Pagi-pagi sekali. Bahkan, matahari saja masih malu-malu menampakkan diri di ujung bumi. Namun, laki-laki berparas tampan dengan tubuh sedikit kurus itu sudah ke luar dari kamar mandi dengan rambut basahnya. Sisa-sisa air pun masih menempel di tubuhnya. Sesekali menghela napas panjang ketika rasa dingin mulai terasa di tubuh basah itu. Namun, tak urung membuatnya merasa lebih segar dari sebelumnya. Apalagi semalam ia sempat mendapatkan serangan begitu tiba-tiba. Ya, serangan yang seharusnya selalu ia wanti-wanti sebab kadang datang pada saat yang tidak tepat. Lebih parahnya lagi, datangnya kadang ketika ia sedang di tengah perjalanan dengan kondisi menyetir mobil sendiri. Hal itulah yang membuat laki-laki bernama Shaquille Agha Damaresh itu kadang merutuki kekurangan yang ia miliki.
Hoodie selalu menjadi pilihan nomor satu seorang Shaquille untuk digunakan membungkus tubuhnya yang kini ia sadari makin hari makin kehilangan bobot. Selain untuk menghalau kerasnya terpaan angin di luar, juga untuk melindungi tubuh ringkihnya agar tidak cepat tumbang. Ya, memang mengenakan hoodie juga membuat Shaquille merasa lebih percaya diri. Meski sesekali ia harus melepaskan dan diganti dengan almamater kampus kebanggaannya. Dan hoodie sepertinya sudah menjadi salah satu ciri khas seorang Shaquille. Di kampus, ia bahkan dikenal dengan laki-laki tampan ber-hoodie. Memang ada-ada saja ucapan orang-orang di luar sana.
Sudah merasa cukup dengan penampilannya, Shaquille bergegas ke luar kamar dan akan turun ke ruang makan di lantai dasar rumah yang menjadi saksi tumbuh kembang serta suka duka hidup yang ia jalani sejauh ini. Untuk menjaga ritme yang kini berdetak konstan di dalam dadanya. Shaquille melangkahkan kaki menuruni setiap anak tangga dengan pelan. Ia tidak ingin jika ketergesa-gesaannya nanti akan berakibat pada detakan yang akan berubah menjadi dentuman menyakitkan di dalam dadanya. Sudah cukup semalam ia merasakan sakit yang sakitnya bahkan berkali-kali lipat dari biasanya. Tidak ingin lagi Shaquille merasakan hal serupa pagi ini dan akan mengganggu aktivitasnya hari ini.
“Pagi,” sapa Shaquille saat tiba di ruang makan. Ia langsung mendaratkan bokong pada kursi di ruangan itu. Ditatapnya satu per satu anggota keluarganya yang entah kenapa terlihat aneh pagi ini. Mereka menatap Shaquille dengan tatapan yang laki-laki itu sendiri tidak tahu apa maknanya. “Pada kenapa sih natapnya kayak gitu banget?” tanya Shaquille dengan tangan yang langsung bergerak mengambil selembar roti dan mengoleskan selai cokelat di atasnya.
Seisi ruangan itu langsung mengalihkan pandangan. Namun, tidak dengan Marris. Pria itu masih menatap lekat si sulung yang mulutnya sudah penuh dengan gigitan roti berlapis selai cokelat. Ia menghela napas sebelum angkat suara. “Mau ke mana, Mas, pagi-pagi sudah rapi kayak gini?” tanya Marris yang bahkan sudah meninggalkan sisa sarapan di atas piring.
Shaquille menatap aneh ayahnya. Bisa-bisanya Marris bertanya demikian. Padahal, Marris pasti tahu ke mana ia akan pergi. “Kenapa Ayah nanyanya kok gitu?” tanya Shaquille balik setelah menelan sarapannya. “Memangnya Mas mau ke mana lagi kalau bukan ke kampus?” sambung Shaquille, lalu menggigit lagi roti di tangannya.
“Yakin mau ke kampus?”
Shaquille mengangguk cepat.
“Kamu lupa, Mas, semalam kenapa?” Marris mencoba mengingatkan kembali kejadian semalam. Dengan begitu, ia berharap Shaquille akan mengurungkan niatnya untuk pergi ke kampus dan berdiam diri di rumah untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Shaquille tentu tidak lupa tentang apa yang terjadi dengannya semalam. Namun, sekarang ia sudah benar-benar merasa lebih baik. “Mas sudah nggak apa-apa kok, Yah. Sudah lebih baik,” jawab Shaquille dengan nada suara penuh keyakinan. Ya, memang apa yang dikatakan Shaquille tidak bohong juga. Shaquille tahu dan merasakan sendiri bagaimana tubuhnya. Dan saat ini, Shaquille merasa tidak ada apa-apa yang terjadi. Semua baik-baik saja. Normal-normal saja.
Marris sudah kehilangan kata-kata. Ia hanya mengedikkan bahunya dan melanjutkan sarapan.
“Memangnya harus banget ke kampus, Mas? Mending istirahat saja dulu di rumah.”
Kali ini, Karina yang angkat suara pada si sulung. Seperti Marris, Karina juga tentu sangat mengkhawatirkan kondisi Shaquille. Ia akan mencoba untuk membujuk Shaquille kali ini. Meskipun ia sendiri ragu. Sebab, jika Marris saja gagal membuat Shaquille diam di rumah. Bagaimana dengannya? Memang susah bicara dengan Shaquille jika anak itu sudah keukeuh. Persis seperti ayahnya.
Laki-laki dalam balutan hoodie itu menghela napas panjang. Ucapan Karina berhasil menghancurkan nafsu makannya. Sisa roti itu letakkan kembali di atas piring. “Ma, nggak bisa, ya, kalau Mama percaya sama Mas? Mas tahu kok sampai mana kemampuan Mas.”
Karina terdiam dan hanya bisa menghela napas panjang. Ia bisa membaca bahwa anaknya itu kini sudah berada di luar kendali. “Bukannya Mama nggak percaya, Mas. Tapi, ingat dong semalam kamu anfal lagi. Harusnya kamu pikirin kondisi kamu. Mama nggak ngelarang kamu mau ngapain saja. Cuma Mama minta kamu nggak lupa sama kondisimu. Itu saja, Nak,” ujar Karina dengan nada suara yang lembut. Berharap Shaquille bisa luluh kembali.
“Nggak ngelarang? Terus ini maksudnya apa, Ma, kalau bukan ngelarang?” Nada suara Shaquille naik beberapa oktaf.
Jevano yang sejak tadi hanya memilih diam pun mulai angkat suara. Ia tidak suka mendengar suara keras Shaquille. Apalagi kakaknya itu tengah bicara dengan orang tuanya. “Lo ini dikasih tahu. Bukan dilarang. Nggak bisa apa bedain?” Jevano menatap kesal ke arah Shaquille.
“Diam lo!”
“Lo itu nyolot banget sih, Mas. Kalau lo kenapa-napa yang susah juga siapa? Ayah sama Mama.”
“Ya memang gue nyusahin orangnya. Nggak kayak lo yang selalu ngebanggain.”
“Shaquille, Jevano, cukup!” tegur Marris mencoba menengahi. “Jevano tunggu Ayah di mobil.”
Setelah kepergian Jevano. Marris menatap Shaquille yang masih duduk dengan wajah kesalnya. “Ya sudah. Kamu boleh ke kampus. Tapi, kamu harus janji tetap baik-baik saja,” ujar Marris dengan nada lembutnya. Memang saat seperti ini, Shaquille tidak bisa diajak bicara keras. Bisa-bisa anak itu akan memberontak lebih parah dari sebelumnya.
“Iya, Yah. Mas berangkat dulu.”
“Yah, kenapa sih biarin Shaquille pergi?” ucap Karina setelah yang tersisa hanya dirinya dan Marris di meja makan.
“Memangnya kalau dilarang, Shaquille mau dengar, Ma? Nggak. Mama tahu sendiri Shaquille kayak gimana.”
“Iya. Persis seperti papanya.”
“Ma, jangan bicara kayak gitu. Ayah nggak suka. Bagaimana nanti kalau Shaquille dengar?”
Karian menghela napas kasar.
“Sudah, Ma. Jangan khawatir. Shaquille tahu kok sampai mana batas kemampuan tubuhnya. Percaya deh sama Shaquille. Dia anak kuat, Ma,” ujar Marris. Padahal, ia sendiri tidak bisa untuk tidak khawatir pada Shaquille. Ya, Marris tahu bagaimana kondisi anaknya saat ini.
Marris selalu bisa membuat Karina tenang dengan kalimatnya. “Terima kasih, Yah, sudah selalu ada untuk Mama dan anak-anak.”
“Sudah menjadi kewajiban Ayah kan, Ma.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments