Chapter 7

“Kenapa?”

Ucapan Shaquille terpotong oleh suara yang tiba-tiba terdengar di ceruk telinga. Suara yang kemudian sukses menghipnotis baik Shaquille ataupun Jevano langsung menoleh ke arah sumber suara. Lalu, pasangan adik kakak itu menemukan sosok wanita yang berdiri di dekat dinding pembatas antara dapur dan ruangan lain di rumah itu. Tak lama, keduanya dapat melihat langkah lebar wanita dengan pakaian rapi tersebut mendekat dengan wajah khawatir. Jelas Shaquille dan Jevano tahu apa yang terjadi dengan wanita yang tak lain adalah wanita yang sudah berjuang melahirkan dan membesarkan mereka hingga tumbuh menjadi sebesar ini. Memangnya apa lagi jika bukan khawatir melihat Shaquille yang meskipun tanpa dijelaskan secara rinci, Karina juga tahu yang terjadi sebenarnya.

“Kenapa bisa kayak gini lagi, Mas?” Karina melempar pertanyaan pada Shaquille yang kembali sibuk mengurus tubuhnya sendiri agar terlihat biasa saja. Akan tetapi, tidak mudah memaksa tubuh ringkih dan kembali rewel itu untuk menyembunyikan kelemahannya. “Dada Mas sakit, Nak? Mana lagi yang sakit? Bilang Mama, Sayang,” sambung Karina dengan nada khawatir. Ia menyentuh nyeris seluruh anggota tubuh putra sulungnya dengan air mata yang menganak sungai di pipi yang sudah ditumbuhi keriputan itu. Ia ingin tahu kesakitan apa lagi yang dirasakan Shaquille pada tubuhnya. Ya, kendati ia tidak bisa memindahkan rasa sakit milik si sulung ke tubuhnya sendiri.

Shaquille menghela napas panjang yang kemudian sukses menarik lebih banyak rasa sakit di dadanya. Namun, sebisa dan sekuat mungkin ia tahan. Lalu, ia mengangkat pandangan dan menatap sosok pria dengan kemeja biru muda yang masih berdiri tak jauh dari posisinya dan hanya menatap diam saja. Tidak ada pergerakan dari pria itu. Seakan yang terjadi pada Shaquille hanyalah kejadian yang hanya patut dijadikan tontotan saja.

Tidak! Tidak begitu kenyataannya. Pria yang tak lain adalah Marris—ayah tiri Shaquille—hanya mengikuti keinginan dan permintaan Shaquille. Ya, Shaquille seringkali meminta pada Marris untuk tidak langsung mendekatinya ketika anfal. Shaquille tidak ingin terlihat menjadi laki-laki lemah di hadapan ayahnya. Meskipun Shaquille sendiri tahu bahwa ia memang lemah. Dan Shaquille akan meminta Marris mendekat ketika ia sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya.

Seperti saat ini, misalnya. Shaquille hanya menganggukkan kepalanya sangat pelan dan pejaman mata singkat. Seakan memberi pertanda kepada Marris untuk mendekatinya. Lalu, pria itu langsung dengan sigap melangkah mendekat dan berdiri tepat di sampingnya. Detik berikutnya, Shaquille bisa merasakan sendiri bagaimana tangan Marris menyentuh bagian anggota tubuhnya yang begitu mengganggu sebab rasa sakit yang terus menerus menyerang. Ya, setiap detakan hanya menimbulkan kesakitan saja di dadanya.

“Sejak kapan?” tanya Marris.

“Barusan, Yah.”

Bukan Shaquille yang dengan cepat menjawab pertanyaan Marris. Namun, justru Jevano yang menjawab. Jevano menatap ayahnya dengan tatapan seperti meminta tolong untuk segera menangani Shaquille. Ya, Jevano adalah tipekal anak yang sangat menyayangi saudaranya. Sesekali berdebat dengan Shaquille itu hal biasa. Namun, pada dasarnya ia dan Shaquille adalah dua bersaudara yang begitu dekat satu sama lain. Mereka bahkan lebih terlihat seperti teman.

Marris mengulum senyum tipisnya melihat tatapan laki-laki buah pernikahannya dengan Karina. Ia seakan memberikan jawaban bahwa tidak ada hal serius yang terjadi dengan Shaquille. Selalu saja begitu cara Marris menyikapi kekhawatiran, kesedihan, serta ketakutan anak dan istrinya. Marris akan menunjukkan wajah tenangnya. Walau kenyataannya perasaan yang ia rasakan tidak lebih baik dari Karina dan Jevano. Bohong jika Marris katakan tidak khawatir dan takut dengan kondisi yang sering menimpa Shaquille. Ia bahkan jauh lebih takut dari siapapun. Meskipun tidak ada darah yang sama yang mengalir di tubuhnya dan Shaquille, tetapi tidak membuat rasa sayang Marris berbeda antara Shaquille dan Jevano. Ia menyayangi Shaquille dengan sepenuh hati sebagai seorang ayah. Ketakutannya timbul atas dasar takutnya kehilangan seorang anak. Sedang di sisi lain, Marris juga takut kehilangan Shaquille karena ia sendiri yang menangani kasus putranya itu.

“Mau ke rumah sakit, nggak?”

Tentu saja Shaquille langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. Rumah sakit adalah salah satu bangunan yang ruangannya selalu membuat Shaquille malas. Sejak usianya enam belas tahun dan sejak itu ia divonis mengalami kelainan jantung, maka sejak itu juga rumah sakit seakan menjadi rumah kedua bagi Shaquille. Harusnya ia terbiasa berada di tempat yang menjadi rumah keduanya itu. Sayangnya, itu terjadi dengannya. Shaquille justru merasakan sebaliknya. Malas yang teramat. Sebab, berada di rumah sakit benar-benar membosankan. Tidak ada yang bisa Shaquille lakukan selain berbaring di atas ranjang pesakitan yang tipis dan sukses membuatnya tubuhnya terasa pegal.

“Mas, ke rumah sakit aja, ya. Mama takut Mas kenapa-napa,” ujar Karina seraya mengelus pundak putra sulungnya. Karina tidak memaksa, tetapi ia hanya meminta sebab ketakutan yang luar biasa. Ya, lagi pula ibu mana yang tidak khawatir jika buah hatinya sakit?

“Ma, jangan berlebihan kayak gitu bisa nggak sih?” ucap Shaquille dengan nada ketus. Begitulah Shaquille Agha Damaresh. Ketika jantungnya kembali berulah, maka kondisi emosinya pun ikut terpengaruh. Ia akan lebih cepat terpancing amarahnya dan bicara dengan ketus. Bahkan, tak ayal ia akan memberontak dengan keras atas sikap Karina yang baginya sangat berlebihan. Ya, sikap Karina selalu membuatnya merasa menjadi manusia paling lemah di dunia. Seakan ia sudah tidak bisa melakukan apa pun lagi selain merepotkan dan menyusahkan orang lain.

“Aku nggak bakalan mati cuma gara-gara sakit kayak gini aja, Ma!” sambung Shaquille dengan nada yang sudah naik beberapa oktaf.

“Mas, bukan begitu maksud Mama, Nak. Tap—”

Shaquille mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan sukses menghentikan ucapan Karina secara paksa. Ia kemudian mencoba memaksa tubuhnya yang kembali berulah dan rewel untuk bangkit dari tempat duduknya. Setelah itu, Shaquille bergerak dengan langkah tertatih meninggalkan semua orang yang ada di ruangan itu. Sampai terdengar suara Jevano yang menggelegar dan berhasil membuat tungkai milik Shaquille terhenti.

“Lo bisa nggak sih nggak usah ngegas gitu ngomongnya? Mama cuma khawatir sama lo!”

Sepasang mata milik Shaquille terpejam erat. Selain karena rasa sakit yang semakin menjadi-jadi, emosinya juga kembali terpancing oleh ucapan Jevano. Tangannya yang masih bergerak normal terkepal erat sampai buku-buku jemarinya tampak memutih. Kentara sekali jika Shaquille benar-benar marah sekarang.

“Lo nggak tahu ‘kan gimana khawatirnya orang-orang dengan kondisi lo, Mas?” ucap Jevano lagi. “Jadi, lo nggak usah keras kayak gitu dong.”

Sia-sia sudah usaha Shaquille menahan diri. Ia kemudian membalik badan dan menatap tajam ke arah Jevano yang juga tengah menatapnya dengan serius. “Lo juga nggak tahu ‘kan gimana rasanya diperlakukan kayak orang yang nggak bisa ngapa-ngapain? Lo enak nggak dipandang lemah sama orang lain. Lo enak bisa ngelakuin apa aja yang lo suka. Gue?” Shaquille tertawa miris. “Banyak aturan yang harus gue jalanin, Dek. Banyak mimpi yang terpaksa gue kubur dalam-dalam. Dan lo nggak tahu ‘kan gimana rasanya.”

Hening.

“Jadi, tolong. Ma, Yah, Dek, jangan tunjukkan sikap seperti memperjelas kelemahan Mas. Mas cuma minta itu aja,” ucap Shaquille dengan nada yang terdengar semakin pelan dan lemah. Sedang dadanya begitu jelas naik turun tak beraturan dan cepat sekali. Begitu juga dengan deru napas yang semakin terdengar memburu serta keringat yang mulai bercucuran.

Shaquille sadar akan kondisinya saat ini. Tatapannya kemudian beralih pada Marris yang terdiam dengan wajah datar, tetapi tatapan pria itu begitu lekat pada Shaquille. Seakan Marris mewanti-wanti kejadian terburuk yang akan terjadi pada anak itu. “A-yah,” panggil Shaquille dengan suara terputus dan napas tercekat. Lalu detik berikutnya, tubuh Shaquille mendadak limbung dan berhasil menubruk dinding sebab ia tidak bisa berpegangan karena tangannya kirinya yang masih tidak bisa digerakkan.

“Mas!” Suara Karina dan Jevano terdengar bersamaan. Sedang Marris langsung bergerak cepat mendekat.

Marris langsung meraih tubuh Shaquille yang perlahan merosot ke lantai. Lalu, ia tepuk pipi anak itu dengan pelan untuk mempertahankan kesadaran Shaquille. “Mas, masih dengar suara Ayah, Nak?”

Tak terdengar suara Shaquille. Yang terdengar hanya deru napas yang diiringi bunyi “ngik” di antara setiap tarikan napas laki-laki itu. Ia membuka mata dan menatap wajah Marris yang sedang berusaha untuk tetap tenang. Lalu, Shaquille menggerakkan bibirnya yang sudah seputih dinding rumah sakit. “Sa-kit, Yah. Sa-kit ba-nget,” ucapnya tanpa suara. Tak tahu jika Marris paham maksudnya atau tidak. Sebab, untuk mengeluarkan suaranya saja sudah terasa sangat sulit dan begitu menyakiti dirinya sendiri. Sampai akhirnya, air mata itu mulai merembes di pipi dengan rahang tingginya.

“Ambil tas kerja Ayah, Dek!” perintah Marris pada Jevano dan langsung dipatuhi oleh si bungsu itu. Sementara menunggu Jevano, Marris terus berusaha untuk membuat Shaquille tidak kehilangan kesadarannya. Ia juga meraih tangan kiri Shaquille yang terkulai di lantai dingin. “Nggak bisa digerakin?”

Hanya anggukan kepala yang bisa Shaquille lakukan untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

Lalu, bagaimana dengan Karina?

Wanita itu sudah tidak bisa berkata-kata. Karina hanya bisa menangisi kondisi putra sulungnya. Sakit hati Karina melihat anak yang sangat ia sayangi menderita seperti saat ini. Rasanya ingin sekali Karina menggantikan posisi Shaquille. Sebab, mendengar rintihan Shaquille selalu membuat Karina sedih. Apakah ia sudah gagal menjadi seorang ibu?

“Yah, ca-pek,” rintih Shaquille. Jika sudah begitu, artinya Shaquille sudah berada di titik terlemah. Artinya, ia sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang menyerbunya. Dan seisi rumah itu tahu akan hal itu.

“Iya. Kalau Mas capek, Mas boleh istirahat, ya, Nak,” ucap Marris seraya berusaha mengulum senyumnya untuk menenangkan. “Mas nggak boleh nyerah. Bantu Ayah, ya.”

Shaquille meraih tangan Marris dan menggenggamnya dengan sangat erat. Lalu, setelah itu ia mengerang sekeras yang ia bisa. “Akh! Sakit, Ayah. Sakit.”

Karina yang tidak kuasa melihat kondisi Shaquille pun air matanya semakin deras keluar. Ia meraih tubuh putranya dan memeluknya erat. Namun, yang Karina rasakan adalah tubuh Shaquille yang menggeliat diiringi erangan yang semakin menjadi-jadi saja. “Mas, maafin Mama karena nggak bisa ngurangin rasa sakit yang Mas rasakan.”

“Ma, sakit banget. Bunuh saja Mas, Ma. Mas nggak kuat lagi.”

Karina melepas pelukannya. Lalu, ia tangkup wajah si sulung. “Nggak. Mas kuat, Sayang. Mas hebat.”

“Sakit, Ma,” lirih Shaquille untuk yang terakhir kali sebelum kelopak mata basahnya benar-benar tertutup dengan sempurna. Dan tidak ada lagi terdengar rintihan, deru napas, bahkan tak lagi ada dada yang naik turun dengan cepat. Juga … tak terasa lagi detakan di dada Shaquille.

“Mas!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!