Chapter 13

Entah sudah berapa ratus menit yang dihabiskan oleh laki-laki pemilik surai hitam pekat itu untuk duduk di depan laptop. Setelah ia menyelesaikan rutinitas makan malamnya, ia langsung memilih duduk di meja belajar. Bahkan, ia sampai lupa apa yang dikatakan sang ibu padanya sebelum meninggalkan ruang makan. Bagaimana tidak? Laptop yang ia tinggalkan dalam kondisi masih menyala itu lebih menyita perhatiannya dibanding apa pun. Apalagi melihat deretan huruf yang tersusun rapi di layar membuat laki-laki yang biasa disapa Shaquille langsung membawa sepasang tungkainya ke sana. Lantas, mendaratkan bokong dan memfokuskan diri sepenuhnya. Tugas kuliah dan organisasinya benar-benar seperti memberontak untuk segera diselesaikan.

Shaquille menggerakkan tubuhnya dengan pelan dan mencoba untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Itu Shaquille lakukan setelah merasakan ada yang mulai tidak beres di dalam dadanya. Pasokan udara yang semula normal perlahan menipis. Hal itu memaksa Shaquille untuk membuka mulut lebih lebar untuk mencuri pasokan udara lebih banyak ke dalam paru-parunya. Posisinya yang duduk dengan tegak pun harus diubah menjadi kepalanya terangkat sedikit. Barangkali dengan begitu laju pernapasan Shaquille akan lebih lancar dan tidak tersendat. Beberapa saat Shaquille terpaku dengan posisi yang sama. Sayangnya, tidak ada yang berubah. Dadanya bukan terasa melega, justru terasa semakin sesak. Belum lagi dengan rasa nyeri yang tiba-tiba ikut hadir. Sial.

Apa yang tengah Shaquille rasakan membuat laki-laki itu terpaksa meringis tertahan. Ia melirik angka-angka yang menunjukkan jam di pojok kanan bawah layar laptopnya. Sudah lebih dari pukul dua belas malam. Dan Shaquille baru ingat bahwa ia meninggalkan salah satu rutinitas wajibnya setiap malam. Adalah mengonsumsi beberapa butiran kecil, tetapi ajaib itu. Bolehkah Shaquille merutuki kebodohannya kali ini? Sebab, apa yang ia lakukan itu kini berakibat pada sumber detak kehidupannya menjadi memberontak. Jika sudah begini, mengonsumsi obat pun tidak akan bisa mengalahkan rasa sakit di dalam sana. Susah untuk menghentikan detak-detak yang menyakitkan itu.

Dengan langkah tertatih, Shaquille bergerak menuju meja di samping tempat tidurnya. Sebuah tempat yang ia gunakan untuk menyimpan benda-benda penting yang akan membantunya jika sudah dalam kondisi anfal seperti ini. Namun, jarak yang Shaquille tempuh rasanya begitu jauh. Sedang dadanya makin tidak tertahankan sakitnya.

“Ssshh! Astaga sakit sekali,” rintih Shaquille seraya menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Tak peduli jika apa yang ia lakukan nantinya akan menyebabkan bibir merah mudanya terluka dan mengeluarkan darah. Ia hanya ingin mengurangi rasa sakit di dalam dadanya yang benar-benar menyiksa. Sungguh, makin hari rasa sakit yang Shaquille rasakan semakin tidak tertahan. Sakit semakin luar biasa. Apakah itu artinya kondisi jantung Shaquille semakin memburuk?

Tanpa bantuan air Shaquille menelan obat-obatnya. Pahit. Namun, Shaquille tidak peduli. Ia mendaratkan tubuhnya dengan kasar di atas tempat tidur untuk menunggu reaksi dari benda-benda ajaib itu di dalam dadanya. Shaquille memejamkan mata seraya mengelus lembut dadanya yang berdetak dengan sangat cepat. Sesekali ia meringis lagi ketika dentuman demi dentuman itu terasa.

Nyaris lima belas menit, tidak ada yang berubah dari apa yang dirasakan Shaquille. Sakit itu tak juga kunjung mereda. Bahkan, semakin luar biasa. “Kenapa sakit banget sih? Padahal, sudah minum obat,” lirih Shaquille dengan wajah sudah sangat pucat sepucat kapas.

Tak tahan dengan apa yang dirasakan. Shaquille memaksa tubuhnya yang sudah basah karena keringat yang juga ikut bercucuran itu untuk bangkit. Diraihnya benda pipih yang masih tersambung dengan kabel charger di atas meja. Ia men-scroll layar ponselnya dan mencari sebuah kontak yang akan ia hubungi. Sayangnya, tidak mudah untuk melakukannya dalam kondisi anfal seperti ini. Pandangan Shaquille ikut memburam. Kepalanya juga terasa pening. Benar-benar tidak ada yang bisa diajak kompromi. Rasanya ingin sekali Shaquille merutuki keadaan yang ia hadapi saat ini. Namun, melakukannya pun tidak akan membuat Shaquille merasa lebih baik. Sia-sia saja tentunya.

Setelah berusaha sekuat tenaga. Shaquille akhirnya menemukan sebuah nama kontak yang ia cari dan langsung menghubunginya. Kali ini, Dewi Fortuna tengah berpihak pada Shaquille. Panggilan teleponnya langsung tersambung. “A-yah,” panggil Shaquille dengan suara terbata dan ringisan yang langsung lolos seketika. Setelah itu, ponsel Shaquille langsung terjatuh dari genggaman. Ringisan itu sudah tak lagi terdengar. Namun, berganti menjadi erangan kuat yang mengisi kamarnya. Menggema dan memekakkan telinga.

“Argh! Sa-kit,” rintih Shaquille sendiri. Dalam hati ia berharap semoga pintu kamarnya segera terbuka dan menampilkan Marris atau siapa saja yang akan membantunya nanti. Saat ini ia sudah kalah oleh rasa sakitnya. Tenaganya sudah dikuras habis. Shaquille kesakitan. Shaquille kalah dan menyerah.

Brak!

Suara pintu terdengar terbuka dengan keras dan paksa. Suara itu membuat Shaquille langsung menoleh dengan sisa tenaganya. Penglihatan yang buram membuat Shaquille tidak begitu jelas melihat siapa yang datang. Namun, ia tahu datang dua orang dari balik pintu kamarnya. Dan suara melengking Karina yang menyerukan namanya menelusup ke dalam indra pendengaran.

“Shaquille!”

Ada senyum yang dipaksa ulum di balik rasa sakit yang begitu hebat. Shaquille bersyukur Tuhan mengirimkan Karina dan Marris dalam waktu yang begitu cepat.

“Mas, masih dengar suara Ayah, Nak?” tanya Marris seraya menyentuh bagian dada Shaquille. Ia melihat bagaimana si sulung mengangukkan kepala. “Jangan tutup mata. Tolong bertahan,” pinta Marris dan langsung memeriksa kondisi Shaquille.

“Sesak?”

Shaquille hanya bisa menganggukkan kepala.

Marris dengan cepat bergerak. Ia juga memberikan isyarat pada Karina untuk mengambil tabung oksigen di sudut kamar Shaquille. Sengaja Marris menyiapkan benda itu untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu Shaquille akan anfal seperti. Dengan sangat telaten dan tenang, Marris melakukan tugasnya sebagai seorang dokter. Kendati sebenarnya Marris tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkan kondisi Shaquille. “Sudah cukup? Atau mau ditambah lagi literannya?”

“Cukup,” jawab Shaquille dengan nada suara yang nyaris tak terdengar.

“Kenapa sih, Mas, bisa kayak gini?” tanya Karina setelah melihat kondisi Shaquille yang sudah lebih baik dari sebelumnya.

“Ma, biarkan Shaquille istirahat dulu,” tegur Marris yang membuat Karina terpaksa diam. Lalu, Marris menatap lekat Shaquille yang menatapnya dengan tatapan sayu.

“Shaquille sudah nggak apa-apa. Mama ke kamar duluan saja. Istirahat,” ujar Marris lagi. Ia melihat Karina dengan tatapan memohon dan langsung dibalas anggukan oleh Karina. Meski terlihat di wajah Karina adalah keterpaksaan.

“Mama ke kamar dulu, ya, Mas. Lekas sembuh,” ucap Karina dan mendaratkan kecupan di kening Shaquille.

Hening. Marris dan Shaquille hanya saling menatap satu sama lain.

“Lupa, ya, Ayah bilang apa?”

“Maaf.” Hanya kata “maaf” yang bisa Shaquille ucapkan.

“Kali ini kamu melakukan dua kesalahan sekaligus, Mas,” ucap Marris dengan nada serius. “Pertama, kamu terlalu memforsir diri dan kecapekan. Kedua, kamu pasti terlambat minum obat.”

Benar. Benar sekali.

“Sekeras apa pun Ayah berusaha untuk membantumu sembuh. Itu tidak akan bisa, Mas, selama kamu sendiri tidak sadar dengan kondisimu dan terus memaksa diri. Ayah cuma minta sama kamu, tolong bantu Ayah dengan menjaga diri. Itu saja. Sisanya serahkan sama Ayah. Biar Ayah yang berusaha untuk mencarikan donor untuk kamu.” Nada suara Marris terdengar sedih. Melihat Shaquille dengan kondisi anfal seperti ini selalu berhasil membuat Marris merasa gagal dan tidak becus menjadi seorang dokter.

“Maafin Mas, Yah. Mas salah.”

Marris menghela napas panjang. Ia tidak bisa memarahi Shaquille. “Ya sudah lain kali tolong jangan diulangi, ya, Nak.”

Shaquille menganggukkan kepala. “Maafin Mas sudah merepotkan Ayah terus menerus. Terima kasih sudah menyayangi dan menjaga Mas sampai saat ini,” ucap Shaquille dengan nada serius, tetapi tulus.

“Jangan bicara seperti itu. Sudah menjadi tugas Ayah untuk melakukan semua ini. Tidak hanya sebagai seorang ayah, tapi juga sebagai seorang dokter.”

Shaquille tersenyum. Ia merasa sangat beruntung menjadi bagian dari hidup Marris. Setulus itu kasih sayang Marris padanya. Bahkan, dari Marris ia tidak pernah merasa kekurangan apa pun. Marris selalu berusaha memberikan apa yang ia butuhkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!