Chapter 11

“Mas, Ayah nggak bisa jemput gue. Gue nggak ada teman pulang. Lo bisa jemput, nggak?”

Shaquille menghela napas panjang setelah membaca pesan yang ia terima dari adiknya. Ia kemudian melirik benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada waktu kurang lebih satu jam sebelum rapat dilaksanakan. Artinya, Shaquille masih memiliki waktu untuk menjemput Jevano ke sekolah dan kembali lagi ke kampus sebelum rapat dimulai. Baiklah. Shaquille akan pergi sekarang sebelum ia diteror habis-habisan oleh adiknya yang sebenarnya sangat menyebalkan itu. Namun, Shaquille menyayangi Jevano. Sangat. Dan begitu juga sebaliknya. Meski mereka kadang bertengkar, tetapi tidak mengurangi rasa sayang mereka terhadap satu sama lain.

Shaquille bangkit dari kursinya dan sukses menyita perhatian Farrash yang duduk di sampingnya. Ia menoleh ke arah sahabatnya yang tengah menatapnya dengan alis terangkat sempurna. Shaquille bisa membaca arti ekspresi yang ditunjukkan Farrash. “Nanti gue balik lagi. Gue mau jemput Jevano sebentar,” terang Shaquille dan langsung dibalas anggukan oleh Farrash. Rasanya Shaquille ingin tertawa melihat Farrash saat ini. Sahabatnya itu tampak lucu dan enggan ditinggalkan olehnya. Padahal, ia hanya pergi sebentar. Ya, sebenarnya bukan karena tidak mau ditinggal juga. Hanya saja Shaquille tahu bahwa Farrash tidak mau bekerja sendiri. Itu yang Shaquille tahu tentang Farrash sejauh ini. Dan memang Shaquille tidak pernah membiarkan anggotanya kesusahan sendirian. Sebisa mungkin ia membantu.

“Nggak usah kangen. Soalnya, gue nggak doyan terong,” ucap Shaquille seraya menepuk pundak Farrash dengan pelan sebelum benar-benar pergi dari hadapan Farrash. Hal itu membuat Farrash murka.

“Najis banget, Njir!” pekik Farrash yang hanya dibalas tawa keras oleh Shaquille. Memang di hadapan Farrash, Shaquille adalah manusia paling menyebalkan dan laknat di muka bumi ini. Laki-laki itu seolah menunjukkan sisi lain dirinya yang tak banyak orang tahu. Ya, orang-orang hanya tahu seorang Shaquille Agha Damaresh adalah sosok laki-laki dan pemimpin yang berwibawa dan penuh kharisma. Tidak ada yang tahu sisi lemah dan humoris laki-laki itu. Hanya orang-orang tertentu.

Shaquille membawa langkahnya meninggalkan area ruang BEM. Seperti biasa, sesekali ia harus mengulum senyumnya saat berpapasan dengan mahasiwa lain dan menyapanya. Memang tidak mudah bagi Shaquille menjadi salah satu orang nomor satu di kampus. Namun, yang ia miliki saat ini juga mengajarkan banyak hal dalam hidup Shaquille. Salah satunya adalah bagaimana ia harus menghargai mahasiswa biasa, bagaimana ia harus tetap menjadi Shaquille yang tidak angkuh dengan jabatan yang tengah digenggamnya. Tentu tak hanya itu, apa yang Shaquille genggam saat ini mengajarkannya tentang tanggung jawab dan prioritas. Hingga ia tahu apa yang harus dilakukan dengan baik. Ya meskipun Shaquille bukanlah siapa-siapa tanpa teman-temannya yang lain.

“Shaquille!”

Lagi-lagi langkah Shaquille harus terhenti ketika sebuah suara yang begitu familiar terdengar di ceruk telinga. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Mayyesa yang tengah berjalan mendekat ke arahnya. Terpaksa Shaquille harus menghentikan langkah yang tadinya sudah terlanjur mengayun menuju parkiran kampus itu. “Kenapa?” tanya Shaquille saat melihat ada beberapa kertas yang digenggam oleh Mayyesa. Dengan melihat itu saja sudah bisa membuat Shaquille berpikir bahwa perempuan itu pasti ada urusan organisasi yang akan dibahas. Memangnya apa lagi yang membuat Mayyesa sampai rela berlari mengejar Shaquille di hadapan mahasiswa lain jika bukan urusan BEM?

Mayyesa hanya menunjukkan cengiran kudanya. “Gue butuh tanda tangan lo,” ucap Mayyesa masih dengan ekspresinya yang cengengesan. Apalagi saat melihat Shaquille menggelengkan kepala dan mengembuskan napas panjang.

“Bisa entar, nggak? Gue buru-buru mau jemput Jevano,” ucap Shaquille. Ia tidak ingin membuat adiknya menunggu lama. Bisa-bisa anak itu akan merajuk seharian dan meminta hal aneh padanya. Bukan hanya karena itu saja, Shaquille tidak bisa hanya sekadar membubuhkan tanda tangannya di atas kertas yang sudah dibawa oleh anggotanya. Ia harus memeriksa lebih dulu program seperti apa yang akan dilaksanakan. Dengan begitu, ia tidak akan bertindak gegabah.

Mayyesa menghela napas panjang. Ia tidak bisa memaksa Shaquille, sebab laki-laki itu memang bukan tipekal orang yang bisa dipaksa. “Ya sudah deh nggak apa-apa. Gue tunggu.”

“Nggak lama kok. Gue juga ada urusan sama Farrash setelah ini.”

“Hm, ok.”

˚˚˚˚˚

Shaquille sudah menghentikan mobilnya di depan gerbang sekolah Jevano. Ia turun dari mobil dan mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan adiknya. Namun, sosok Jevano tak juga terlihat. Hal itu kemudian memaksa Shaquille untuk memasuki area sekolah untuk mencari keberadaan Jevano. Sayangnya, masih saja gagal. Ia lantas mencoba menghubungi anak itu, tetapi nihil juga. Nomor Jevano tidak bisa dihubungi sama sekali. Shaquille murka dibuatnya.

“Permisi,” sapa Shaquille pada seorang siswi yang baru saja ke luar. “Kenal Jevano nggak, Dek?”

“Kenal dong, Kak. Jevano yang anak voli, ‘kan?”

Sejenak Shaquille terdiam. Memangnya apa iya kalau adiknya suka bermain voli? Sejauh ini, ia tidak pernah melihat Jevano bermain salah satu cabang olahraga itu. Anak itu lebih suka bermain game dibanding olahraga. Akan tetapi, jika memang benar demikian. Ya bagus. Setidaknya Jevano mau untuk memanfaatkan waktunya dengan hal positif. Shaquille sendiri tentu sangat mendukung keputusan adiknya. Jika ia tidak bisa melakukan olahraga favoritnya itu, biarlah Jevano yang akan menggantikannya. Dengan begitu, Shaquille tidak akan merasa lagi bahwa sesuatu yang ia sukai harus terkubur sepenuhnya.

“Iya, bukan, Kak?”

“Oh, i-iya, Dek,” jawab Shaquille dengan gelagapan, karena sebelumnya harus terjebak dengan dunia di dalam kepalanya.

“Kayaknya masih di lapangan sih, Kak. Lagi main sama teman-temannya.”

“Oh, ya sudah, Dek. Terima kasih, ya.”

Shaquille kembali membawa langkah sepasang tungkainya memasuki area sekolah lebih dalam. Dan perjalanan cukup menyita waktu sebab lapangan voli yang ada di ujung sekolah. Namun, setelah tiba di tempat, Shaquille tak merasa lelah, marah, ataupun kecewa. Ia bahkan tersenyum melihat permainan Jevano yang begitu lincah. Sampai ia membayangkan bahwa dirinyalah yang ada di tengah lapangan. Akan tetapi, detik berikutnya Shaquille segera sadar bahwa apa yang ia pikirkan tak seharusnya ada. Percuma. Nanti hanya akan menyakiti dirinya sendiri saja.

“Adek!” panggil Shaquille dan berhasil menghentikan permainan lincah Jevano.

Jevano langsung bergegas ke luar lapangan dan mengambil tasnya. “Eh, sorry, ya, Mas, sudah bikin lo harus ke sini,” ucap Jevano seraya menyeka keringatnya.

“Nggak apa-apa. Ayo pulang!”

Jevano langsung mengangguk dan berjalan berdampingan dengan Shaquille. Dalam perjalanan menuju parkiran, ia sesekali melirik Shaquille dengan ekor mata. Kenapa kakaknya itu seperti tengah tersenyum tipis?

“Mas,” panggil Jevano yang hanya dibalas gumaman oleh Shaquille. “Lo baik-baik saja, ‘kan?”

“Memangnya gue kenapa?”

“Lo senyum-senyum sendiri kayak orang lagi jatuh cinta.”

“Memang lo pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta?”

“Ya, nggak juga. Gitu sih yang sering gue dengar dari teman-teman gue.”

Shaquille tertawa kecil dan menoyor pelan kepala Jevano. “Dasar bocah!”

“Lo sih senyum-senyum nggak karuan gitu,” ucap Jevano seraya mengelus kepalanya yang menjadai korban tangan kakaknya.

“Gue senang lihat lo main tadi,” ucap Shaquille dan menatap adiknya sejenak. “Lo kembangin potensi lo itu, ya. Biar kerjaan lo nggak cuma main game doang,” sambung Shaquille.

Jevano terdiam. Meskipun Shaquille berucap dengan membubuhkan candaan. Jevano tahu ada yang berbeda yang dirasakan kakaknya. Jevano tahu bagaimana Shaquille ingin sekali menjadi atlet voli. Hanya saja apa yang melekat di dalam tubuh Shaquille tak mengizinkan laki-laki itu untuk melanjutkan mimpinya. Dan itulah salah satu alasan Jevano untuk bergabung dengan club voli di sekolahnya. Sebenarnya, Jevano enggan. Sungguh. Namun, hanya karena Shaquille. Ia rela membuang keengganannya itu.

Jevano tertawa garing. “Ah, lo bisa saja, Mas. Gue kan juga kayak lo jadi incaran banyak cewek,” ucap Jevano dan tertawa lebih keras. Tawa yang sebenarnya hanya dibuat-buat saja. Tidak bisa juga bagi Jevano untuk menunjukkan sesuatu yang sebenarnya ia rasakan. Ia tidak ingin menjebak diri dengan Shaquille dalam situasi yang mellow.

“Cewek saja di otak lo. Gue bilangin Mama sama Ayah, mampus lo.”

Jevano hanya menanggapi dengan tawanya.

Langkah Shaquille tiba-tiba berhenti ketika melihat seseorang duduk sendiri di dekat parkiran. Ia menyipitkan mata untuk memperjelas pandangannya. Shaquille merasa tidak asing dengan orang itu.

“Kenapa, Mas?” tanya Jevano seraya mencoba mencari sesuatu yang tengah menyita perhatian Shaquille.

“Bukannya itu anak yang dijemput sama cewek yang lo bilang cantik itu ‘kan, Dek?” tanya Shaquille seraya menunjuk ke arah parkiran dan Jevano langsung melempar pandangan ke arah yang ditunjuk oleh kakaknya. Jevano sendiri harus memperjelas pandangan untuk memastikan benar atau tidak.

“Ho’oh. Kayaknya dia belum dijemput.”

Tanpa kata Shaquille langsung mengalihkan arah langkahnya menuju parkiran. Hal itu membuat Jevano bingun, tetapi mau tidak mau harus mengikuti juga ke mana kakaknya berjalan.

“Lagi nunggu dijemput, ya, Dek?” tanya Shaquille yang sukses mengagetkan laki-laki dengan seragam sama seperti seragam yang dikenakan Jevano. Shaquille melirik name tag anak itu. “Kailan Septa D.,” ucap Shaquille melafalkan nama anak itu.

Kailan menatap intens pada Shaquille. Entah kenapa anak itu seperti melihat seseorang. Sepasang mata milik laki-laki yang menyapanya itu seperti tidak asing. Namun, ia tidak tahu siapa pemilik mata yang sama dengan laki-laki itu.

“Lo ditanya sama kakak gue. Bukannya jawab malah natap kakak gue. Suka lo?” celetuk Jevano. Jevano tidak marah. Hanya sedikit bingung dengan keterdiaman Kailan. Namun, apa yang ia lakukan justru membuatnya mendapatkan toyoran lebih keras dari Shaquille. Sial memang Jevano hari ini. Dan ia hanya berpasrah.

“Iya,” balas Kailan singkat.

“Mau pulang bareng, nggak?” tawar Shaquille dan membuat Jevano tidak habis pikir. Bisa-bisanya Shaquille menawarkan pada orang yang bahkan belum dikenalnya, pikir Jevano.

Kailan menggelengkan kepala. “Nggak. Sebentar lagi bokap gue datang.”

Shaquille menganggukkan kepala. Ia tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Kailan. “Ya sudah kalau begitu kami pulang duluan, ya.”

Kailan hanya mengangguk dan menatap kepergian dua laki-laki itu. Dalam hati ia terus bertanya-tanya, kenapa ia seperti pernah melihat tatapan Shaquille?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!