Gara-gara makan malam lagi, jadi Alena tidur lebih malam dari biasanya. Hingga jam setengah 10 malam gadisku belum juga terlelap. Malam ini Alena pun ingin tidur ditemani aku dan mas Haris.
Jadi kami bertiga sama-sama berbaring di ranjang tersebut dengan Alena yang berada di tengah.
Mas Haris sedang menceritakan sebuah dongeng, namun perhatian ku justru teralihkan saat mendengar ponselku bergetar. Jadi ku putuskan untuk melihat ada notifikasi apa. Ternyata pesan dari Namira.
'Alhamdulillah dapat ponsel baru 🤭 '
Tulis Namira dalam pesan singkatnya, aku sampai tersenyum melihat emoticon yang dia kirim. 1 jam lalu aku memang mengirim pesan pada Namira, mengatakan bahwa sekarang aku punya ponsel baru dan ada layanan chat seperti ini.
'Kenapa baru membalas pesanku? Kamu baru pulang?' tanyaku pula.
'Iya Mbak, baru saja tiba di rumah. Apa Alena sudah tidur?'
'Belum, mas Haris masih coba untuk menidurkannya. Kamu istirahat lah juga.'
'Iya Mbak, salam untuk Alena ya.'
"Siapa?" tanya mas Haris tiba-tiba, saking asiknya berkirim pesan dengan Namira aku sampai tidak sadar jika Alena sudah terlelap, jika mas Haris telah selesai dengan dongengnya.
"Namira, Mas," jawabku apa adanya. Aku bahkan menunjukkan layar ponselku yang masih menyala. Memperlihatkan isi pesanku dan Namira.
Mas Haris tidak menanggapi apapun lagi, bahkan anggukan kepala kecil pun tidak dia lakukan. Mungkin, mungkin baginya ini bukanlah hal penting, justru bagus jika aku memiliki hubungan yang baik dengan calon ibu sambung Alena.
Ku lihat mas Haris mulai turun dari atas ranjang, "Tidurlah, jangan main ponsel terus. Aku akan pulang sekarang," katanya.
"Baik Mas," jawabku singkat, lalu segera meletakkan ponsel ini di atas nakas. Jika mas Haris udah bicara seperti ini, itu artinya aku sudah tidak boleh memegang ponsel lagi.
Setelah mas Haris pergi ku tatap Alena dengan bibir tersenyum, bersyukur karena sekarang Alena banyak sekali yang menyayangi. Apalagi mas Haris juga selalu mengatakan bahwa kedua orang tuanya sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Alena.
Ditambah lagi Namira yang sangat baik membuatku makin bersyukur.
"Anindya," panggil mas Haris, selalu saja datang tiba-tiba dan membuatku terkejut. Ternyata Mas Haris belum benar-benar keluar dari sini.
"Kenapa Mas?" tanyaku dengan suara pelan, sedangkan mas Haris sudah kembali berdiri di ujung ranjang.
"Ada yang ingin aku bicarakan, ayo kita keluar sebentar," kata mas Haris.
Aku mengangguk dan menyingkap selimut. Lalu turun dari atas ranjang dan memasang pagar pelindung untuk Alena.
Ku pikir mas Haris akan mengajakku duduk di ruang tengah, tapi ternyata tidak. Mas Haris justru terus melangkah hingga berhenti di dapur.
Ya Allah, apa yang ingin mas Haris bicarakan. Sepertinya dia tidak ingin ibu sampai mendengar pembicaraan kami. Batinku.
Pasalnya ibu sudah berada di dalam kamar. Kami sama-sama tidak tau ibu sudah tidur atau belum.
"Ada apa, Mas?" tanyaku ketika kami sudah sama-sama duduk.
"Tentang Alena dan Namira," jawab mas Haris.
Deg! Jantungku seketika berdenyut, ada rasa cemas yang mendadak menguasai hati ini. Entahlah, tiap kali ada pembicaraan serius dengan mas Haris aku selalu merasa takut.
"Kenapa dengan Alena dan Namira?" tanyaku pula.
"Selama ini Alena tidak pernah meminta ku untuk berjanji jangan meninggalkan kalian berdua. Tapi setelah dia bertemu dengan Namira, Alena meminta janji tersebut," kata mas Haris.
Dan makin bergemuruh jantungku mendengar kata demi kata yang terlontar dari pria tersebut.
"Ini artinya Alena tidak sepenuhnya bisa menerima Namira. Dia takut aku akan pergi lagi."
"Wajar jika Alena takut Mas, tapi aku percaya waktu bisa membuatnya mengerti. Apalagi Namira sangat baik, bukan hal sulit untuk mereka jadi dekat," jelasku buru-buru.
"Tapi bukan itu yang ingin aku katakan padamu, Anindya," kata mas Haris, suaranya kembali penuh dengan penekanan.
"Bagaimana jika kita menikah? Namira pasti akan mengerti tentang hal ini."
Petir, seperti menyambar tepat di atas kepala ku. Sungguh, pertanyaan tersebut membuatku tercengang, aku seperti di dorongnya jatuh masuk ke jurang
Ketakutan Namira akhirnya benar-benar terjadi, disaat Alena meminta mas Haris tidak akan sanggup menolaknya.
Apapun keinginan Alena akan pria ini turuti, bahkan jika harus mengorbankan dirinya sendiri.
"Mas_," kataku lirih, namun belum sempat aku melanjutkan ucapan mas Haris sudah lebih dulu memotong.
"Dulu aku sudah bersedia untuk menikahi kamu, tapi kamu menolak. Katamu tidak mungkin kamu hamil karena kita hanya melakukannya 1 kali. Sekarang sudah ada Alena, apa kamu akan tetap menolak ku?"
Ku gigit bibir bawahku kuat-kuat, dulu ataupun sekarang keadaannya tetap sama. Tidak memungkinkan kita untuk bersama. Karena meski ada Alena, tapi sekarang juga ada Namira diantara aku dan mas Haris.
"Aku mohon jangan seperti ini, Mas. Alena hanya meminta mas untuk tidak meninggalkan kami, bukan menikahi aku," jawabku dengan suara yang mungkin terdengar gemetar di telinganya.
"Harusnya kamu lebih mengerti daripada Alena, disaat aku tetap menikahi Namira waktuku jelas akan terbagi."
Aku menunduk, tak kuasa menahan diri untuk tidak menjatuhkan air mata. Entah kenapa pembicaraan ini membuat daddaku sesak.
Mas Haris sampai mengorbankan semuanya demi Alena. Aku tidak ingin lebih egois daripada ini. Sampai mas Haris dan Namira jadi berpisah.
"Nanti waktu yang akan membuat Alena mengerti Mas, bahwa papanya punya dua keluarga," jawabku lirih. Air mataku jatuh tepat di tanganku yang terkepal di atas pangkuan.
Tenggorokan ku makin tercekat saat aku menahan diri agar tangis ini tidak pecah.
Karena aku menunduk aku tidak bisa melihat pergerakan mas Haris, tiba-tiba pria itu sudah berdiri di sampingku. Mengangkat dua pundakku untuk berdiri.
"Aku tanya satu kali lagi, bagaimana jika kita menikah?" tanya mas Haris.
Ya Allah, rasanya aku sudah tidak kuat untuk berdiri. Apakah demi Alena aku harus mengorbankan mas Haris dan Namira?
Seegois itukah aku? benarkah semua ini demi Alena? Atau hatiku ikut bermain di dalamnya.
Ku tepis semua debar yang pernah menghampiri, ku yakinkan diri bahwa Alena akan tetap bahagia dengan kami yang seperti ini. Ku yakini bahwa Namira adalah ibu sambung yang baik untuk Alena.
Aku, Alena, mas Haris dan Namira bisa hidup dengan rukun.
"Tidak Mas, kita tidak perlu menikah," jawabku diantara air mata yang jatuh, entah kenapa jadi semakin sesak hati ini.
Mas Haris kemudian melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi menahan pundakku, dan saat itu juga aku merasakan separuh hidupku ikut hilang, hatiku sontak terasa begitu kosong.
"Baiklah, aku hargai keputusan mu," jawab mas Haris.
Dan kalimat itu membuatku sadar, bahwa aku memang telah mencintai mas Haris. Namun cinta ini salah, jadi harus terus ku redam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
keren banget thour terserah outhor aja lah
2024-11-20
0
Mardiana
benar banget keputusan Anin
2025-02-25
0
Ida Sriwidodo
Haiisz.. baru kali ini baca novel ttg cinta segi 3 yang orang2nya orang baik semua 🤩🤩👍🏻👍🏻
Terserah kk othor ajaa dah gimana endingnya
Tapi si kayaknya Haris tetap milih Anin.. secara memang dah cinta dari dulu.. apalagi sekarang ada Alena 😍😍
2024-12-01
2