"Aku akan menjelaskannya padamu secara gamblang, Anindya," kata pak Haris.
"Tatap mataku," katanya lagi dengan suara yang terdengar lebih menuntut.
Aku jadi terpaksa mengangkat wajah ini secara perlahan, langsung ku hapus semua air mata. Namun meski air mataku habis, tetap tidak bisa mengembalikan kedua mataku agar tidak sembab. Hidungku juga pasti masih terlihat merah.
Dengan sisa-sisa keberanian yang aku punya, ku tatap kembali sorot mata yang nampak tajam tersebut. Sejak dulu tatapan itu tidak berubah, selalu tegas. Apalagi kini beliau telah menjabat sebagai Presdir di perusahaan keluarganya.
"Ayo kita rawat Alena bersama, aku tidak ingin Alena kehilangan sosok ayah atau pun ibu," katanya dengan suara yang tenang namun tegas.
"Lihat kondisi mu sekarang, kamu lebih dari tidak layak untuk membesarkan Alena sendirian. Sementara aku sangat mampu."
Sungguh, kalimat pak Haris yang kali ini membuat hatiku kelu. Tentang hartanya memang tidak akan pernah ku adu. Aku hanya pilih diam, seraya terus memberanikan diri untuk menatap.
"Karena itu jangan berpikir egois lagi, meskipun Alena anak yang hadir dari kesalahan tapi dia juga anakku, darah dagingku,"
"Hanya melihat kedua matanya hatiku sudah berdegup Anindya, jantungku seperti ingin meledak.Aku selalu bertanya-tanya kenapa? Kenapa baru sekarang kamu datang. Jadi dia tidak akan menderita selama ini,"
"Aku mengutuk diriku sendiri."
Ku lihat sorot mata yang tajam itu kini jadi sendu, ada pula cairan bening yang mulai menggenang di kedua matanya.
Ya Allah, batinku. Hanya mampu menyebut nama Tuhan agar hatiku tenang.
"Jujur, aku memang masih sangat kecewa padamu, aku ingin marah. Tapi aku coba menekan semua rasa itu. Aku tidak bisa menghakimi kamu," kata pak Haris lagi.
"Aku sudah melunasi semua hutang mu, rumahmu tidak akan disita oleh Bank. Selama tinggal di sini, rumah itu akan direnovasi. Dapur dan terasnya sudah bocor parah," timpal pak Haris kemudian.
Kalimat yang membuat tenggorokan ku tercekat, ternyata dia telah menyelediki tentang aku. Dia telah melihat sisi kehidupanku yang miris.
Ku lihat tangannya bergerak mengambil sesuatu di dalam celananya, entah apa. Namun setelah beberapa saat kulihat ternyata dia mengambil dompet. Lalu mengekuarka sebuah kartu berwarna platinum. Dari rupanya saja terlihat begitu indah.
"Pakai uang di kartu ini untuk kehidupan mu dan ibu, passwordnya sudah ku atur tanggal lahir Alena," kata pak Haris.
Ternyata dia pun telah mengingat tanggal lahir Alena, dia benar-benar telah mencari semua informasi tentang aku dan Alena, bahkan mungkin ibu juga.
"Aku akan bertanggung jawab padamu dan Alena, jadi jangan berpikir untuk pergi lagi. Kita besarkan Alena bersama-sama," ucap pak Haris dengan suara yang terdengar lebih lembut.
Aku hanya mampu mengangguk, "Terima kasih Pak, karena Bapak sudah melunasi semua hutang saya. Saya berjanji akan membayarnya suatu saat nanti dan maaf saya tidak bisa menerima ini," jawabku, setelah sejak tadi diam, kini aku mulai buka suara. Ku dorong kartu debit berwarna platinum tersebut, untuk kembali mendekati sang pemilik.
"Jangan keras kepala Anin, jangan membuatku semakin merasa bersalah pada kalian. Ambil kartu itu atau aku yang akan memaksamu," balas pak Haris.
"Ambil," titahnya lagi, lalu benar-benar menarik tanganku untuk mengambil kartu tersebut.
"Tidak ada hutang diantara kita berdua, aku membantumu itu sama saja aku sedang menafkasi anakku. Jadi jangan salah paham, mengerti?" tanyanya pula.
"Rumah itu ku renovasi karena itu juga adalah rumah milik Alena, iya kan?" tanyanya terus menyudutkan aku. Membuatku tak bisa membantah meski hanya sedikit.
Aku mengangguk lagi.
"Aku ingin kita mengambil keputusan bersama tentang Alena, Nin. Tuhan masih memberi kesempatan kedua pada kita untuk membahagiakan Alena. Jadi ayo kita tepis ego kita masing-masing, kita lakukan yang terbaik untuk jadi orang tua."
Aku mengangguk lagi, "Terima kasih Pak," jawabku yang hanya bisa mengucapkan terima kasih.
"Berhenti lah memanggil ku Pak, jika tidak bisa memanggil papa seperti Alena, cobalah untuk memanggilku Mas. Sekarang aku bukan lagi atasanmu," kata pak Haris.
Aku terdiam dan lagi-lagi mengangguk.
"Saat kondisi Alena sudah lebih baik, aku akan mempertemukannya dengan Namira dan keluargaku. Namira itu tunanganku, dia yang akan jadi ibu sambung Anin. Boleh kan?"
"Boleh, Pak," jawabku dengan cepat. Ini juga lah yang ingin aku dengar, jadi jelas apa hubungan diantara kami, jadi orang tua untuk Alena tanpa perlu kami bersama. Pak Haris berhak untuk terus melanjutkan rencana hidupnya, tanpa terbebani oleh aku dan Alena.
Mendengar penjelasan itu aku akhirnya bisa bernafas lega, jika tadi aku menggenggam gelas untuk menahan diri agar tetap kuat, kini aku menggenggam kartu debit ini.
"Di hadapan Alena usahakan untuk tidak memanggilku Pak. Ya?"
"Maaf Pak, iya Mas," jawabku dengan cepat pula. Dalam semalam pak Haris sudah melakukan banyak hal untuk aku dan Alena. Jadi sekarang pun aku akan melakukan yang terbaik juga. Tak ingin sembunyi dari rasa tak percaya diri. Bagaimana pun aku, aku tetaplah ibu Alena.
Banyak sekali hal yang kami bicarakan berdua, kesepakatan bersama yang benar-benar dibicarakan secara matang. Semua rencana yang hanya tertuju untuk Alena. Anak ku, tidak, sekarang bukan hanya anakku saja, tapi juga anak mas Haris.
Ya, ku putuskan untuk pilih memanggilnya Mas. Memanggil Papa terasa begitu mendebarkan jiwa, aku tidak sanggup.
Jika memanggil Mas pada seorang pria sudah sering ku lakukan, pada petugas rumah sakit aku juga memanggil Mas, pada tukang parkir juga aku memanggil Mas, jadi ini tidak terlalu sulit.
"Aku sudah mengatakan pada dokter di IGD bahwa kamu akan turun untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Jadi sekarang turunlah ke sana dulu, aku yang akan menjaga Alena," kata pak Haris.
"Tapi Mas, aku sehat-sehat saja. Aku tidak butuh berobat," jawabku dengan cepat, keputusan apa itu? membuatku kaget saja.
"Kalau kamu sehat-sehat saja, dokter pasti hanya akan memberimu vitamin," jawab pak Haris kemudian.
Aku mendessah pelan, dia sampai bertindak sejauh ini mungkin karena melihat kondisi ku yang mengenaskan.
Dan apa aku bisa menolak semua kehendaknya? Tentu tidak bisa, mas Haris pasti akan berkata, lakukan atau aku yang akan memaksamu!
"Baik, Mas," jawabku, akhirnya hanya bisa pasrah.
Untuk beberapa hal aku memang tidak bisa membantahnya, tapi jika suatu saat nanti beliau berubah pikiran dan tiba-tiba ingin mengambil Alena dariku, maka aku tak akan segan untuk melawan.
Meskipun aku miskin, tapi aku akan mengupayakan apapun untuk Alena.
"Pergilah, aku akan lihat Alena," titah mas Haris kemudian, dia bahkan bangkit lebih dulu, lalu menatapku, membuatku pun jadi berdiri juga.
"Iya Mas," jawabku dan akhirnya dia pergi. Kutatap punggungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Khoerun Nisa
PK Haris yg bocor itu atap kali bukn teras
2025-02-01
0
Mardiana
pak Haris gercep buat anaknya 🥰
2025-02-25
0
Katherina Ajawaila
Walah udh punya calon istri
2024-11-20
0