Chapter 3

Shaquille berpindah dari stand yang satu menuju stand yang lain untuk melihat keberlangsungan acara bazaar yang diadakan. Senyumnya yang manis dan selalu sukses membuat kaum hawa terpesona terbit dengan begitu apik. Ia cukup puas dengan bazaar di hari pertama. Meskipun acara ini benar-benar menyita waktu, pikiran, dan tenaganya. Ia bahkan sempat lupa dengan makan siangnya jika tidak ada Mayyesa yang mengingatkan. Ya, memang begitulah Shaquille jika sudah mengerjakan sesuatu. Laki-laki itu sering lupa bahkan untuk melakukan sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan sebab akan mempengaruhi kondisi tubuhnya yang kadang rewel dan menuntut untuk beristirahat di rumah dalam waktu berhari-hari lamanya. Lebih parah akan menjebaknya berada di rumah sakit.

“Bagaimana? Aman, nggak?” tanya Shaquille ketika ia berdiri di depan stand yang isinya deretan buku-buku pada seorang perempuan dengan rambut pendek yang berjaga di sana.

Perempuan yang biasa disapa Adisti dan merupakan adik tingkat Shaquille itu menganggukkan kepala dengan senyum lebar serta acungan ibu jari. “Aman, Kak. Tadi saja sempat kewalahan, karena banyak yang berkunjung ke sini,” jawab Adisti dengan nada gembira.

“Syukurlah. Kalau mau gantian, bilang saja, ya. Biar digantiin sama yang lain,” ucap Shaquille memberikan perhatian terhadap Adisti. Tidak hanya pada Adisti, Shaquille bersikap demikian. Namun, pada semua teman-teman organisasinya. Ia selalu memperhatikan kondisi mereka agar tidak terganggu. Kendati, ia sendiri kadang lupa dengan kondisinya sendiri. Di pikiran Shaquille adalah bagaimana ia menjaga keamanan dan kenyamanan anggota terlebih dulu. Sebab tanpa mereka, ia tidak bisa melakukan apa pun dan tidak bisa menjadi siapapun. Terlalu besar pengaruh para anggota terhadap posisinya sebagai seorang ketua.

Begitulah sosok Shaquille. Tidak hanya memiliki paras tampan dan otak yang cerdas. Namun, laki-laki itu juga memiliki sikap ramah dan perhatian. Lalu, siapa yang tidak terpesona dengan seorang Shaquille Agha Damaresh? Mungkin semua perempuan di dunia ini menginginkan laki-laki sepertinya yang begitu tampak sempurna secara kasat mata. Meski ada hal yang tidak banyak orang tahu tentang sosoknya yang asli. Dan Shaquille juga tidak butuh orang lain tahu tentang dirinya yang lain. Cukuplah orang tahu tentang apa yang terlihat, bukan apa yang tersembunyi di balik senyum dan keceriaan yang ia tunjukkan selama ini. Bagi Shaquille, tak semua hal tentang dirinya patut dipertontonkan. Sebab, tak semua orang juga memiliki rasa empati yang sama.

“Santai, Kak,” jawab Adisti. Lalu, ia memperhatikan wajah Shaquille yang tampak lelah dan sedikit pucat. “Kak, Kakak nggak apa-apa? Kok Kakak kelihatan pucat?” tanya Adisti kemudian. Tidak biasanya ia melihat raut wajah Shaquille seperti yang saat ini ia saksikan.

Shaquille mengulum senyum tipisnya. “Nggak apa-apa. Mungkin kecapekan aja,” jawab Shaquille. Ia tidak sepenuhnya berbohong pada Adisti. Shaquille cukup kelelahan dengan aktivitasnya sejak pagi tadi. Bahkan, ia tidak memiliki waktu istirahat karena pekerjaan yang harus ia selesaikan segera.

“Mending Kakak istirahat saja deh. Kan masih banyak yang lain yang jaga di sini,” ucap Adisti memberi saran. Tidak ada salahnya ‘kan memberi perhatian pada seniornya? Sama seperti Shaquille yang memberi perhatian terhadapnya dan juga pada yang lain. “Kakak sudah bekerja sejak pagi sampai sekarang,” sambung Adisti mengingatkan Shaquille dengan aktivitasnya hari ini. Dan semua orang tahu akan hal itu.

Laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Iya nanti bakalan istirahat kok. Aku lihat-lihat stand yang lain dulu, ya, Dis.”

Adisti hanya bisa menganggukkan kepala dan membiarkan Shaquille pergi dari hadapannya. Bohong jika ia tidak jatuh juga akan pesona seorang Shaquille. Akan tetapi, Adisti sadar diri dengan posisi dan dirinya sendiri. Dan ia hanya bisa memuja laki-laki itu hanya sebagai sosok pemimpin yang hebat dan pekerja keras. Lalu, hari ini Adisti bisa melihat kembali bagaimana Shaquille yang bekerja sangat keras untuk kelancaran acara bazaar. Mungkin acara terbesar menjelang turunnya jabatan Shaquille sebagai Ketua BEM, karena beberapa bulan lagi harus digantikan oleh mahasiswa lain.

Terlepas dari rasa lelah yang dirasakan Shaquille saat ini. Ada dentuman yang sesekali terasa di dalam dadanya. Dan itu cukup mengganggu sebenarnya. Hanya saja, melihat acara yang kini sedang berlangsung membuat Shaquille tidak bisa egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada tanggung jawab besar yang ia emban saat ini. Dan Shaquille tidak bisa meninggalkan lokasi bazaar begitu saja hanya karena ada yang memberontak di dalam dadanya. Lagi pula, Shaquille masih bisa menahan gejolak yang cukup mengganggunya itu. Lalu, ia akan istirahat nanti jika sudah waktunya. Ya, istirahat sama-sama dengan teman-temannya yang lain yang juga sudah bekerja keras demi kelangsungan bazaar kali ini.

“Quille!”

Panggilan itu berhasil menarik paksa Shaquille untuk menoleh ke belakang. Lalu, ia lihat Mayyesa dan Farrash berjalan dengan langkah lebar mendekat ke arahnya. Shaquille langsung berbalik. “Kenapa?” tanya Shaquille ketika dua manusia itu sudah berdiri di hadapannya.

“Gue butuh tanda ta … Eh, bentar deh, Quille,” ucap Mayyesa dan menatap Shaquille dengan alis yang saling bertautan menjadi satu. Ia menelisik setiap inci wajah ketuanya itu. “Lo pucat banget, Quille. Lo nggak apa-apa? Mending istirahat deh,” cecar Mayyesa setelah melihat dengan jelas wajah Shaquille yang sudah kehilangan rona. Juga dengan tatapan laki-laki itu yang mulai tampak sayu.

“Gue nggak apa-apa. Cuma kecapekan doang,” jawab Shaquille berusaha mengusir kekhawatiran yang dipertontonkan Mayyesa.

“Lo selalu bilang nggak apa-apa, Quille. Gue nggak mau, ya, lihat lo tumbang lagi gara-gara ngurusin acara ini,” ucap Farrash yang kini sudah berdiri di samping Shaquille seraya menyentuh pundak sahabatnya. Sebagai salah satu orang terdekat Shaquille, Farrash tentu saja paham bagaimana kondisi sebenarnya dari Shaquille. Dan Farrash tidak ingin hal buruk terjadi pada Shaquille hanya karena sibuk dengan urusan acara bazaar yang saat ini sedang berjalan sampai tiga hari ke depan. Meskipun Farrash sendiri tahu bagaimana keukeuhnya seorang Shaquille jika sudah menyangkut tanggung jawab.

“Benar, Quille. Mending lo istirahat deh. Nggak apa-apa bentaran doang,” ucap Mayyesa memberi saran.

Shaquille tidak bisa menolak lagi kali ini. Memang tubuhnya sudah tidak bisa lagi ia paksakan untuk bekerja dan kini sudah membutuhkan waktu untuk istirahat. Mungkin sejenak ia harus merebahkan tubuhnya untuk menenangkan detakan demi detakan yang muncul di dalam dadanya. Setelah itu, ia bisa kembali beraktivitas dengan normal. Itupun jika nanti tubuhnya tidak rewel lagi, karena terus ia paksakan beberapa hari terakhir ini. Ya, semoga saja. Sebab, masih banyak hal yang harus Shaquille selesaikan. Jadi, ia tidak bisa membiarkan tubuhnya tumbang, karena tentu saja akan mengganggu aktivitasnya nanti.

“Ya sudah gue izin istirahat sebentar, ya,” ujar Shaquille akhirnya. “Tapi, tadi lo mau ngapain, May?”

“Gue butuh tanda tangan lo untuk laporan,” jelas Mayyesa masih dengan ekspresi khawatirnya. Ia kemudian menyerahkan beberapa berkas yang harus ditanda tangani oleh Shaquille. “Ruang BEM kosong, Quille. Lo istirahat di sana aja,” ucap Mayyesa lagi.

Shaquille menganggukkan kepalanya paham.

“Mau gue temenin, nggak?” tawar Farrash yang juga takut-takut jika dalam perjalanan menuju ruang BEM, Shaquille akan tumbang. Karena, tidak ada yang tahu dengan kondisi Shaquille yang seringkali tiba-tiba tumbang. Apalagi sekarang yang sudah sangat kentara bagaimana raut wajah laki-laki itu. Shaquille yang ceria saja tidak menjamin akan membuat Shaquille baik-baik saja pada detik berikutnya.

“Nggak usah deh, Rash. Gue bisa sendiri kok. Lo di sini aja. Nanti kalau ada apa-apa langsung hubungin gue, ya,” ucap Shaquille bahkan dengan nada suara yang mulai lemas. Lalu, sesekali ia menarik napas dalam-dalam.

“Lo yakin?”

Shaquille hanya mengangguk. “Gue duluan, ya.”

Shaquille kemudian berlalu meninggalkan Farrash dan Mayyesa. Sedang dua manusia itu hanya bisa menatap kepergian Shaquille dengan perasaan khawatir.

“Mending lo susulin deh tuh si Shaquille, Rash. Gue takut dia bakalan kenapa-napa nanti,” ujar Mayyesa.

“Nggak, May. Kalau gue susulin, Shaquille pasti marah. Lo tau ‘kan kenapa?”

Mayyesa hanya bisa menghela napas panjang dan mengangguk mengiyakan.

˚˚˚˚˚

Shaquille masih memaksa sepasang tungkainya untuk terus bergerak menuju ruang BEM. Sesekali, ia harus mengulum senyum paksa ketika ada yang menyapanya. Meskipun ia tidak mengenal siapa orang tersebut. Akan tetapi, ia tidak bisa bersikap cuek dan abai begitu saja. Selain sudah menjadi sifat yang mendarah daging dalam dirinya, hal itu juga karena Shaquille tidak ingin dikatakan sombong sebab posisinya sebagai ketua dan orang nomor satu di kampus. Begitu keras usaha Shaquille untuk menjaga diri agar tidak terkesan buruk tidak hanya di hadapan dosen atau staf lainnya. Namun, juga di hadapan sesama mahasiswa.

Lorong yang mengarah menuju ruang BEM tampak tak seramai tempat lainnya di kawasan kampus. Hal itu cukup membuat Shaquille tidak lagi berpura-pura untuk tampak baik-baik saja. Di sana ia sudah menunjukkan rasa lelah dan sesak yang sudah sejak tadi menjejal. Ia berjalan dengan kepala tertunduk. Lalu, tangan kanannya sesekali mengelus dadanya dengan pelan. Sampai sesuatu terasa keras menubruk tubuhnya. Beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan diri hingga tak sampai terjatuh dan menyentuh lantai dengan sempurna.

Shaquille mengangkat pandangan untuk melihat siapa pemilik tubuh yang sudah menabraknya itu. Hingga tatapannya langsung beradu dengan sepasang bola mata dengan iris cokelat bersih. Sepasang bola mata milik seorang perempuan dengan rambut yang dikuncir satu dan bulu mata yang begitu lentik alami.

“Kamu.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!