Glek! Aku menelan ludah kasar, ku putuskan untuk memalingkan wajah sebab mas Haris dekat sekali dengan wajahku. Membuat aku gugup.
Bohong jika aku mengatakan bahwa jantungku tidak berdebar. Ketampanan mas Haris memang bisa membius semua wanita, tak bisa ku pungkiri bahwa aku pun sempat terlena. Namun untunglah kepalaku masih bisa berpikir jernih, jadi setiap kali jantungku berdebar, rasa itu langsung ku sisihkan untuk pergi.
Sekarang usiaku sudah tidak muda lagi, tidak ada waktu untuk mengurus tentang hati. Satu-satunya fokus di dalam hidupku sekarang hanyalah tentang Alena.
"Seat belt ini emang sedikit rusak, aku belum sempat membenahinya," ucap mas Haris, setelah dia kembali duduk di kursinya sendiri.
"Iya, Mas," jawabku, bingung mau menjawab apa. Daripada hanya diam jadi kau putuskan menjawab iya saja.
Mobil akhirnya mulai melaju meninggalkan area rumah sakit tersebut. Tadi saat mengajak pergi mas Haris Terlihat buru-buru sekali tapi sekarang aku merasakan laju mobil ini tak begitu cepat, padahal jalanan di depan kami juga cukup lenggang, tidak ada kemacetan yang berat.
Seolah menandakan bahwa mungkin saja mas Haris ingin berlama-lama denganku menyusuri jalanan ini.
Astaghfirullahaladzim, apa yang aku pikirkan. Perasaan ku terlalu mengada-ngada.
"Namira adalah seorang dokter Anak, dia pasti akan menerima Alena dengan baik. Kamu tidak perlu mencemaskan tentang dia," kata mas Haris tiba-tiba, saat mobil berhenti di lampu merah.
Seseorang yang jadi calon istri seorang Haris Pratama tentu bukan orang sembarangan. Jadi aku tidak perlu kaget saat tau bahwa wanita itu adalah seorang dokter.
Alhamdulillah, nanti akan lebih banyak orang-orang yang akan menyayangi Alena.
Aku tidak boleh mencemaskan apapun, tak boleh berpikir yang bukan-bukan, mengira bahwa wanita itu tak akan menerima Alena. Aku harus percaya pada mas Haris.
Nanti pun Alena sendiri yang akan membuktikannya, aku tidak boleh berburuk sangka di awal.
"Iya Mas," jawabku begitu patuh.
"Semalam aku juga sudah mengabari kedua orang tuaku. Mereka terkejut, tapi bisa menerima ini semua sama seperti ku."
"Maafkan aku, Mas," jawabku pula, dalam sekejap aku memang membuat keributan di keluarga tersebut. Mendadak memberi kabar yang seperti petir di siang bolong.
"Tidak usah minta maaf lagi, bukannya kita sudah saling memaafkan?" tanyanya, tadi suaranya sempat dingin, dan sekarang aku merasa suaranya lebih hangat.
Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi aku benar-benar tak bisa menebak apa yang ada di dalam kepala pak Haris.
"Iya Mas, kita memang sudah saling memaafkan. Tapi aku selalu sadar diri, semua masalah ini bermula dariku. Jika Mas meminta, Aku bersedia menjelaskan pada calon istri mas Haris dan keluarga Mas juga bahwa akulah yang salah."
"Tidak," jawab mas Haris dengan cepat. "Sudah tidak ada masalah lagi sekarang, Namira dan keluarga ku sudah menerima. Mereka juga sebenarnya sudah tidak sabar untuk menemui Alena, tapi masih ku tahan," timpal mas Haris kemudian.
"Mungkin 1 atau 2 bulan lagi baru aku pertemukan mereka, disaat keadaan Alena benar-benar membaik. Daripada bertemu di rumah sakit, akan lebih nyaman jika bertemu di rumahmu," terang mas Haris pula.
Lega sekali hati ini saat dia menyebut tentang rumahku, rumahku yang jadi rumah utama Alena.
"Iya Mas, apapun keputusan Mas akan aku dukung," jawabku, kamu berdua memang harus begini. Saling mendiskusikan tentang Alena.
Aku tidak boleh gugup gugup terus.
Saat lampu sudah berubah jadi hijau, mas Haris pun kembali melanjutkan mobilnya tersebut. Melewati jalanan ini dalam keadaan yang hening. Sampai akhirnya kami tiba di tempat tujuan, saat gerbang tunggu itu terbuka aku langsung melihat motor ku terparkir di samping pos keamanan.
"Mas, aku berhenti di sini saja," ucapku buru-buru, daripada harus berhenti di depan teras rumah mas Haris, rasanya akan lebih nyaman jika aku berhenti di sini saja.
Aku tau ini adalah rumah mas Haris sendiri, beliau memang sudah lama memutuskan untuk hidup sendiri, berpisah dengan kedua orang tuanya.
Tapi fakta itu justru membuatku makin harus mawas diri, tidak boleh berdua-dua lagi.
Dan mendengar ucapanku tersebut, mas Haris pun langsung menghentikan mobilnya di sana.
"Terima kasih Mas, aku akan langsung kembali ke rumah," ucapku sekaligus pamit.
Ku lihat mas Haris tidak menjawab dengan kata-kata, namun dia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tapi seperti itu saja aku sudah paham, bahwa dia menjawab iya.
Dengan hati-hati aku melepas seat belt ini, untunglah tidak bermasalah. Lalu turun dari mobil dan menutupnya secara perlahan pula.
Aku menundukkan kepala sekali lagi, sebagai bentuk hormat dan terima kasihku. Mobil mas Haris kemudian melaju untuk lebih masuk ke halaman rumah ini.
"Pak, saya mau ambil motor. Terima kasih sudah dijaga," ucapku pada bapak-bapak penjaga pos keamanan tersebut. Seseorang yang sama seperti yang ku temui kemarin.
"Baik Mbak, silahkan diambil," jawab bapak itu. Aku langsung naik ke motorku dan menoleh sekali lagi ke arah rumah mas Haris. Ku lihat pria berjalan masuk ke dalam rumah, sambil sibuk dengan ponselnya sendiri.
Mungkin beliau sedang bertukar kabar dengan dokter Namira.
Ku hidupkan mesin motor ini, lalu menyala. Ku ambil jalan mundur beberapa langkah, sebelum akhirnya benar-benar maju dan keluar dari rumah megah tersebut.
Jalanan kota Jakarta yang terasa panas sekali saat siang begini, aku lupa tidak memakai jaket jadi makin gosong lah kedua lenganku.
Ketika tiba di rumah sakit aku langsung berlari masuk, mencari hawa dingin dari banyaknya AC yang terpasang di rumah sakit tersebut.
30 menit setelah aku tiba di rumah sakit, mas Haris pun telah kembali lagi ke rumah sakit ini. Dia nampak lebih segar dan bajunya juga sudah ganti.
Kupikir beliau akan kembali saat malam, tapi ternyata malah datang lebih cepat dari yang aku pikirkan.
"Anindya, mulai hari ini aku akan tinggal di apartemen Luxury, di unit 2 lantai 5. Jika nanti ada apa-apa dan aku sedang berada di apartemen langsung saja datang ke sana," jelas mas Haris.
Apartemen Luxury adalah apartemen yang paling dekat dengan rumah sakit ini, sepertinya apartemen itu dan rumah sakit ini masih dalam satu manajemen perusahaan. Tapi aku juga tidak begitu paham.
Tapi dimana apartemen Luxury itu aku tau tempatnya.
"Baik, Mas," jawabku.
"Kuncinya ada 2, satu kamu yang pegang," ucapnya lagi dan membuatku bingung, meski bingung namun kartu berwarna hitam itu aku ambil, karena mas Haris mengulurkannya.
"Nanti jika Alena sudah boleh keluar dari rumah sakit untuk sekedar jalan-jalan, Alena istirahatnya di apartemen saja, biar dia merasakan suasana baru. Jadi tetap dekat dengan rumah sakit, tidak terlalu jauh seperti jika tinggal di rumahmu ataupun rumahku, iya kan?" tanya mas Haris dan aku mengangguk patuh, seperti dihipnotis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Mardiana
Haris melakukan buat Alena
2025-02-25
0
andi hastutty
Demi alena
2024-08-15
0
himmy pratama
rasa nya kurang nyaman klo Haris menikah' sama Namira gmn GT..mending nikah aja sama Anindya
2024-04-03
1