“Pagi, Ma, Yah,” sapa seorang laki-laki dengan kemeja panjang yang lengannya digulung sebatas siku serta dipadukan dengan jins berwarna hitam. Laki-laki itu kemudian duduk pada kursi yang selalu diduduki ketika berada di ruang makan. Ia meraih selembar roti di atas meja dan mengolesnya dengan selai cokelat favoritnya.
“Lo nggak mau ngucapin selamat pagi juga sama gue, Mas?”
Laki-laki yang hendak memasukkan roti ke dalam mulutnya itu mengurung niatnya. Ia menoleh ke samping di mana seorang anak laki-laki lengkap dengan seragam putih abunya duduk dengan wajah yang ditekuk. Hal itu membuat laki-laki yang biasa dipanggil Shaquille itu mengerutkan kening. Tidak habis pikir jika adiknya itu akan cemberut hanya karena ia tidak mengucapkan selamat pagi padanya. Lalu, detik berikutnya Shaquille terkekeh kecil. Tangan kirinya lalu mengacak rambut rapi milik adiknya yang bernama Jevano Shamir. “Masih pagi. Jangan cemberut kayak gitu. Mending habisin sarapannya terus berangkat sekolah.”
Embusan napas kesal Jevano terdengar. Hal itu membuat seisi ruangan harus menahan tawa agar tidak terdengar. Sebab, jika tawa itu terdengar, Jevano pasti akan merajuk. Ya, si bungsu itu memang begitu manja di hadapan orang tua dan kakaknya. Bahkan, ia tidak sungkan untuk merengek. Terlebih lagi pada Shaquille. Jevano sangatlah dekat dengan kakak semata wayangnya itu. Meski perbedaan umur mereka sampai lima tahun. Namun, Shaquille dan Jevano lebih cocok dikatakan seperti teman, bukan saudara. Mereka sering bermain bersama, berbagi cerita, dan melakukan hal-hal random lainnya berdua.
“Tapi, lo yang harus ngantar gue sekolah.”
Lagi-lagi Shaquille menoleh. Adiknya memang bocah meskipun sudah menginjak usia di angka enam belas. Manjanya berlebihan jika bersama Shaquille.
“Berangkat sama Ayah, Dek,” ujar Karina—sang ibu. “Mas ada kuliah pagi. Sekolahmu sama kampus Mas kan berlawanan arah,” sambung Karina memberi penjelasan. Barangkali dengan begitu si bungsu akan paham dan tidak memaksa Shaquille untuk mengantarnya ke sekolah pagi ini. Kasihan juga Karina pada putra sulungnya jika harus bolak-balik. Apalagi dengan kondisi si sulung yang jelas berbeda dengan manusia lain pada umumnya. Memiliki keistimewaan yang tak banyak orang tahu membuat Karina begitu awas terhadap Shaquille. Namun, ia tidak membedakan kasih sayang terhadap kedua putranya. Sehingga di antara mereka tidak timbul rasa cemburu terhadap satu sama lain.
Jevano mengangkat pandangan dan menatap ibunya dengan tatapan malas. “Nggak. Maunya diantar Mas,” ucapnya dan kembali menyantap sarapannya yang masih tersisa di atas piring. Jevano seakan tidak peduli dengan ucapan Karina. Begitulah Jevano jika sudah menginginkan sesuatu. Selalu keukeuh dengan keinginannya. Dan seisi rumah itu tahu dan hafal sikap si bungsu.
“Dek, ….”
“Nggak apa-apa, Yah. Biar Mas yang ngantar Adek nanti,” ucap Shaquille cepat memotong ucapan ayahnya—Marris. Ia paling tidak bisa melihat adiknya merajuk. Maka, selama ia bisa memenuhi permintaan Jevano, ia pasti akan memenuhinya. Meski terkadang ia sedikit kewalahan dengan permintaan-permintaan yang terkesan aneh dari Jevano. Ya, sebagai seorang kakak, Shaquille paham akan tanggung jawabnya terhadap sang adik. Bahwa, ia memiliki kewajiban untuk menyenangkan dan membahagiakan adiknya. Kendati pada hal-hal tertentu juga Shaquille tetap tegas pada Jevano. Dan beruntungnya juga Jevano tidak pernah melawan apa yang ia katakan. Jevano selalu mendengarnya dan patuh akan apa yang ia ucapkan.
Shaquille menoleh ke samping sekali lagi. Lalu, ia menangkap senyum penuh kemenangan adiknya dan sukses membuatnya menggelengkan kepala. “Cepat habiskan sarapannya. Kalau lama, gue tinggal,” ucap Shaquille memberi ultimatum. Dan yang Shaquille dapatkan hanyalah acungan jempol Jevano.
˚˚˚˚˚
“Mas,” panggil Jevano dan berhasil mengalihkan fokus Shaquille yang tengah menyetir. “Kemarin gue ketemu sama cewek di sekolah. Cantik banget tahu, nggak.”
Refleks tangan Shaquille yang terbebas dari setir mobil mendarat di kepala Jevano. “Dasar bocah! Sekolah fokus belajar. Bukan malah lihatin cewek. Lo mau gue aduin Ayah sama Mama kalau ternyata lo belajar nggak benar?” ancam Shaquille pada adiknya.
“Gue belajar yang benar kok, Mas. Tapi, kali ini gue nggak bohong. Tuh cewek cantik banget.”
“Jevano Andreas Shamir,” ucap Shaquille menyebutkan nama lengkap adiknya dengan penekanan kuat. Artinya, ia tidak suka dengan pembahasan yang dibawa oleh Jevano menjadi topik. Baginya, masih terlalu dini untuk Jevano membahas perihal perempuan. Bahkan, ia sendiri yang sebentar lagi menginjak usia di angka dua puluh satu tahun belum memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan perempuan dan perasaan. Shaquille masih ingin memfokuskan diri untuk pendidikan dan cita-citanya. Ia ingin fokus pada hal-hal yang lebih penting dari sekadar menjalin hubungan asmara dengan perempuan mana pun juga.
Jevano yang keras kepala. Meskipun Shaquille sudah memberikan ultimatum padanya, ia masih saja keukeuh memuji kecantikan seorang perempuan yang ia lihat kemarin sesampai di sekolah. “Tuh cewek kayaknya cocok deh sama lo, Mas. Lo kan ganteng nih, terus tuh cewek cantiknya nggak ketulungan. Kalau lo nikah sama dia, keturunan lo bakalan perfect deh.”
Shaquille memutar bola malas mendengar ujaran Jevano. “Maaf gue nggak doyan bocah.”
“Gue juga nggak bilang kalau tuh cewek bocah. Orang dia datang cuma buat ngantar adiknya doang. Ya, meskipun gue nggak tahu sih itu adiknya benaran atau nggak. Pokoknya dia bukan anak SMA,” terang Jevano untuk mengubah pikiran Shaquille tentang perempuan yang ia ceritakan itu.
Belum sempat Shaquille menjawab ucapan Jevano. Mobil yang ia kendarai harus berhenti, sebab kini sudah berada di depan gerbang sekolah. Ya, cukup beruntung juga bagi Shaquille, karena tidak lagi mendengar ocehan aneh adiknya lebih lama. “Turun cepat.”
“Lo ngusir gue, Mas?”
“Terus lo mau diam di dalam mobil? Gue mau ke kampus, Dek,” jawab Shaquille menahan rasa kesalnya pada Jevano. Bahkan, ia sampai memejamkan mata dalam beberapa saat untuk meredam sendiri rasa kesalnya. Sampai suara Jevano kembali memaksa Shaquille untuk membuka sepasang mata sipit yang terpejam itu. Beruntung tidak ada pemberontakan yang terjadi di dalam detak kehidupannya.
“Mas, itu lho yang gue maksud!” pekik Jevano. Lantas, ia turun lebih dulu dari mobil tanpa permisi. Tak hanya itu tentunya, Jevano juga memaksa Shaquille untuk turun pula dari mobil.
“Hai!” seru Jevano seraya melambaikan tangan pada seorang perempuan yang baru saja ke luar dari gerbang sekolah. Ia kemudian melangkah mendekati perempuan itu dan tak lupa menyeret tangan Shaquille mengikutinya. Sedang Shaquille sudah mendengus kesal, tetapi tidak bisa melepaskan diri dari genggaman erat Jevano pada pergelangan tangannya.
Perempuan dengan rambut dikuncir satu itu menoleh. Lalu, menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidung runcingnya. Sejenak perempuan itu tertegun dengan alis terangkat sedikit. Melihat lambaian tangan Jevano memaksanya kemudian untuk menoleh ke belakang. Namun, yang tersisa kini hanya dirinya yang berdiri di depan pintu gerbang sekolah. “Aku?” tanya perempuan itu seraya mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri.
Jevano mengangguk cepat. Lalu, Shaquille mendaratkan pukulan di pundak Jevano. Namun, adiknya itu tidak peduli sama sekali.
“Ada apa?”
“Siapa namamu?”
Sebelum perempuan itu menjawab. Terdengar bel berdering. Hal itu membuat Jevano ingin mengumpat, karena kesal. Belum juga ia tahu siapa nama perempuan yang ia puji kecantikannya itu. Bel masuk sudah berdering saja. Sungguh mengesalkan.
Shaquille yang melihat ekspresi wajah Jevano pun hanya bisa terkekeh. Lalu, ia menepuk sebelah pundak adiknya dengan pelan seraya berucap, “Cepat masuk.”
Dengan terpaksa Jevano membawa sepasang tungkainya melangkah memasuki gerbang sekolah. Namun, sebelumnya ia tidak lupa untuk menyalami Shaquille dengan begitu hormat.
“Hm, maafkan adik saya,” ucap Shaquille pada perempuan itu.
“Tidak apa-apa,” balas perempuan itu seraya mengulum senyum lebar yang kemudian berhasil mempertontonkan gigi gingsul yang membuat kecantikannya semakin bertambah berpuluh-puluh persen. “Kalau begitu saya permisi dulu.”
Shaquille hanya menganggukkan kepala dan menatap kepergian perempuan itu dari hadapannya. Tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan tipis yang manis. “Cantik,” bisik Shaquille tanpa tersadar.
“Sorry, ya, gue telat banget.” Shaquille langsung mendaratkan bokongnya pada kursi kosong yang sudah tentu tersedia untuknya sebagai seorang pimpinan organisasi terbesar di kampus. Ia meletakkan ranselnya di atas meja dan menyisir ruangan untuk melihat teman-temannya yang lebih dulu datang daripada dirinya. Sejujurnya, Shaquille merasa cukup bersalah karena harus terlambat dan membuat jadwal rapat harus diundur. Namun, bukan keinginannya juga untuk hadir tidak tepat waktu. Sebab, Shaquille sudah terbiasa tertib dengan semua jadwalnya. Hanya saja kali ini ia tidak tahu akan mendapatkan masalah dan harus menghadap dosennya hingga membuatnya datang terlambat. Ya, apa yang terjadi padanya kali ini karena ulah Jevano yang harus merajuk pagi-pagi. Namun, ya sudahlah. Percuma juga menyalahkan Jevano.
“Nggak apa-apa. Yang lain juga baru pada datang sih,” balas Mayyesa sang sekretaris BEM yang selalu membantu Shaquille menjalankan tugas mereka sebagai pengurus inti organisasi terbesar di kampus itu. “Tapi, lo oke, ‘kan?” tanya Mayyesa setelah mengalihkan fokusnya dari layar laptop yang menyala di hadapannya. Ia lihat Shaquille yang masih berusaha untuk menormalkan napasnya, karena keterlambatan yang bisa jadi membuat laki-laki itu harus berlari menuju ruang BEM. Sedang Mayyesa sendiri tahu siapa sosok pemimpinnya itu. Tidak heran jika Mayyesa tampak khawatir melihat Shaquille yang saat ini duduk tepat di sampingnya.
Shaquille mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban semuanya baik-baik saja. Kendati, ia sedikit berbohong pada Mayyesa. Ya, ada yang tidak baik-baik di dalam dadanya. Ada rasa nyeri dan sesak yang menghampiri. Namun, masih bisa ia tanggulangi sendiri tanpa harus melibatkan orang lain. Apalagi saat ini tengah ada banyak orang bersamanya di dalam satu ruang. Jika Shaquille kalah dengan apa yang dirasakan saat ini. Artinya, ia sudah membongkar rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat dari semua orang, kecuali orang-orang yang benar-benar dekat dengannya. Tak hanya itu, artinya juga Shaquille akan merepotkan orang lain lagi. Tidak! Shaquille tidak ingin hal itu terjadi. Sejauh ini, ia sudah banyak merepotkan dan melibatkan orang lain dalam masalahnya.
“Sudah bisa dimulai?” tanya Shaquille sebelum memulai rapat yang akan ia pimpin hari ini. Tak lupa ia edarkan pandangan untuk menyisir orang-orang yang di dalam ruangan itu. Senyumnya terbit dengan sangat cantik ketika seruan kata “iya” serta anggukan kepala manusia-manusia yang siap berjuang dengannya selama masa jabatan menjadi Ketua BEM. Shaquille tidak tahu apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka yang begitu loyal ada bersamanya melangkah. Sebab itu, Shaquille tidak pernah lupa bahwa setiap pencapaian yang ia dapatkan ada campur tangan teman-temannya di sana. Dan Shaquille tidak akan pernah merasa gengsi untuk mengucapkan terima kasih serta maaf kepada mereka.
Dengan penuh charisma, laki-laki yang sebentar lagi menginjak usia di angka dua puluh satu itu memulai rapat. Ia mulai menjelaskan beberapa program yang akan segera dijalankan. Lalu, seluruh isi ruangan itu hanya terdiam dan mendengarkan apa yang dijelaskan Shaquille.
“Jadi, bazaarnya akan kita mulai lusa. Oleh karena itu, hari ini kita sudah menyiapkan segala keperluannya dan kita juga akan tahu apa saja yang kurang dan harus kita lengkapi segera. Sehingga besok sudah tidak ada lagi yang harus disiapkan. Teman-teman juga punya untuk mempersiapkan diri,” terang Shaquille. “Bagaimana? Masih ada yang belum jelas?”
Seisi ruangan menggelengkan kepala. Apa yang dijelaskan Shaquille sebelumnya sudah sangat rinci dan jelas. Jadi, tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan.
“Hm, kalau memang sudah tidak ada lagi. Saya cukupkan rapatnya sampai di sini. Dan setelah ini kita bisa langsung menuju lokasi bazaar,” tukas Shaquille yang langsung dibalas anggukan oleh mereka yang ada di dalam ruangan tersebut. “Untuk teman-teman yang masih ada jadwal kuliah. Silakan untuk kembali ke kelas dulu. Biar saya dan teman-teman yang sudah tidak ada kelas hari ini yang mengerjakan dulu persiapan bazaarnya,” sambung Shaquille lagi. Ia tidak ingin mengganggu jam kuliah teman-teman satu organisasinya. Sebab itulah, ia selalu mencoba untuk mengatur jadwal agar tidak mengganggu akademik mereka.
˚˚˚˚˚
“Eh, ada anak baru di semester bawah.” Farrash yang tadinya begitu sibuk dengan pekerjaannya tiba-tiba berceletuk. Celetukannya tidak berhasil mengalihkan fokus Shaquille dari layar laptop di atas meja. Kendati demikian, Farrash yakin Shaquille mendengar apa yang diucapkan.
“Terus kenapa kalau memang ada anak baru? Ngaruh gitu sama lo?” balas Shaquille dengan nada cueknya. Ya, terdengar sangat tidak tertarik dengan topik yang dibawa oleh Farrash.
“Ya kali aja nanti ngaruh. Apalagi anak barunya cantik banget lagi,” jawab Farrash tidak mau kalah dengan sahabatnya itu. “Yang nggak pernah ngaruh itu kan cuma lo doang, Quille,” lanjut Farrash. Ia tidak berbohong. Shaquille memang satu-satunya manusia yang ia kenal dengan sikap yang tidak begitu peduli dengan urusan perempuan. Padahal, di kampus Shaquille adalah most wanted. Hampir seluruh mahasiswi di kampus yang mengenal sosoknya. Hanya saja, laki-laki itu tidak memanfaatkan hal demikian untuk bergaya apalagi membanggakan diri. Sekali lagi, Shaquille begitu cuek dengan hal-hal seperti itu.
“Kalau anak yang satu ini, lo pasti bakalan kecantol sih saking cantiknya,” ucap Farrash lagi. Ia mengubah posisi duduknya menghadap Shaquille. “Kayaknya kalem juga. Sama kayak lo. Jadi, kalau kata gue sih lo cocok banget.”
Pukulan telak mendarat di paha Farrash dengan keras. Shaquille yang merasa terganggu menyelesaikan pekerjaannya hanya bisa melakukan hal itu untuk menghentikan Farrash.
“Sakit banget, Anjir!” Farrash mengelus pahanya yang sudah bisa ia pastikan kini sudah memerah karena kerasnya telapak tangan Shaquille yang mendarat di sana.
“Makanya lo jangan ganggu gue pas lagi kerja gini,” sahut Shaquille dengan santainya dan tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seakan apa yang sudah ia lakukan pada Farrash hanyalah hal biasa saja. Ya, memang Shaquille sudah terbiasa dengan hal itu. Barangkali Farrash juga merasa demikian. Lama hubungan persahabatan yang mereka jalin membuat keduanya merasa sudah saling terbiasa dengan sikap, cara, dan kebiasaan masing-masing.
“Gue nggak ganggu. Gue cuma ngasih tau.”
“Sama aja.”
“Lo yakin masih nggak tertarik?”
Shaquille menganggukkan kepala tanpa ragu. “Perempuan bikin ribet,” ucapnya cepat.
“Sama yang ini gue yakin lo bakalan tertarik.”
“Nggak akan.”
“Kalau iya, bagaimana?”
Shaquille mendengus kesal. Ia menghela napas panjang dan melayangkan tatapan tajam pada Farrash. Bisa-bisanya anak itu tidak paham dengan situasi saat ini. Apakah Farrash buta hingga tidak melihat Shaquille yang sedang fokus dengan pekerjaannya?
“Nggak akan, Farrash Ar-Rafiq,” ucap Shaquille dengan penekanan kuat di setiap kata yang ia ucapkan. “Sekarang mending lo lanjutin kerjaan lo atau gue cekik?”
Alih-alih merasa takut. Farrash justru terkekeh. “Santai dong, Bro. Nggak usah ngegas kayak gitu,” balas Farrash masih dengan kekehannya.
“Ada apa sih kalian kayak gitu?”
Baik Shaquille maupun Farrash langsung menoleh ke arah sumber. Mendapati Ayman yang baru saja datang dengan kardus entah berisi apa di tangan. Laki-laki itu kemudian meletakkan barang bawaannya tersebut di atas meja. Tepat di samping di mana Shaquille meletakkan laptopnya.
“Tau tuh teman lo,” jawab Shaquille dan kembali mencoba untuk memfokuskan diri dengan apa yang akan ia selesaikan segera. Sehingga, ia juga bisa lebih cepat untuk membantu teman-teman lainnya untuk mempersiapkan keperluan bazaar.
“Kenapa sih, Rash?”
Farrash kembali terkekeh. “Tau tuh Shaquille tiba-tiba aja kesal. Padahal, gue cuma ngasih tau tentang anak baru di semester bawah,” terang Farrash pada Ayman yang sudah tidak bisa menyembunyikan aura penasarannya.
Ayman menganggukkan kepala paham. Ya, Ayman paham kenapa Shaquille kesal.
“Padahal, tuh cewek cantik banget ‘kan, Man?”
Dengan polosnya Ayman menganggukkan kepala. “Iya cantik banget lagi. Gue aja sampai kesem-sem,” jawab Ayman membenarkan. Lalu, ia berlanjut membahas perempuan yang dimaksud oleh Farrash. Perempuan yang bahkan namanya saja mereka tidak ketahui.
Shaquille pikir kedatangan Ayman akan menyelamatkannya dari Farrash. Namun, kenyataannya tidak sama sekali. Situasinya semakin riweh. Ayman justru ikut-ikutan membahas tentang topik yang Shaquille coba hindari. “Mending lo berdua pergi deh. Nggak bakalan selesai kerjaan gue kalau lo pada ngebacot di sini,” kesal Shaquille dan berhasil membungkam mulut kedua sahabatnya itu.
“Lah, marah dia. PMS lo, Quille?” Ayman mencoba mencairkan suasana dengan candaan absurdnya.
Shaquille hanya bisa mengusap wajahnya kasar. Ia cukup frustrasi dengan sikap kedua sahabatnya itu. Bisa-bisanya mereka tidak paham dengannya. “Man, Rash, please dong jangan becanda di saat kayak gini. Gue pusing kerjaan gue belum kelar,” ucap Shaquille dengan nada memelas. Barangkali dengan begitu Farrash dan Ayman bisa paham.
“Hm, it’s ok. Sebagai teman yang baik hati, gue nggak akan becanda lagi. Tapi, nanti bantu gue di lapangan buat siapin keperluan bazaar. Bagaimana?”
Shaquille hanya bisa mengangguk pasrah dan melanjutkan pekerjaannya dengan tenang.
Shaquille berpindah dari stand yang satu menuju stand yang lain untuk melihat keberlangsungan acara bazaar yang diadakan. Senyumnya yang manis dan selalu sukses membuat kaum hawa terpesona terbit dengan begitu apik. Ia cukup puas dengan bazaar di hari pertama. Meskipun acara ini benar-benar menyita waktu, pikiran, dan tenaganya. Ia bahkan sempat lupa dengan makan siangnya jika tidak ada Mayyesa yang mengingatkan. Ya, memang begitulah Shaquille jika sudah mengerjakan sesuatu. Laki-laki itu sering lupa bahkan untuk melakukan sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan sebab akan mempengaruhi kondisi tubuhnya yang kadang rewel dan menuntut untuk beristirahat di rumah dalam waktu berhari-hari lamanya. Lebih parah akan menjebaknya berada di rumah sakit.
“Bagaimana? Aman, nggak?” tanya Shaquille ketika ia berdiri di depan stand yang isinya deretan buku-buku pada seorang perempuan dengan rambut pendek yang berjaga di sana.
Perempuan yang biasa disapa Adisti dan merupakan adik tingkat Shaquille itu menganggukkan kepala dengan senyum lebar serta acungan ibu jari. “Aman, Kak. Tadi saja sempat kewalahan, karena banyak yang berkunjung ke sini,” jawab Adisti dengan nada gembira.
“Syukurlah. Kalau mau gantian, bilang saja, ya. Biar digantiin sama yang lain,” ucap Shaquille memberikan perhatian terhadap Adisti. Tidak hanya pada Adisti, Shaquille bersikap demikian. Namun, pada semua teman-teman organisasinya. Ia selalu memperhatikan kondisi mereka agar tidak terganggu. Kendati, ia sendiri kadang lupa dengan kondisinya sendiri. Di pikiran Shaquille adalah bagaimana ia menjaga keamanan dan kenyamanan anggota terlebih dulu. Sebab tanpa mereka, ia tidak bisa melakukan apa pun dan tidak bisa menjadi siapapun. Terlalu besar pengaruh para anggota terhadap posisinya sebagai seorang ketua.
Begitulah sosok Shaquille. Tidak hanya memiliki paras tampan dan otak yang cerdas. Namun, laki-laki itu juga memiliki sikap ramah dan perhatian. Lalu, siapa yang tidak terpesona dengan seorang Shaquille Agha Damaresh? Mungkin semua perempuan di dunia ini menginginkan laki-laki sepertinya yang begitu tampak sempurna secara kasat mata. Meski ada hal yang tidak banyak orang tahu tentang sosoknya yang asli. Dan Shaquille juga tidak butuh orang lain tahu tentang dirinya yang lain. Cukuplah orang tahu tentang apa yang terlihat, bukan apa yang tersembunyi di balik senyum dan keceriaan yang ia tunjukkan selama ini. Bagi Shaquille, tak semua hal tentang dirinya patut dipertontonkan. Sebab, tak semua orang juga memiliki rasa empati yang sama.
“Santai, Kak,” jawab Adisti. Lalu, ia memperhatikan wajah Shaquille yang tampak lelah dan sedikit pucat. “Kak, Kakak nggak apa-apa? Kok Kakak kelihatan pucat?” tanya Adisti kemudian. Tidak biasanya ia melihat raut wajah Shaquille seperti yang saat ini ia saksikan.
Shaquille mengulum senyum tipisnya. “Nggak apa-apa. Mungkin kecapekan aja,” jawab Shaquille. Ia tidak sepenuhnya berbohong pada Adisti. Shaquille cukup kelelahan dengan aktivitasnya sejak pagi tadi. Bahkan, ia tidak memiliki waktu istirahat karena pekerjaan yang harus ia selesaikan segera.
“Mending Kakak istirahat saja deh. Kan masih banyak yang lain yang jaga di sini,” ucap Adisti memberi saran. Tidak ada salahnya ‘kan memberi perhatian pada seniornya? Sama seperti Shaquille yang memberi perhatian terhadapnya dan juga pada yang lain. “Kakak sudah bekerja sejak pagi sampai sekarang,” sambung Adisti mengingatkan Shaquille dengan aktivitasnya hari ini. Dan semua orang tahu akan hal itu.
Laki-laki itu hanya tertawa kecil. “Iya nanti bakalan istirahat kok. Aku lihat-lihat stand yang lain dulu, ya, Dis.”
Adisti hanya bisa menganggukkan kepala dan membiarkan Shaquille pergi dari hadapannya. Bohong jika ia tidak jatuh juga akan pesona seorang Shaquille. Akan tetapi, Adisti sadar diri dengan posisi dan dirinya sendiri. Dan ia hanya bisa memuja laki-laki itu hanya sebagai sosok pemimpin yang hebat dan pekerja keras. Lalu, hari ini Adisti bisa melihat kembali bagaimana Shaquille yang bekerja sangat keras untuk kelancaran acara bazaar. Mungkin acara terbesar menjelang turunnya jabatan Shaquille sebagai Ketua BEM, karena beberapa bulan lagi harus digantikan oleh mahasiswa lain.
Terlepas dari rasa lelah yang dirasakan Shaquille saat ini. Ada dentuman yang sesekali terasa di dalam dadanya. Dan itu cukup mengganggu sebenarnya. Hanya saja, melihat acara yang kini sedang berlangsung membuat Shaquille tidak bisa egois dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada tanggung jawab besar yang ia emban saat ini. Dan Shaquille tidak bisa meninggalkan lokasi bazaar begitu saja hanya karena ada yang memberontak di dalam dadanya. Lagi pula, Shaquille masih bisa menahan gejolak yang cukup mengganggunya itu. Lalu, ia akan istirahat nanti jika sudah waktunya. Ya, istirahat sama-sama dengan teman-temannya yang lain yang juga sudah bekerja keras demi kelangsungan bazaar kali ini.
“Quille!”
Panggilan itu berhasil menarik paksa Shaquille untuk menoleh ke belakang. Lalu, ia lihat Mayyesa dan Farrash berjalan dengan langkah lebar mendekat ke arahnya. Shaquille langsung berbalik. “Kenapa?” tanya Shaquille ketika dua manusia itu sudah berdiri di hadapannya.
“Gue butuh tanda ta … Eh, bentar deh, Quille,” ucap Mayyesa dan menatap Shaquille dengan alis yang saling bertautan menjadi satu. Ia menelisik setiap inci wajah ketuanya itu. “Lo pucat banget, Quille. Lo nggak apa-apa? Mending istirahat deh,” cecar Mayyesa setelah melihat dengan jelas wajah Shaquille yang sudah kehilangan rona. Juga dengan tatapan laki-laki itu yang mulai tampak sayu.
“Gue nggak apa-apa. Cuma kecapekan doang,” jawab Shaquille berusaha mengusir kekhawatiran yang dipertontonkan Mayyesa.
“Lo selalu bilang nggak apa-apa, Quille. Gue nggak mau, ya, lihat lo tumbang lagi gara-gara ngurusin acara ini,” ucap Farrash yang kini sudah berdiri di samping Shaquille seraya menyentuh pundak sahabatnya. Sebagai salah satu orang terdekat Shaquille, Farrash tentu saja paham bagaimana kondisi sebenarnya dari Shaquille. Dan Farrash tidak ingin hal buruk terjadi pada Shaquille hanya karena sibuk dengan urusan acara bazaar yang saat ini sedang berjalan sampai tiga hari ke depan. Meskipun Farrash sendiri tahu bagaimana keukeuhnya seorang Shaquille jika sudah menyangkut tanggung jawab.
“Benar, Quille. Mending lo istirahat deh. Nggak apa-apa bentaran doang,” ucap Mayyesa memberi saran.
Shaquille tidak bisa menolak lagi kali ini. Memang tubuhnya sudah tidak bisa lagi ia paksakan untuk bekerja dan kini sudah membutuhkan waktu untuk istirahat. Mungkin sejenak ia harus merebahkan tubuhnya untuk menenangkan detakan demi detakan yang muncul di dalam dadanya. Setelah itu, ia bisa kembali beraktivitas dengan normal. Itupun jika nanti tubuhnya tidak rewel lagi, karena terus ia paksakan beberapa hari terakhir ini. Ya, semoga saja. Sebab, masih banyak hal yang harus Shaquille selesaikan. Jadi, ia tidak bisa membiarkan tubuhnya tumbang, karena tentu saja akan mengganggu aktivitasnya nanti.
“Ya sudah gue izin istirahat sebentar, ya,” ujar Shaquille akhirnya. “Tapi, tadi lo mau ngapain, May?”
“Gue butuh tanda tangan lo untuk laporan,” jelas Mayyesa masih dengan ekspresi khawatirnya. Ia kemudian menyerahkan beberapa berkas yang harus ditanda tangani oleh Shaquille. “Ruang BEM kosong, Quille. Lo istirahat di sana aja,” ucap Mayyesa lagi.
Shaquille menganggukkan kepalanya paham.
“Mau gue temenin, nggak?” tawar Farrash yang juga takut-takut jika dalam perjalanan menuju ruang BEM, Shaquille akan tumbang. Karena, tidak ada yang tahu dengan kondisi Shaquille yang seringkali tiba-tiba tumbang. Apalagi sekarang yang sudah sangat kentara bagaimana raut wajah laki-laki itu. Shaquille yang ceria saja tidak menjamin akan membuat Shaquille baik-baik saja pada detik berikutnya.
“Nggak usah deh, Rash. Gue bisa sendiri kok. Lo di sini aja. Nanti kalau ada apa-apa langsung hubungin gue, ya,” ucap Shaquille bahkan dengan nada suara yang mulai lemas. Lalu, sesekali ia menarik napas dalam-dalam.
“Lo yakin?”
Shaquille hanya mengangguk. “Gue duluan, ya.”
Shaquille kemudian berlalu meninggalkan Farrash dan Mayyesa. Sedang dua manusia itu hanya bisa menatap kepergian Shaquille dengan perasaan khawatir.
“Mending lo susulin deh tuh si Shaquille, Rash. Gue takut dia bakalan kenapa-napa nanti,” ujar Mayyesa.
“Nggak, May. Kalau gue susulin, Shaquille pasti marah. Lo tau ‘kan kenapa?”
Mayyesa hanya bisa menghela napas panjang dan mengangguk mengiyakan.
˚˚˚˚˚
Shaquille masih memaksa sepasang tungkainya untuk terus bergerak menuju ruang BEM. Sesekali, ia harus mengulum senyum paksa ketika ada yang menyapanya. Meskipun ia tidak mengenal siapa orang tersebut. Akan tetapi, ia tidak bisa bersikap cuek dan abai begitu saja. Selain sudah menjadi sifat yang mendarah daging dalam dirinya, hal itu juga karena Shaquille tidak ingin dikatakan sombong sebab posisinya sebagai ketua dan orang nomor satu di kampus. Begitu keras usaha Shaquille untuk menjaga diri agar tidak terkesan buruk tidak hanya di hadapan dosen atau staf lainnya. Namun, juga di hadapan sesama mahasiswa.
Lorong yang mengarah menuju ruang BEM tampak tak seramai tempat lainnya di kawasan kampus. Hal itu cukup membuat Shaquille tidak lagi berpura-pura untuk tampak baik-baik saja. Di sana ia sudah menunjukkan rasa lelah dan sesak yang sudah sejak tadi menjejal. Ia berjalan dengan kepala tertunduk. Lalu, tangan kanannya sesekali mengelus dadanya dengan pelan. Sampai sesuatu terasa keras menubruk tubuhnya. Beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan diri hingga tak sampai terjatuh dan menyentuh lantai dengan sempurna.
Shaquille mengangkat pandangan untuk melihat siapa pemilik tubuh yang sudah menabraknya itu. Hingga tatapannya langsung beradu dengan sepasang bola mata dengan iris cokelat bersih. Sepasang bola mata milik seorang perempuan dengan rambut yang dikuncir satu dan bulu mata yang begitu lentik alami.
“Kamu.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!