Aku tentu tidak bisa menjawab ucapan pak Haris tersebut, jadi yang mampu aku lakukan hanyalah menganggukkan kepala.
"Benar, mama makan saja dulu, kata Mbah putri mama belum makan dari kemarin," sahut Alena, Mbah putri adalah panggilan Alena untuk ibu Husna.
"Iya iya, mama akan sekarang, makan yang banyak," jawabku pada Alena, lengkap dengan wajah yang ku buat antusias. Di hadapan Alena aku rela jadi badut agar gadis kecil itu selalu tertawa.
Dan lihatlah, kini dia pun tersenyum melihat tingkah ku tersebut. Melihat senyum Alena itu saja aku sudah merasa lega dan bahagia.
Setelahnya aku berbalik dan melewati pak Haris dengan kepala yang sedikit menunduk. Hari bahkan malam memang telah berlalu, tapi rasa canggung itu masih setia menemaniku tiap kali bertemu dengan ayahnya Alena.
Keluar dari kamar Alena, aku menatap ke sekeliling lebih dulu. Masih saja takjub dengan kemewahan di ruang VIP ini. Ku lihat ruang yang belum pernah ku datangi, mungkin di sana dapur dan meja makan itu.
"Anin, sini cepat duduk," ucap ibu yang ternyata sudah menunggu kedatanganku. Beliau bahkan menarik kursi mempersilahkan aku untuk duduk.
"Banyak sekali makanannya Bu, dapat darimana ini?" tanya ku terheran-heran. Aku bahkan belum duduk, masih menatap takjub dengan semua makanan di atas meja, ada sayuran, daging, ikan dan bahkan seafood.
Selama ini mana pernah kamu makan sebanyak ini, yang terakhir ku ingat aku dan ibu makan menggunakan tempe goreng. Tempe yang digoreng asin sekali, jadi bisa digunakan untuk lauk.
Semakin kesini uang kami memang telah habis, rumah juga sudah tergadai. Karena itulah aku sampai menemui pak Haris karena sudah tak ada lagi yang bisa dijadikan pegangan.
"Ibu juga tidak tahu Nin, pas ibu selesai mandi semua makanan ini sudah tersaji. Yang pasti pak Haris yang menyiapkan ini semua," jawab ibu, dia lalu mendorong pundakku turun hingga akhirnya aku duduk di kursi.
"Makanlah yang banyak, biar badanmu segar dan bisa merawat Alena dengan baik. Sekarang Alena sudah sehat, kamu juga harus kuat," ucap ibu panjang lebar.
"Iya Bu," jawabku, aku hanya diam saja melihat ibu yang banyak sekali meletakkan nasi di dalam piringku, lalu lauk pauknya pun tak kalah banyak.
Ini lebih mirip porsi makan seorang kuli bangunan.
"Baca doa dulu," kata ibu lagi dan aku segera membaca doa di dalam hati, bersyukur aku masih diberi nikmat untuk makan seenak ini.
Ibu menarik kursi dan ikut duduk di sampingku, beliau menatapi aku yang makan. "Ibu tidak makan?" tanyaku pula.
"Ibu tadi sudah makan, sekarang saja masih terasa sangat kenyang," jawabnya dengan bibir yang tersenyum.
"Pak Haris itu baik ya Nin, ibu kira dia jahat seperti orang-orang kaya yang di sinetron indosiram," kata ibu lagi, dia bicara terus.
"Tadi pak Haris bicara sama ibu, dia minta ibu untuk tidak canggung dengannya. Dia bilang akan menghormati ibu sebagai neneknya Alena," ucap ibu, masih bicara dengan bibir yang betah tersenyum.
Membuatku jadi ikut tersenyum juga, tapi aku tidak bisa banyak menanggapi karena sekarang pun mulut ku penuh dengan makanan.
Semua ini sangat enak.
Aku sampai membutuhkan waktu cukup lama untuk menghabiskan semua makanan di dalam piring tersebut.
"Sini, biar ibu yang cuci piringnya," ucap ibu, dia juga langsung mengambil piring kotor milikku ini.
Aku tidak bisa menolak karena sedang minum.
Selesai mencuci piring ku ibu kembali lagi ke kursinya, tapi belum sempat dia duduk tiba-tiba pak Haris datang ke sana.
"Tante, bisa tolong temani Alena sebentar. Dia sudah tertidur dan aku ingin bicara dengan Anindya," ucap pak Haris.
Deg! Jantungku langsung berdenyut nyeri, pak Haris seolah ingin menyelesaikan beberapa hal masih bersangkut paut diantara kami berdua.
Karena gugup ku peganng kuat gelas minum ku.
"Baik Pak," jawab Ibu pula, dia juga mendorong kursinya masuk sebelum akhirnya pergi meninggalkan dapur.
Sementara pak Haris masuk lalu pilih untuk duduk di hadapan ku. Aku hanya berani menurunkan pandangan, menatap temoat sayur dari keramik yang sudah ditutup rapi. Mangkuk Keramik dengan aksen bunga mawar merah yang sangat indah.
"Aku tidak tau harus mulai dari mana untuk bicara denganmu," ucap pak Haris.
Jantungku makin bergemuruh, sangat takut. Ini lebih mengerikan daripada saat aku salah dalam mengerjakan laporan.
"Maaf Pak, ini semua kesalahan saya. Semuanya terjadi diluar kendali saya," jawabku dengan suara yang bergetar. Aku yakin pak Haris bisa melihat dengan jelas ketakutan yang saat ini ku rasakan.
Tak ada jawaban dari pak Haris untuk beberapa saat. Namun meski begitu aku tetap tak berani menatap wajahnya.
"Terima kasih," kata pak Haris kemudian, dua kata yang makin membuatku tersentak.
Apa katanya? Pak Haris mengucapkan terima kasih?
"Terima kasih karena telah berjuang membesarkan Alena meski kamu dan ibu sudah tidak berdaya," ucap pak Haris.
"Terima kasih karena sudah menjadikan Alena anak yang sangat baik, kuat dan cantik," katanya lagi dan aku seketika menangis. Ku gigit bibir bawahku kuat agar tangis ini tidak pecah.
Ku kira aku akan di salahkan, akan dimaki dan dicerca habis-habisan. Tapi ternyata tidak, pak Haris justru mengucapkan kata terima kasih. Kata yang seolah sangat menghargai semua perjuanganku dan ibu selama ini. Dihargai seperti ini saja sudah membuat hatiku begitu terenyuh, makin tak kuasa untuk menahan diri agar tidak menangis, yang ada air mata inu makin mengalir dengan semena-mena.
Tidak hanya sampai di sana, pak Haris terus saja bicara ...
"Terima kasih karena membuat Alena tidak membenciku, mengatakan bahwa aku bekerja di luar Negeri, bukan mengatakan bahwa aku sudah mati," kata pak Haris.
"Dan yang terakhir ... aku ingin berterima kasih karena kamu menemui aku," ucap pak Haris, ku dengar suaranya pun bergetar. Aku tidak tau pergulatan batin seperti apa yang kini pak Haris rasakan.
Tapi dari semuanya ucapannya, aku mampu merasakan sebuah ketulusan.
"Ma-maafkan aku Pak, ini semua terjadi diluar kendaliku," jawabku lagi, hanya bisa bicara seperti ini terus, aku mendadak gagap ketika berada di hadapannya.
Sekarang aku bukanlah Anindya yang dulu, yang penuh percaya diri bahkan ketika menghadapi orang besar. Kini aku adalah Anindya yang rapuh, selalu malu dan tak percaya diri.
"Sekarang semuanya sudah terjadi Anindya, nyatanya ada Alena diantara kita berdua," jawab pak Haris dengan suara yang terdengar pelan, sepertinya dia pun lelah sekali.
"Saat Alena sembuh aku nanti akan membawanya pergi lagi, Pak. Aku tidak akan menunjukkan diri lagi, aku janji," jawabku pula, coba menyakinkan pak Haris bahwa aku tidak akan menuntut apapun, ku pastikan hidupnya tak akan terganggu karena aku dan Alena.
Namun sepertinya pikiranku tak sejalan dengan beliau, karena setelah aku bicara seperti itu, kini tiba-tiba pak Haris bicara dengan nada yang lebih tinggi.
"Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu Anindya? Alena butuh sosok ayah dan ibunya, meskipun kita tidak bersama tapi kita masih bisa jadi orang tua untuk Alena," jelas pak Haris gamblang.
"Jangan berpikir untuk pergi lagi, sekarang aku tau ada Alena, jadi aku tidak akan membiarkan kalian pergi," timpalnya lagi dengan suara yang terdengar makin menekan.
"Alena akan jadi bagian dari keluarga Pratama," jelas pak Haris dan seperti petir yang menyambar kepalaku.
Apa ini artinya Alena akan dia bawa pergi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eti Alifa
Sumpah ceritanya bagus banget thor👍🏻
pak Harisnya ga nyalahin Anin dan Aninnya ga maruk krna pak Haris kaya👍🏻🥰
Baru komen krna kaya terhipnotis dngn ceritanya👍🏻
2025-02-01
0
Mardiana
sampai disini alur ceritanya baik dan bagus, gak kasar dan frontal 👍👍🥰
2025-02-25
0
Katherina Ajawaila
semoga Haris punya etika baik ya thour
2024-11-20
0