Ku simpan kunci apartemen tersebut di dalam dompetku yang sudah lusuh, bersebelahan dengan kartu debit pemberian mas Haris kemarin. Kartu debit yang awalnya ingin aku abaikan, tapi ternyata tidak bisa.
Sebelum tiba di rumah sakit tadi, aku berhenti di salah satu ATM dan mengambil uang di dalamnya sebanyak 300.000 rupiah. 100.000 ku berikan pada ibu, sementara yang 200.000 ku belikan beberapa kebutuhan pribadi untuk ibu dan aku juga.
Sudah tidak memegang uang sepeserpun membuatku tak bisa mengabaikan kartu debit ini, tapi demi menenangkan hatiku sendiri aku menganggapnya sebagai hutang. Ku tulis di buku catatan hutangku.
Nanti, suatu saat nanti, semoga aku bisa membayarnya.
Aamiin.
*
*
Sekarang sudah 3 minggu lamanya pasca Alena menjalani operasi transplantasi jantung, kata dokter Anton perkembangan Alena sangat pesat, hal ini mungkin di dorong adanya peran sang ayah di dalam hidup gadis kecil tersebut.
Jadi Alena memiliki semangat yang luar biasa untuk segera pulih. Alena bahkan sudah diizinkan jalan-jalan di rumah sakit ini, mendatangi taman tempat bermain anak yang memang telah disediakan oleh pihak rumah sakit. Tapi Alena belum diizinkan meninggalkan kawasan rumah sakit tersebut.
Masih harus sabar untuk keluar dari zona nyaman ini.
"Ma, kemarin rumah sudah selesai direnovasi. Hari ini cobalah pulang dan lihat bagaimana hasilnya, jika masih ada yang kurang katakan padaku," ucap mas Haris.
Aku langsung mengangguk dan menjawab iya, "Iya, Mas," jawabku.
Ku lihat mas Haris masih memasangkan Alena kaos kaki, anakku duduk di sofa dan mas Haris berjongkok di hadapan Alena. Katanya mereka berdua ingin bermain di taman pagi ini.
Di minggu pertama aku sekuat tenaga membiasakan diri mendengar mas Haris memanggilku dengan sebutan Mama tiap kali di hadapan Alena, sekarang aku sudah terbiasa dengan panggilan itu.
Kupikir mas Haris pun berusaha sekuat tenaga juga untuk menciptakan sebuah keluarga bahagia di hadapan Alena, jadi aku pun harus melakukan hal yang sama.
"Kita turun bersama ya Ma, nanti kita berpisah di taman," ucap Alena.
"Iya sayang, mama akan mengajak Mbah Putri untuk pulang juga, boleh ya?"
"Iya tidak apa-apa, aku tidak akan menangis karena ada Papa," jawab Alena, dan langsung mendapatkan hadiah sebuah ciuman dari papanya. Mas Haris mencium pipi Alena dengan penuh kasih sayang, sampai membuat bidadari kecilku tertawa riang.
Tawa yang menular padaku.
"Mama panggil, Mbah putri dulu," ucapku, Alena dan mas Haris kompak mengangguk.
Ibu sedang berada di kamar, katanya tadi mau pipis. Jadi ku hampiri ke dalam kamar ini. kebetulan saat aku tiba di sana ibu pun keluar dari dalam kamar mandi.
"Bu, kata mas Haris rumah kita sudah selesai direnovasi. Jadi dia ingin kita memeriksanya lebih dulu," ucapku.
"Ya Allah, sebenarnya dari kemarin ibu sudah menunggu tentang kabar ini. Ibu jadi deg-degan, takutnya Haris bukan hanya merenovasi rumah kita tapi justru membangun dari awal," jawab ibu, ku lihat Ibu meremat kedua tangannya sendiri, seperti gugup dan cemas sekaligus.
Sejujurnya aku pun sempat berpikir demikian, karena jika hanya merenovasi kebocoran tidak mungkin selama ini. Mungkin satu hari juga selesai, tapi nyatanya butuh waktu 3 minggu untuk merenovasi rumah itu.
Rumah kami yang sederhana, sangat sederhana. Setinggi 4 meter dengan lantai semen biasa, rumah yang kami beli setelah menjual rumah warisan milik ibu.
"Semoga saja tidak, ayo kita keluar sekarang. Alena juga mau turun ke taman," jawabku kemudian.
Ibu mengangguk, mengambil hijabnya di gantungan lemari dan memakainya.
"Mbah Putrii," panggil Alena langsung, selalu antusias tiap kali bertemu dengan neneknya.
"Nanti Mbah dan mama pulang sebentar ya?" pamit ibu.
"Iya Mbah, tapi jangan lama-lama ya."
"Iyaaaaa," jawab ibu dengan jawaban panjang.
"Ayo pergi," ajakku pula.
Mas Haris langsung memindahkan Alena ke kursi roda, mas Haris lah yang mendorong kursi roda itu, sementara aku berjalan di samping Alena dengan tangan kami yang saling menggenggam.
Sepanjang perjalanan itu aku tau ibu dan Alena sama-sama tersenyum lebar, mensyukuri tentang kebersamaan ini.
Sosok mas Haris yang ternyata benar-benar dibutuhkan oleh semua orang. Kami berpisah di salah satu koridor, Alena dan mas Haris harus mengambil jalur kanan untuk menuju taman, sementara aku dan ibu harus mengambil jalur kiri untuk keluar.
"Mama dan Mbah putri pergi dulu ya sayang," ucapku pada Alena.
"Iya Ma, hati-hati, jangan lama, jangan bohong."
"Iya," jawabku pula, lalu tatapanku berpindah pada mas Haris. "Aku pergi dulu, Mas," pamitku pula.
"Hem, hati-hati," jawab mas Haris, setelahnya dia pun tersenyum dan ku balas dengan senyum yang serupa.
Menggunakan motorku, aku dan ibu akhirnya pulang ke rumah. Mulai memasuki komplek perumahan tersebut, orang-orang pun seperti keluar dadi rumah mereka untuk melihat kedatangan ku.
"Anin! Husna!" panggil bude Narti pula, antusias sekali memanggil kami.
Tapi aku tidak menghentikan motorku, hanya menanggapi panggilannya dengan senyuman dan anggukkan kepala. Sebab aku ingin segera tiba di rumah, tapi ternyata rumahku mendadak hilang. "Loh Bu, rumah kita mana? Bukannya di sini? ini kok malah ada bangunan baru?" tanyaku pada ibu dengan sangat bingung.
Ibu turun dan aku memarkirkan motor dengan ragu.
"Tunggu dulu," kata ibu, dia pergi ke tengah jalan dan mencari-cari dimana rumah kami. Sudah hampir satu bulan tidak pulang ke rumah ternyata sudah banyak sekali yang berubah. Jika dipikir-pikir tidak mungkin kami salah masuk gang, karena tadi pun bertemu dengan rumah bude Narti pula.
Namun kemudian perhatianku dan ibu malah tertuju pada bude Narti yang berlari tergesa-gesa menghampiri kami.
"Ya ampun, malah ngebut saja kamu ini bawa motor," kata bude Narti dengan nafas yang sudah terengah.
"Maaf Bude, tapi aku dan ibu pengen buru-buru pulang. Tapi kok rumahku tidak ada ya? Ini bangunan siapa?" tanyaku pula pada dengan wajah yang makin bingung. Ibu pun mendekat dan menuntut penjelasan dari bude Narti.
"Ya ini rumahmu yang baru," jelas bude Narti yang tiba-tiba jadi tersenyum.
"Seseorang bernama Jodi yang memimpin pembangunan rumah mu kemarin," jelas bude Narti kemudian, nama Jodi adalah asisten pribadi mas Haris, aku juga mengenalnya cukup baik.
Namun semenjak aku memutuskan pergi, kami pun tidak pernah bertemu.
"Kata pria itu Alena sudah bertemu dengan ayah kandungnya, ayahnya adalah orang kaya, jadi rumah ini dibangun ulang, Jodi Jodi itu juga sudah membayar semua hutang-hutang mu. Di warung A sampai warung Z sudah lunas semua." jelas bude Narti.
"Motor ini juga sudah dibayar sama Jodi itu, uangnya sudah bude simpan di bank," timpal Bude Narti, ya, motor Matic ini memang milik beliau, tetangga yang senantiasa membantuku dan ibu.
"Ya Allah, benar itu Nar?" tanya ibu pula, disaat bude Narti tersenyum, ibu malah terlihat ingin menangis.
"Bener Husna, berani sumpah aku," jawab bude Narti kemudian. "Kalau tidak percaya, coba masukkan kunci rumah itu ke sana, masuk atau tidak," titah bude Narti, dia melihat kunci rumah yang sejak tadi sudah ku pegang di tangan kanan.
"Ayo Nduk, cepet," ajak ibu pula dan akhirnya kamu bertiga membuka gerbang berwarna putih tersebut, di dorong ke sisi kanan hingga terbuka.
Tetangga yang lain pun mulai berbondong-bondong pula untuk datang ke sini, semuan penasaran melihat seisi rumah tersebut.
Dengan perasaan ragu dan tangan gemetar, aku coba memasukkan kunci rumah tersebut, dan Ternyata cocok hingga pintu itu pun terbuka.
"Alhamdulillah," ucap ibu, sementara bude Narti dan beberapa tetangga yang sudah datang langsung mengucapkan Masya Allah.
Saat pintu rumah itu ku buka, aku mendapati sebuah rumah yang seperti istana.
Ya Allah, mas Haris. Batinku, sampai tak bisa berkata-kata.
Semua orang masih sibuk mengagumi rumah indah ini, meski hanya 1 lantai tapi luas sekali, semua perabot pun masih baru. Entah kemana semua barang-barang ku di rumah lama dulu.
Ku putuskan untuk menepi dari keramaian, ku ambil ponsel kecilku di saku celana. Ponsel Mokia 105 keluaran lama.
Dengan ragu akhirnya ku putuskan untuk menghubungi nomor ponsel mas Haris, kami sudah saling bertukar nomor ponsel sejak 2 minggu yang lalu. Nomor ponsel mas Haris ternyata sejak dulu tidak berubah, ujungnya masih tetap angka 1000. Sementara nomorku selalu berubah-ubah.
Tut Tut Tut! Bunyi panggilan ku terhubung.
"Assalamualaikum, Halo," jawab mas Haris di ujung sana. "Aku masih di taman bersama Alena," timpalnya.
"Waalaikumsalam Mas," jawabku ragu.
"Kenapa Nin?"
"Aku sudah tiba di rumah, Mas."
"Bagaimana? Apa ada yang kurang?"
"Ini terlalu berlebihan, Mas."
"Tidak, karena rumah itu nanti juga akan ditempati oleh Alena."
Aku terdiam.
"Semuanya aku lakukan demi Alena," ucap mas Haris lagi.
Dan membuatku makin tergugu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
semoga Namira mau mengalah ya, tapi ngk tau juga ya
2024-11-20
0
Mardiana
berawal demi Namira....
2025-02-25
0
andi hastutty
Smoga mereka bersatu
2024-08-15
0