Gerbang tinggi itu akhirnya terbuka dan sang penjaga mempersilahkan aku untuk masuk.
"Motornya tinggal di sini saja tidak apa-apa, Mbak," ucap penjaga itu lagi.
"Baik Pak, terima kasih sebelumnya," jawabku. Ku lihat dia mengangguk dan akhirnya aku putuskan untuk segera pergi dari sana. Berjalan dengan langkah kaki cepat menuju pintu utama rumah megah tersebut.
Dulu aku juga sering datang ke sini, hanya sekedar untuk mengantarkan beberapa dokumen. Andai tak ada kesalahan satu malam itu mungkin hidupku akan baik-baik saja. Tidak seperti ini.
Ya Allah, apa yang aku pikirkan. Alena adalah segalanya untukku. Tak ada yang aku sesali tentang masa lalu.
Tadi semuanya terasa baik-baik saja, namun saat sudah berdiri tepat di depan pintu rumah ini ternyata tubuhku gemetar. Kedua tanganku sudah basah dengan keringat dingin.
"Jangan ragu Anin, lakukanlah," ucapku pada diri sendiri. Jadi dengan tangan yang gemetar, ku tekan bell rumah ini.
Ting Tong! Suara yang tak mampu ku dengar namun seperti bisa ku rasakan. Suara yang akan jadi signal orang-orang di dalam sana bahwa ada tamu di luar.
Aku mundur satu langkah, mengambil jarak yang bagiku aman. Hingga akhirnya aku melihat pintu itu terbuka secara perlahan.
Deg! jantungku makin berpacu dengan cepat, angin sore itu membuat rambut ku yang lusuh jadi terombang-ambing. Aku membenahinya diantara rasa gugup yang mendera.
Pria yang berdiri di hadapan ku sekarang adalah pak Harris.
"Anindya," ucap pak Harris seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Aku bisa memakluminya, bahkan sejak tadi pagi aku belum sempat membasuh diri. Sebab Alena mengeluh sakit dan tak ingin ku tinggalkan. Tubuhku juga sudah tidak segar seperti dulu, lebih kurus dan tak terurus.
Sementara pak Harris masih sama seperti dulu, wajahnya masih tetap saja tampan. Bulu-bulu kasar memenuhi rahangnya yang tegas.
"Be-benar Pak, saya Anin," jawabku saat ingat aku tak punya waktu untuk gugup.
"Silahkan masuk," tawarnya dengan ramah, mungkin dia pun bertanya-tanya kenapa aku datang.
"Ti-tidak Pak, sa-saya tidak punya banyak waktu," jawabku dengan kepala yang menunduk.
Lalu aku bersimpuh. "Maafkan saya Pak, tapi saya datang untuk meminta bantuan anda," kataku dengan kedua mata yang sudah terasa panas. Aku jelaskan bahwa 6 tahun lalu setelah malam itu aku dinyatakan hamil.
Malam itu adalah kesalahan, jadi aku tidak meminta pertanggungjawaban apapun. Aku pikir aku bisa membesarkan Alena seorang diri.
Tapi ternyata aku tidak bisa.
"Alena harus dioperasi malam ini, tapi saya sudah tidak punya biaya. Maafkan saya Pak, saya mohon bantu saya," pintaku.
Namun tidak ku dengar suara apapun dari pria di hadapan ku iki. Aku tidak berani mengangkat wajah, jadi hanya mampu menatap kedua kakinya. Kaki yang kemudian mundur 1 langkah, menandakan bahwa pria itu begitu terkejut.
"Jadi Alena adalah anakku?" tanya pak Harris dengan suara yang terdengar gemetar, namun terasa berat sekaligus.
Mana bisa aku menjawab pertanyaan ini dengan kata-kata, jadi aku hanya mampu mengangguk.
"Kenapa? Kenapa baru sekarang kamu katakan tentang hal ini Anin?! Kenapa?!!" bentaknya dengan suara yang tinggi, sementara aku sudah menciut dalam ketakutan.
Tak ku pungkiri, aku pantas mendapatkan kemarahan ini. Setelah pergi begitu saja, kini aku datang dengan kabar tidak mengenakkan.
Aku hanya mampu terdiam, saat pak Harris mengguncang pundakku dengan kuat.
"Bodoh kamu!" makinya dengan begitu kuat.
Aku tau, pak Harris sangat terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Mardiana
pastinya pak Harris terkejut...wajar...mungkin beliau adalah pria bertanggungjawab
2025-02-24
0
Katherina Ajawaila
kasihan amat anin nasip mu
2024-11-20
0
Indria Agustini
aq mampir kak
2024-11-25
0