Mas Haris benar-benar menepati ucapannya untuk membelikan ku ponsel baru. Jam 8 malam Jodi datang ke rumah sakit dengan membawa ponsel tersebut.
Ponsel seperti ini dulu aku juga pernah memilikinya, sebelum ku jual bersama barang-barang yang lain untuk pengobatan Alena.
Pertemuan pertamaku dengan Jodi yang terasa begitu canggung. Dulu kami adalah rekan kerja dan sekarang entah apa ini namanya. Kami duduk bersama di ruang tengah untuk membuka kotak ponsel ini, untuk memindahkan SIM card ku ke ponsel baru tersebut.
"Mana SIM card anda Bu? biar saya yang mengatur semuanya," kata Jodi.
Ya Allah, mendengar panggilan itu membuatku jadi merasa tak enak hati sendiri.
"Jangan panggil aku seperti itu, Jo. Panggil saja namaku," pintaku pula. Aku bukan siapa-siapa, aku hanya ibu dari anak mas Haris, bukan kekasih apalagi istri pria itu. Aku tidak ingin Jodi memperlakukan ku dengan berbeda. Seolah aku setara dengan mas Haris. Padahal usia kami pun sama.
"Maaf Bu, tapi aku tidak bisa melakukanya. Anda adalah ibu dari anak Pak Haris, jadi saya harus menghormati Anda," jelas Jodi, begitu formal bicaranya, membuatku merasa tak enak hati sendiri.
"Aku tidak nyaman jika kamu seperti ini," kataku pula, belum menyerah. Aku bahkan memasang wajah murung, memalingkan wajah enggan menatap ke arah Jodi.
"Kamu hebat Nin, kamu bertahan sejauh ini," kata Jodi kemudian, bukannya merasa senang mendengar Jodi yang sudah memperlakukan ku dengan biasa, aku justru merasa terenyuh sendiri. Kalimat itu sebenarnya begitu sederhana, namun langsung menyentuh hatiku.
Aku menunduk, mengigit bibir bawahku kuat, tak ingin sedih lagi. Toh sekarang keadaan Alena sudah membaik. Ku angkat wajah dan ku balas tatapan Jodi dengan bibir yang coba tersenyum.
"Nah, begini ... Ini baru Jodi temanku," jawabku mencoba riang, tak ingin lagi melihat kesusahan yang sudah ku jadikan kenangan. Biarlah itu jadi cerita perjuangan hidupku sendiri, aku tak ingin membaginya dengan orang lain.
"Tapi kamu sudah tidak cantik lagi, kamu terlihat kurus," kata Jodi.
Aku mendengus kesal.
"Setelah Alena keluar dari rumah sakit ayo kita makan diluar, ayam gepuk di depan kantor masih buka. Aku akan mentraktir mu banyak ayam gepuk," kata Jodi, menu ayam itu adalah favoritku selama ini. Tiap kali kami makan bersama pasti ayam itu yang aku pesan.
"Kamu membuatku sedih, Jo," kataku, ku kedip-kedipkan mata dengan cepat agar tak ada air mata yang jatuh.
"Bodoh, kenapa sedih? padahal aku sedang berusaha menghibur mu," kata Jodi pula.
Aku tak menjawab apapun, karena sekarang air mataku benar-benar jatuh. Tapi buru-buru ku hapus dan coba menghentikannya.
"Baiklah, akan ku tagih janjimu nanti," kataku kemudian.
"Hem, mana ponsel butut mu? Aku belum lihat," kata Jodi pula.
"Jangan menghina ku!" kesal Anin pula, ku lihat Jodi malah terkekeh.
"Tidak, aku hanya mengikuti apa kata pak Haris sore tadi. Katanya ponsel mu sangat butut, lebih mirip remot AC."
Aku menatap sinis, mas Haris dan Jodi malah menjadikanmu bahan tertawaan.
Ku keluarkan ponselku dari saku celana, ku berikan pada Jodi dan pria ini makin tertawa.
"Astaghfirullahaladzim, Ternyata benar-benar butut. Bahkan angka-angkanya mulai pudar," kata Jodi, tawanya makin terdengar dengan jelas. Jika mas Haris aku tidak akan berani melawan ledekannya, tapi jika Jodi tanganku rasanya gatal sekali ingin memukul.
Jadi ku ambil bantal sofa dan memukul lengannya. Tapi ternyata Jodi bisa menahannya dengan mudah, lalu mengambil bantal itu untuk dia simpan sendiri. Sedangkan tawanya masih saja menghiasi.
"Apa yang lucu?" tanya mas Haris hingga membuatku tersentak kaget, tawa Jodi bahkan langsung hilang saat itu juga.
Mas Haris suka sekali datang tiba-tiba seperti ini, dia seperti melayang sampai aku tidak mampu mendengar derap langkahnya.
"Maaf Pak, saya akan segera memasang SIM card ibu Anin di ponselnya yang baru," ucap Jodi kemudian, kini aku tau kami hanya akan bersikap formal seperti ini jika di hadapan mas Haris saja.
Setelahnya mas Haris duduk di sampingku.
"Dimana Alena, Mas?" tanyaku karena mas Haris datang sendiri, aku juga ingin mencairkan keadaan yang mendadak canggung. Mas Haris duduk dengan wajahnya yang nampak dingin.
"Alena bersama Ibu, bermain Barbie. Aku disuruh keluar karena barbienya mau pakai baju," jelas mas Haris.
Sungguh, Aku ingin tertawa ketika mendengar ceritanya. Tapi sekuat tenaga aku tahan diri agar tidak sampai mengeluarkan suara.
"Ini sudah selesai Pak, ponsel ibu Anin sudah bisa digunakan," jelas Jodi kemudian. Dia juga mengulurkan ponsel tersebut dan mas Haris menerimanya.
"Kalau sudah selesai pergilah."
"Baik Pak, saya permisi," jawab Jodi, dia berdiri dari duduknya dan menundukkan kepala memberi hormat. Kami hanya mampu saling pandang sebelum benar-benar berpisah.
Ku lihat mas Haris membuka-buka ponsel itu sejenak, lalu mengeluarkan ponselnya juga dan terlihat mengatur beberap hal, entah apa yang sedang dikerjakannya.
"Simpan ini," kata mas Haris, setelah dia selesai dengan urusannya sendiri, mas Haris menyerahkan ponsel ini padaku.
Aku menerimanya dengan canggung, lalu ku lihat wallpaper ponsel ini adalah foto kami bertiga sore tadi.
"Jangan canggung untuk menghubungi aku," kata mas Haris.
Aku mengangguk patuh, tentu saja aku akan selalu menghubunginya perihal Alena.
"Apa yang kamu bicarakan dengan Jodi tadi?" tanya mas Haris lagi.
"Tidak ada apa-apa Mas, hanya obrolan biasa."
"Obrolan biasa itu yang seperti apa?"
Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Mendadak pula kepalaku blank atas pertanyaan tersebut.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya mas Haris, mungkin karena aku hanya diam dia jadi mengajukan pertanyaan lagi.
"Jika Alena sudah keluar dari rumah sakit, Jodi ingin mengajak ku makan bersama. Di cafe depan kantor yang jual ayam gepuk," jelasku dengan rinci.
"Kamu ingin makan ayam gepuk? kenapa tidak bilang?"
"Bukan ingin Mas, Jodi hanya menawarkannya."
"Aku akan memesan ayam gepuk itu sekarang, yang di depan kantor kan?"
"Tapi kita kan sudah makan malam, Mas," jawabku dengan wajah yang mulai memelas, tak ingin mas Haris sampai melakukan ucapannya tersebut.
"Tidak apa-apa, biar berat badanmu cepat naik. Jadi harus sering makan malam."
Aku belum sempat bicara, namun mas Haris sudah lebih dulu melakukan pemesanan melalui aplikasi go-food.
Tidak sampai 20 menit pesanan itu pun tiba. 6 porsi ayam gepuk sudah tersaji di atas meja. Ada yang tidak pedas untuk Alena.Tapi Alena hanya boleh makan setengahnya, tidak boleh semua. Ada yang medium untuk ibu, dan yang lainnya pedas untukku dan mas Haris.
Tadi aku memang bilang tidak usah, tapi ketika semua ayam gepuk ini sudah di depan mata, air liurku pun mengalir.
"Makanlah, tidak usah sungkan," kata mas Haris.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ida Sriwidodo
Nah kaann.. benerrr..
Fix!
Ini mah Haris cemburu sama Jodi 🤪🤪🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤣🤣
2024-12-01
1
Katherina Ajawaila
Haris msh ada hati, org ibu nya anaknya. pasti ada ser2 ya thour 🤭
2024-11-20
0
komalia komalia
kaya nya gelagat nya cemburu deh
2025-02-19
0