Chapter 2

“Sorry, ya, gue telat banget.” Shaquille langsung mendaratkan bokongnya pada kursi kosong yang sudah tentu tersedia untuknya sebagai seorang pimpinan organisasi terbesar di kampus. Ia meletakkan ranselnya di atas meja dan menyisir ruangan untuk melihat teman-temannya yang lebih dulu datang daripada dirinya. Sejujurnya, Shaquille merasa cukup bersalah karena harus terlambat dan membuat jadwal rapat harus diundur. Namun, bukan keinginannya juga untuk hadir tidak tepat waktu. Sebab, Shaquille sudah terbiasa tertib dengan semua jadwalnya. Hanya saja kali ini ia tidak tahu akan mendapatkan masalah dan harus menghadap dosennya hingga membuatnya datang terlambat. Ya, apa yang terjadi padanya kali ini karena ulah Jevano yang harus merajuk pagi-pagi. Namun, ya sudahlah. Percuma juga menyalahkan Jevano.

“Nggak apa-apa. Yang lain juga baru pada datang sih,” balas Mayyesa sang sekretaris BEM yang selalu membantu Shaquille menjalankan tugas mereka sebagai pengurus inti organisasi terbesar di kampus itu. “Tapi, lo oke, ‘kan?” tanya Mayyesa setelah mengalihkan fokusnya dari layar laptop yang menyala di hadapannya. Ia lihat Shaquille yang masih berusaha untuk menormalkan napasnya, karena keterlambatan yang bisa jadi membuat laki-laki itu harus berlari menuju ruang BEM. Sedang Mayyesa sendiri tahu siapa sosok pemimpinnya itu. Tidak heran jika Mayyesa tampak khawatir melihat Shaquille yang saat ini duduk tepat di sampingnya.

Shaquille mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban semuanya baik-baik saja. Kendati, ia sedikit berbohong pada Mayyesa. Ya, ada yang tidak baik-baik di dalam dadanya. Ada rasa nyeri dan sesak yang menghampiri. Namun, masih bisa ia tanggulangi sendiri tanpa harus melibatkan orang lain. Apalagi saat ini tengah ada banyak orang bersamanya di dalam satu ruang. Jika Shaquille kalah dengan apa yang dirasakan saat ini. Artinya, ia sudah membongkar rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat dari semua orang, kecuali orang-orang yang benar-benar dekat dengannya. Tak hanya itu, artinya juga Shaquille akan merepotkan orang lain lagi. Tidak! Shaquille tidak ingin hal itu terjadi. Sejauh ini, ia sudah banyak merepotkan dan melibatkan orang lain dalam masalahnya.

“Sudah bisa dimulai?” tanya Shaquille sebelum memulai rapat yang akan ia pimpin hari ini. Tak lupa ia edarkan pandangan untuk menyisir orang-orang yang di dalam ruangan itu. Senyumnya terbit dengan sangat cantik ketika seruan kata “iya” serta anggukan kepala manusia-manusia yang siap berjuang dengannya selama masa jabatan menjadi Ketua BEM. Shaquille tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka yang begitu loyal ada bersamanya melangkah. Sebab itu, Shaquille tidak pernah lupa bahwa setiap pencapaian yang ia dapatkan ada campur tangan teman-temannya di sana. Dan Shaquille tidak akan pernah merasa gengsi untuk mengucapkan terima kasih serta maaf kepada mereka.

Dengan penuh charisma, laki-laki yang sebentar lagi menginjak usia di angka dua puluh satu itu memulai rapat. Ia mulai menjelaskan beberapa program yang akan segera dijalankan. Lalu, seluruh isi ruangan itu hanya terdiam dan mendengarkan apa yang dijelaskan Shaquille.

“Jadi, bazaarnya akan kita mulai lusa. Oleh karena itu, hari ini kita sudah menyiapkan segala keperluannya dan kita juga akan tahu apa saja yang kurang dan harus kita lengkapi segera. Sehingga besok sudah tidak ada lagi yang harus disiapkan. Teman-teman juga punya untuk mempersiapkan diri,” terang Shaquille. “Bagaimana? Masih ada yang belum jelas?”

Seisi ruangan menggelengkan kepala. Apa yang dijelaskan Shaquille sebelumnya sudah sangat rinci dan jelas. Jadi, tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan.

“Hm, kalau memang sudah tidak ada lagi. Saya cukupkan rapatnya sampai di sini. Dan setelah ini kita bisa langsung menuju lokasi bazaar,” tukas Shaquille yang langsung dibalas anggukan oleh mereka yang ada di dalam ruangan tersebut. “Untuk teman-teman yang masih ada jadwal kuliah. Silakan untuk kembali ke kelas dulu. Biar saya dan teman-teman yang sudah tidak ada kelas hari ini yang mengerjakan dulu persiapan bazaarnya,” sambung Shaquille lagi. Ia tidak ingin mengganggu jam kuliah teman-teman satu organisasinya. Sebab itulah, ia selalu mencoba untuk mengatur jadwal agar tidak mengganggu akademik mereka.

˚˚˚˚˚

“Eh, ada anak baru di semester bawah.” Farrash yang tadinya begitu sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba berceletuk. Celetukannya tidak berhasil mengalihkan fokus Shaquille dari layar laptop di atas meja. Kendati demikian, Farrash yakin Shaquille mendengar apa yang diucapkan.

“Terus kenapa kalau memang ada anak baru? Ngaruh gitu sama lo?” balas Shaquille dengan nada cueknya. Ya, terdengar sangat tidak tertarik dengan topik yang dibawa oleh Farrash.

“Ya kali aja nanti ngaruh. Apalagi anak barunya cantik banget lagi,” jawab Farrash tidak mau kalah dengan sahabatnya itu. “Yang nggak pernah ngaruh itu kan cuma lo doang, Quille,” lanjut Farrash. Ia tidak berbohong. Shaquille memang satu-satunya manusia yang ia kenal dengan sikap yang tidak begitu peduli dengan urusan perempuan. Padahal, di kampus Shaquille adalah most wanted. Hampir seluruh mahasiswi di kampus yang mengenal sosoknya. Hanya saja, laki-laki itu tidak memanfaatkan hal demikian untuk bergaya apalagi membanggakan diri. Sekali lagi, Shaquille begitu cuek dengan hal-hal seperti itu.

“Kalau anak yang satu ini, lo pasti bakalan kecantol sih saking cantiknya,” ucap Farrash lagi. Ia mengubah posisi duduknya menghadap Shaquille. “Kayaknya kalem juga. Sama kayak lo. Jadi, kalau kata gue sih lo cocok banget.”

Pukulan telak mendarat di paha Farrash dengan keras. Shaquille yang merasa terganggu menyelesaikan pekerjaannya hanya bisa melakukan hal itu untuk menghentikan Farrash.

“Sakit banget, Anjir!” Farrash mengelus pahanya yang sudah bisa ia pastikan kini sudah memerah karena kerasnya telapak tangan Shaquille yang mendarat di sana.

“Makanya lo jangan ganggu gue pas lagi kerja gini,” sahut Shaquille dengan santainya dan tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seakan apa yang sudah ia lakukan pada Farrash hanyalah hal biasa saja. Ya, memang Shaquille sudah terbiasa dengan hal itu. Barangkali Farrash juga merasa demikian. Lama hubungan persahabatan yang mereka jalin membuat keduanya merasa sudah saling terbiasa dengan sikap, cara, dan kebiasaan masing-masing.

“Gue nggak ganggu. Gue cuma ngasih tau.”

“Sama aja.”

“Lo yakin masih nggak tertarik?”

Shaquille menganggukkan kepala tanpa ragu. “Perempuan bikin ribet,” ucapnya cepat.

“Sama yang ini gue yakin lo bakalan tertarik.”

“Nggak akan.”

“Kalau iya, bagaimana?”

Shaquille mendengus kesal. Ia menghela napas panjang dan melayangkan tatapan tajam pada Farrash. Bisa-bisanya anak itu tidak paham dengan situasi saat ini. Apakah Farrash buta hingga tidak melihat Shaquille yang sedang fokus dengan pekerjaannya?

“Nggak akan, Farrash Ar-Rafiq,” ucap Shaquille dengan penekanan kuat di setiap kata yang ia ucapkan. “Sekarang mending lo lanjutin kerjaan lo atau gue cekik?”

Alih-alih merasa takut. Farrash justru terkekeh. “Santai dong, Bro. Nggak usah ngegas kayak gitu,” balas Farrash masih dengan kekehannya.

“Ada apa sih kalian kayak gitu?”

Baik Shaquille maupun Farrash langsung menoleh ke arah sumber. Mendapati Ayman yang baru saja datang dengan kardus entah berisi apa di tangan. Laki-laki itu kemudian meletakkan barang bawaannya tersebut di atas meja. Tepat di samping di mana Shaquille meletakkan laptopnya.

“Tau tuh teman lo,” jawab Shaquille dan kembali mencoba untuk memfokuskan diri dengan apa yang akan ia selesaikan segera. Sehingga, ia juga bisa lebih cepat untuk membantu teman-teman lainnya untuk mempersiapkan keperluan bazaar.

“Kenapa sih, Rash?”

Farrash kembali terkekeh. “Tau tuh Shaquille tiba-tiba aja kesal. Padahal, gue cuma ngasih tau tentang anak baru di semester bawah,” terang Farrash pada Ayman yang sudah tidak bisa menyembunyikan aura penasarannya.

Ayman menganggukkan kepala paham. Ya, Ayman paham kenapa Shaquille kesal.

“Padahal, tuh cewek cantik banget ‘kan, Man?”

Dengan polosnya Ayman menganggukkan kepala. “Iya cantik banget lagi. Gue aja sampai kesem-sem,” jawab Ayman membenarkan. Lalu, ia berlanjut membahas perempuan yang dimaksud oleh Farrash. Perempuan yang bahkan namanya saja mereka tidak ketahui.

Shaquille pikir kedatangan Ayman akan menyelamatkannya dari Farrash. Namun, kenyataannya tidak sama sekali. Situasinya semakin riweh. Ayman justru ikut-ikutan membahas tentang topik yang Shaquille coba hindari. “Mending lo berdua pergi deh. Nggak bakalan selesai kerjaan gue kalau lo pada ngebacot di sini,” kesal Shaquille dan berhasil membungkam mulut kedua sahabatnya itu.

“Lah, marah dia. PMS lo, Quille?” Ayman mencoba mencairkan suasana dengan candaan absurdnya.

Shaquille hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Ia cukup frustrasi dengan sikap kedua sahabatnya itu. Bisa-bisanya mereka tidak paham dengannya. “Man, Rash, please dong jangan becanda di saat kayak gini. Gue pusing kerjaan gue belum kelar,” ucap Shaquille dengan nada memelas. Barangkali dengan begitu Farrash dan Ayman bisa paham.

“Hm, it’s ok. Sebagai teman yang baik hati, gue nggak akan becanda lagi. Tapi, nanti bantu gue di lapangan buat siapin keperluan bazaar. Bagaimana?”

Shaquille hanya bisa mengangguk pasrah dan melanjutkan pekerjaannya dengan tenang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!