yang tak dikenal. Akan tetapi, salah satu putra kesayangannya. Ada hal yang harus dipertaruhkan oleh Marris sebagai seorang dokter sekaligus ayah untuk menghadapi kondisi Shaquille saat ini. Adalah perasaan yang kemudian tidak bisa ia jadikan patokan untuk tidak membantu Shaquille.
Sampai suara serak yang kemudian diiringi lagi dengan isakan itu mengalihkan fokus Marris dari wajah pucat di mana ambubag itu ikut bertengger. “Bagaimana, Yah?”
Helaan napas panjang terdengar. Ia kembali dihadapkan dengan perasaan yang terkoyak habis-habisan. Habis karena melihat air mata istrinya yang mengalir deras dan tak kunjung berhenti. Sebagai seorang pria, Marris tidak pernah bisa melihat wanitanya menangis. Namun, memaksa Karina untuk menghentikan tangisnya pun bagi Marris bukanlah pilihan yang tepat. Alih-alih Karina yang notabene adalah ibu kandung dan orang yang sudah melahirkan Shaquille ke dunia bahkan dengan mempertaruhkan nyawa. Ia sendiri yang hanya sekadar ayah sambung dari laki-laki itu saja merasakan bagaimana pedih hatinya melihat kondisi Shaquille.
“Mama tenang dulu. Mas nggak apa-apa kok, Ma,” ucap Marris seraya mengulum senyumnya untuk berusaha menenangkan Karina. Padahal, apa yang tengah ia pertontonkan di hadapan Karina saat ini hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi perasaan khawatirnya juga. Sangat tidak bisa tentunya jika Marris juga menunjukkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Bisa-bisa istrinya akan lebih kalut dari apa yang ia saksikan saat ini. Sekali lagi, Marris tidak heran jika Karina bersikap demikian. Sebab, ibu mana yang tidak sedih dan hancur perasaannya jika buah hatinya berada pada kondisi yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
Tidak perlu menunggu respons balik dari Karina. Marris kembali memposisikan diri sebagai seorang dokter untuk Shaquille. Ia melakukan apa saja yang bisa ia lakukan—tentu sesuai dengan prosedur yang berlaku—agar bisa mengembalikan detakan di dalam dada Shaquille seperti semula. Dalam hati pria itu terus merafalkan do’a-do’a. Sesekali ia melirih meminta Shaquille untuk terus bertahan dan berjuang sampai ambulance tiba di rumah sakit. Hingga nanti Marris bisa melakukan langkah-langkah selanjutnya untuk membawa kembali kesadaran anak sulungnya itu. Ya, meski Shaquille bukan anak kandungnya, tetapi Marris selalu mengatakan bahwa Shaquille tetap adalah anak sulungnya. Sebab, rasa cinta dan sayangnya pada Shaquille sudah terlanjur tumbuh dengan baik sebagaimana ia mencintai dan menyayangi Jevano.
Ambulance terhenti di sebuah gedung besar yang khas dengan warna putihnya. Dengan cepat petugas membuka pintu dan menurunkan brankar di mana tubuh Shaquille terbujur dengan beberapa alat bantu di sana. Lantas, secepat yang para petugas serta Marris bisa mendorong brankar memasuki rumah sakit. Karina hanya bisa ikut berlari mengikuti tubuh putranya yang lebih dulu dibawa pergi. Langkahnya yang lebih lamban pun membuat Karina tertinggal. Tak mengapa. Ia bisa menyusul kemudian. Sebab, yang terpenting adalah Shaquille mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat lebih dulu. Dan Karina mempercayakan hal itu pada suaminya.
Karina yang langkahnya tergesa-gesa menyusul brankar yang membawa tubuh Shaquille harus terhenti ketika seseorang menabrak tubuhnya. Ia mengangkat pandangan dan sepasang bola matanya yang masih basah saling beradu pandang dengan sepasang netra yang tampak sembap. Sejenak rotasi bumi seakan terhenti detik itu juga. Bagaimana bisa ia bertemu lagi dengan seseorang yang sudah membuat dunianya hancur? Kenapa Tuhan harus membawa orang tersebut kembali ke hadapannya dan sukses membuka luka lama Karina yang sudah terkubur dalam-dalam? Bahkan, di situasi yang seharusnya tidak ada hal lain yang akan menganggunya. Namun, rupanya ini ujian baru yang harus dihadapi Karina lagi.
“Karina, ….”
“Maaf aku harus pergi,” ucap Karina dengan cepat sebelum orang tersebut melanjutkan kalimatnya. Ia kemudian berlalu meninggalkan orang tersebut. Karina tidak ingin berlama-lama merasakan luka yang sudah ia coba sembuhkan dan dibantu oleh Marris. Namun, langkahnya terpaksa berhenti lagi ketika sebuah suara kembali terdengar.
“Karina, aku mau bicara sebentar.”
Karina tidak menoleh sama sekali. “Maaf aku nggak punya waktu,” balas Karina dan benar-benar pergi menjauh. Tak peduli lagi dengan suara yang terus menyerukan namanya itu. Entah nanti suara itu akan menyita perhatian orang-orang yang ada di sekitar. Karina tidak peduli. Biarlah itu menjadi urusan orang yang sudah menghancurkan hidupnya dan merenggut kebahagiaannya dengan Shaquille.
˚˚˚˚˚
Karina masih terdiam seraya memandangi wajah pucat di balik oxygen mask milik putranya. Lalu, tangannya menggenggam erat telapak tangan Shaquille yang terbebas dari jeratan jarum infus itu. Tangan yang urat-uratnya tampak menonjol jelas di punggung tangan. Namun, apa yang Karina lakukan saat ini tak serta merta membawa pikirannya juga mengarah pada sosok yang terbujur di atas ranjang pesakitan tipis di hadapannya itu. Otak dan pikirannya justru terus sibuk memikirkan sosok yang tadi bertemu dengannya dan sempat menahannya untuk bicara. Kenapa orang tersebut harus datang kembali di dalam hidupnya yang kini sudah mulai stabil dan baik-baik saja?
“Ma.”
Suara yang lebih terdengar seperti bisikan itu menyita perhatian Karina. Meski sejak tadi tatapannya terus mengarah pada wajah Shaquille, tetapi ia tidak menyadari sama sekali kapan sepasang kelopak mata milik Shaquille terbuka. Benar-benar pikirannya dibawa jauh oleh pertemuannya tadi.
Karina bangkit dari duduknya dan mengikis jarak dengan Shaquille. Ia dekatkan wajahnya dengan wajah putra sulungnya itu. “Kenapa, Sayang?” tanya Karina seraya mengelus puncak kepala Shaquille. Tak lupa ia mengulum senyum manisnya meski jelas senyum itu terpaksa terbit. Bagaimana ia sebagai sosok ibu bisa tersenyum girang melihat putranya terbujur sakit dan lemah seperti saat ini? Tidak! Karina tidak bisa melakukan hal itu. Lalu, apa yang ia lakukan saat ini adalah sebuah kamuflase untuk menutupi kesedihannya di hadapan Shaquille.
Shaquille mencoba menyingkirkan oxygen mask dari wajahnya. Namun, ditahan langsung oleh tangan yang sudah ditumbuhi keriputan milik Karina. Shaquille mengulum senyum tipisnya seakan mempertegas bahwa ia sudah tidak membutuhkan lagi alat bantu pernapasan tersebut. Dan benar saja, Karina yang paham maksud senyum si sulung pun akhirnya menurunkan tangannya dan membiarkan Shaquille melakukan apa saja yang membuat anak itu nyaman.
“Haus, Ma,” lirih Shaquille. Lalu, dengan gerakan cepat Karina meraih gelas berisi air di atas nakas di samping bed patient. Ia menuntun tubuh Shaquille yang berubah posisi menjadi setengah duduk dan membantu putranya untuk meminum air guna membasahi tenggorokan yang mungkin terasa sangat kering pasca mendapatkan serangan mendadak.
“Cukup?” tanya Karina setelah Shaquille menyingkirkan gelas tersebut dari bibirnya. Karina melihat anggukan pelan Shaquille dan ia letakkan kembali gelas tersebut di tempat semula. “Mau istirahat lagi?”
Gelengan pelan itu terlihat jelas. Lalu, Shaquille memperbaiki posisi duduknya dengan benar. Ditatapnya mata sembap Karina. Detik itu juga rasa bersalah menyelimuti diri Shaquille. “Maaf.” Selalu saja kata itu yang terlontar dari bibir Shaquille. Sebenarnya, kata maaf yang ia ucapkan tak bisa ia yakini juga bisa menghapus semua kesalahannya. Namun, Shaquille tidak memiliki kata lain selain maaf.
“Kamu nggak salah apa-apa, Mas. Nggak perlu minta maaf kayak gitu sama Mama,” ucap Karina. Sekali lagi ia meraih tangan Shaquille dan menggenggamnya. “Lekas sembuh, yuk, Mas. Biar cepat pulang.”
Shaquille hanya bisa mengulum senyum tipisnya. “Iya, Ma.”
Hening datang menjeda. Shaquille memperhatikan dengan lekat wajah ibunya yang tampak tidak seperti biasanya. Kentara sekali wanita itu seperti memiliki beban. “Mama kenapa? Ada masalah?”
Karina mengangkat pandangan ke arah Shaquille. Lalu, ia menggelengkan kepala. Bagaimana bisa ia menceritakan sesuatu yang sudah pasti akan membuat putranya ikut kepikiran dan tentu saja akan mempengaruhi kondisi kesehatan Shaquille? Atau mungkin hanya akan merusak emosi putranya saja. Meskipun Shaquille tidak tahu pasti seperti apa sosok yang sudah menghancurkan hidup mereka, tetapi mendengar cerita Karina selalu sukses membuatnya marah.
“Mama bukan orang yang pintar bohong lho, Ma. Mas tahu kok pasti ada hal yang sedang Mama pikirin,” ujar Shaquille yang tak bisa mempercayai begitu saja ucapan ibunya. “Mas nggak maksa Mama cerita sekarang kalau Mama memang nggak siap. Tapi, nanti jangan lupa ceritakan, ya, Ma. Mas nggak mau Mama terbeban sendiri,” sambung Shaquille yang mencoba untuk memahami posisi ibunya. Ia bukan pemaksa. Sebab, tidak ada hal yang bisa ia paksakan dari ibunya sendiri.
Karina mengulum senyumnya dan menganggukkan kepala.
“Ayah di mana?” tanya Shaquille mengalihkan topik pembicaraan. Ya, karena memang ia tak menemukan juga sosok ayahnya saat pertama kali membuka mata. Tak biasanya seperti itu. Sebab, Marris selalu mencoba untuk selalu ada sebagai dokter sekaligus sosok seorang ayah untuk Shaquille.
“Mama minta pulang dulu. Nanti balik lagi. Ayah ada jadwal piket malam,” terang Karina. “Sama Adek juga mau ke sini, Mas,” sambung wanita itu dengan senyum lebarnya.
Shaquille membalas dengan hal yang sama. Lalu, uraian kalimat terima kasih mengalun dari bibir pucat pasi Shaquille untuk ibunya. Kepada Tuhan ia tak pernah lupa. Terima kasih atas segala apa yang ia dapatkan dalam hidupnya. Terima kasih, lirih Shaquille dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments