Chapter 10

“Assalamu’alaikum, Ma,” ucap Marris memberi salam pada Karina yang masih duduk di sofa ruang depan meski jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam lebih. Memangnya apa lagi yang dilakukan wanita itu sampai rela duduk lebih dari satu jam selain menunggu kepulangan suaminya dari rumah sakit. Tidak menjadi beban bagi Karina. Bagi wanita itu, apa yang ia lakukan adalah sebuah kewajiban sebagai seorang istri. Tidak tega rasanya ia meninggalkan lebih dulu Marris tertidur. Karina ingin menjadi orang pertama yang ditemui Marris saat tiba di rumah. Kecuali, jika memang keadaan dan situasinya tidak memungkin untuk Karina menunggu. Atau memang Marris yang tidak bisa pulang, karena pekerjaannya.

“Wa’alikumussalam, Yah. Baru pulang,” balas Karina dan langsung bangkit dari duduk manisnya. Ia meraih tangan kanan Marris dan menciumnya dengan penuh hormat sebagai bentuk baktinya pada sang suami. Tak hanya itu, Karina juga langsung mengambil alih tas kerja berisi alat temput Marris untuk membantu para pasien. “Ayah sudah makan, belum?” pertanyaan yang selalu Karina lontarkan saat Marris tiba di rumah. Ia selalu memastikan asupan suaminya harus terpenuhi. Jelas Karina tidak ingin Marris sampai terkapar sakit hanya karena meninggalkan jadwal makannya. Bagaimana Marris akan menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang tenaga medis jika Marris sendiri tidak baik-baik saja?

“Sudah kok, Ma,” jawab Marris dan mendaratkan bokongnya di sofa. “Anak-anak sudah tidur?”

“Jevano sudah sih, Yah. Tapi, kalau Shaquille, Mama belum tahu. Tadi Mama masih lihat lampu kamarnya masih nyala,” terang Karina. Tadi ketika ia menuju kamar Jevano untuk memastikan putra bungsunya sudah istirahat atau belum, Karina masih menangkap lampu kamar si sulung masih menyala. Artinya, Shaquille masih tertidur. Bisa jadi anak itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Atau bisa jadi juga sedang mengerjakan beberapa pekerjaan organisasi. Ya, itulah kebiasaan Shaquille yang Karina ketahui sejauh ini. Dan tidak ada hal lain lagi yang dilakukan oleh Shaquille di dalam kamarnya.

“Sudah diingatkan minum obat nggak, Ma?” tanya Marris seraya menggulung lengan kemejanya hingga ke siku-siku. Perihal keharusan yang dilakukan Shaquille yang satu itu tidak pernah Marris lupa tanyakan. Ia ingin memastikan bahwa anaknya harus rutin meminum obat. Jika tidak, Marris jelas tahu apa yang akan terjadi pada Shaquille. Dan tentu saja Marris tidak ingin hal itu terjadi pada si sulung. Apalagi jika nanti akan berakibat fatal akan kondisi Shaquille yang belum juga ada perkembangan baik. Marris terlalu menyayangi Shaquille meskipun anak itu bukanlah darah dagingnya. Namun, tersebab Shaquille yang tumbuh dan berkembang dengannya membuat Marris tanpa pamrih memberikan kasih sayang yang utuh untuk Shaquille.

“Ayah tenang saja. Shaquille sudah minum obatnya kok,” jawab Karina dan tersenyum pada Marris. Betapa bersyukurnya Karina bisa mendapatkan laki-laki yang begitu menyayangi dirinya dan Shaquille. Padahal, sebelum Jevano lahir, ia dan Shaquille terlalu banyak menyusahkan Marris. Namun, memang Marris adalah laki-laki yang begitu sabar dan tidak bosan untuk menemaninya dalam segala keadaan. Terlebih lagi dengan keadaan Shaquille yang seringkali anfal. Akan tetapi, Marris-lah yang justru bekerja keras untuk pengobatan Shaquille. Meskipun sampai detik ini Marris masih belum bisa mendapatkan pendonor yang cocok dengan Shaquille, Karina tidak marah dan kecewa. Ia bisa melihat sendiri bagaimana perjuangan suaminya selama ini. Dan itu sangatlah membuat Karina bangga.

“Jangan biarkan Shaquille melewatkan obatnya, ya, Ma.”

Karina menyentuh lengan suaminya. “Iya, Yah. Mama akan pastikan Shaquille untuk mengonsumsi obatnya dengan rutin,” jawab Karina dengan penuh keyakinan. “Yah, terima kasih banyak sudah memberikan yang terbaik untuk Shaquille.”

“Maksud Mama bilang gitu apa?” Marris menatap lekat istrinya. “Shaquille juga anak Ayah, Ma. Sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Dan apa yang Ayah lakukan untuk Shaquille adalah keharusan. Selain karena Shaquille anak Ayah, kasus Shaquille juga Ayah yang tangani. Ayah mau melihat anak sekaligus pasien Ayah sehat dan baik-baik saja,” terang Marris panjang lebar.

Karina hanya bisa mengulum senyum manis pada Marris. “Mama siapkan air hangat untuk Ayah, ya.”

“Iya, Ma. Terima kasih, ya.”

Marris menatap kepergian istrinya. Ia lalu mengusap wajah kasar dan menghela napas panjang. Marris teringat bagaimana cerewetnya ia menanyakan tentang Shaquille. Jujur saja, Marris takut. Takut sekali. Kondisi anak itu makin hari makin menurun. Namun, Marris belum berani membongkar kenyataan itu pada siapapun. Terutama Shaquille. Ia tidak ingin putranya itu merasa sedih dan putus asa. Begitu juga pada Karina. Jika ia bicara dengan istrinya, artinya Marris sudah menoreh kesedihan dan kepedihan di hati wanita itu. Lantas, apa yang harus Marris lakukan kini? Ia sendiri masih bingung.

˚˚˚˚˚

“Mas, Ayah boleh masuk?” tanya Marris setelah mengetuk pintu kamar Shaquille, tetapi pemilik kamar tak juga memberi respons. Pikir Marris, mungkin Shaquille terlalu fokus dengan pekerjaan sampai tak mendengar suara pintu kamar yang ia ketuk. Atau bisa juga kalau Shaquille sedang di kamar mandi. Berpikir bahwa Shaquille sudah tidur, tidak sama sekali. Lampu kamar anak itu masih menyala. Namun, detik berikutnya pikiran negative itu tiba-tiba hadir di dalam benak Marris. Bagaimana kalau sebenarnya Shaquille sedang sakit di dalam sana? Bagaimana kalau sebenarnya Shaquille sudah tidak sadarkan diri di kamar?

Tanpa berpikir panjang, Marris langsung memutar kenop pintu kamar Shaquille. Seketika hatinya menghangat melihat sosok yang ia khawatirkan tengah duduk di meja belajarnya. Namun, anehnya Shaquille belum juga bergeming. Entah apa yang dilakukan Shaquille sampai tak menyadari kedatangan Marris.

Pelan-pelan Marris melangkahkan kaki mendekat. Ia tak berniat untuk mengagetkan Shaquille. Tentu hal itu sangat dihindarinya sebab bisa saja berakibat fatal. Marris berdiri di samping Shaquille dan memperhatikan anak itu yang hanya memandangi layar computer dengan tatapan kosong. Namun, di bibir yang lebih sering terlihat pucat itu terpatri senyum manis dan cantik di sana. Entahlah apa yang tengah dipikirkan Shaquille saat ini sampai membuatnya senyum-senyum sendiri. Dan dapat Marris pastikan bahwa Shaquille memang sedang melamun saat ini.

“Mas,” panggil Marris seraya menyentuh pundak Shaquille dengan pelan. Berharap anak itu tidak terkaget nantinya. Namun, Marris rupanya salah. Shaquille tersentak hebat hingga membuat anak itu refleks menyentuh dadanya. Hal itu sukses membuat Marris khawatir. Khawatir jika Shaquille akan anfal gara-gara dirinya. “Mas, kamu nggak apa-apa?”

Shaquille menganggukkan kepala dan tersenyum. “Mas sedikit kaget. Tapi, nggak apa-apa kok, Yah,” jawab Shaquille dengan nada suara yang sangat meyakinkan. “Kapan Ayah datang?”

Marris hanya bisa menggelengkan kepala. “Kamu kenapa sih, Mas? Ngelamun? Ngelamunin apa?” tanya Marris dengan melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.

Shaquille hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri tidak tahu kenapa sampai melamun dan tak menyadari semuanya.

“Ada masalah kampus?”

“Nggak kok, Yah.”

“Terus? Masalah hati?”

“Bukan, Yah. Bukan. Ini bukan masalah hati kok. Benaran,” jawab Shaquille dengan cepat. Ekspresi yang ia tunjukkan pun membuatnya sangat lucu. Ia seperti tengah dipergoki melakukan kesalahan.

Marris tertawa melihat sikap Shaquille yang terlihat aneh. “Jangan-jangan memang benar ini masalah hati. Mas sudah jatuh cinta nih ceritanya,” goda Marris pada Shaquille. Ia senang melihat Shaquille yang tersipu malu dan dengan gelagat anehnya. “Jatuh cinta sama siapa sih, Mas? Cerita dong sama Ayah,” sambung Marris.

“Astaga, Ayah! Bukan kok. Mas nggak jatuh cinta sama siapapun. Benar. Sumpah.” Shaquille mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.

Sekali lagi Marris tertawa. “Nggak apa-apa kalau memang Mas jatuh cinta. Memangnya siapa yang bisa melarang? Tidak ada. Perasaan itu datang dengan sendirinya. Tidak bisa dipaksa datang ataupun pergi. Asal jangan sampai merugikan kamu, Mas,” terang Marris.

Shaquille hanya terdiam mendengar penuturan ayahnya.

“Sangat manusiawi jika anak seusiamu sudah mulai mengenal cinta, Nak. Tapi, sekali lagi, jangan sampai merugikanmu. Jangan sampai perasaanmu itu yang akan memperbudakmu.”

Shaquille mengangguk paham meskipun ia sendiri tidak apakah benar jatuh cinta atau tidak.

“Sudah hampir jam sepuluh, Mas. Istirahat. Tugasnya dilanjutkan besok pagi saja, ya.”

“Iya, Yah.”

“Ayah ke luar dulu.”

Shaquille mengangguk dan membiarkan Marris berlalu. Namun, sebelum tubuh Marris tenggelam di balik pintu kamar. Shaquille lebih dulu berseru, “Ayah!”

Marris menoleh ke belakang. “Kenapa, Mas?”

“Terima kasih.”

Marris tersenyum dan mengangguk. Lalu, menutup pintu kamar Shaquille.

Shaquille. Anak itu masih dengan senyumnya menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup rapat. Dalam hati ia mengucap Syukur yang teramat bisa tumbuh dari kasih sayang seorang Marris. Sungguh Marris adalah ayah yang luar biasa baginya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!