Pagi pun datang.
5 menit yang lalu mas Haris sudah pamit padaku dan Alena bahwa dia akan pergi sebentar, menjemput seseorang yang akan dikenalkan pada Alena.
Kini sebelum Namira datang aku bertugas untuk memberi pengertian pada Alena, siapa Namira untuk mas Haris, untukku dan juga untuk Alena.
"Jadi tante Namira itu adalah calon istrinya Papa, nanti Alena juga harus memanggil Tante Namira dengan sebutan Mama," jelasku. Diantara kedua tanganku yang sibuk menyisir rambut Alena, mengikatnya rapi agar tampil cantik ketika menyambut Namira.
"Istrinya Papa ada dua? Mama dan Tante Namira?" tanya Alena pula.
Dan aku harus segera meluruskan tentang hal ini, "Tidak sayang, bukan seperti itu. Mama dan papa sudah lama berpisah, jadi nanti istri satu-satunya papa adalah mama Namira."
Alena terdiam, nampak berpikir dan aku tidak tau apa yang sedang dipikirkannya. "Mama Anin, mama Namira dan papa Haris akan jadi orang tua Alena. Alena senang kan? Sekarang akan banyak orang-orang yang akan menyayangi Alena, bukan hanya mama dan Mbah Putri saja," jelasku kemudian.
Ibu yang sedang melipat baju di sofa pun mendengar pula ucapanku tersebut, tapi dia tidak ingin ikut campur. Telah menyerahkan semua keputusan itu padaku dan mas Haris.
Alena masih diam saja, nampak serius sekali berpikirnya. Sampai aku selesai mengikat rambutnya, Alena masih betah diam.
"Selesai! Sekarang Alena sudah cantik, kita siap menyambut mama Namira datang," kataku dengan antusias.
"Mama Namira itu seorang dokter anak, sama seperti dokter Anton. Jadi nanti mama Namira pasti akan sangat menyayangi Alena," ucapku.
"Benarkah?" tanya Alena, yang mulai tertarik dengan pembicaraan ini.
"Tentu saja, karena itulah mama bilang nanti Alena akan memiliki banyak orang-orang yang menyayangi Alena. Alena senang kan?"
"Iya," jawab Alena, akhirnya ku lihat anakku kembali tersenyum dengan lebar.
Alhamdulillah. Semoga saja tidak ada hambatan apapun. Hingga kami semua bisa hidup dengan rukun.
"Sekarang ayo kita bantu Mbah Putri untuk melipat baju, jadi ketika mama Namira datang semua tempat sudah rapi."
"Siap, Ma," jawab Alena dengan antusias. Setelah jantungnya membaik kini Alena bisa bicara dengan suara tinggi seperti ini. Dulu saat masih sakit Alena benar-benar seperti dipenjara, tak bisa melakukan banyak hal, bahkan hanya sekedar melompat dan bersuara tinggi bisa membuat jantungnya berdebar.
Ku letakkan sisir Alena di atas meja, lalu kami bersama-sama menghampiri Mbah Putri.
*
*
Jam 9 pagi akhirnya seseorang yang sudah kami tunggu-tunggu pun datang. Mas Haris membawa masuk seorang wanita yang sangat cantik. Meski usia kami sama, tapi ternyata wajahku nampak lebih tua darinya.
Kecantikan kami tidak perlu diadu, tentu Namira lah pemenangnya. Aku bahkan sangat menyukai kecantikannya tersebut.
Ku sambut kedatangan mereka dengan senyum yang terukir lebar. Mas Haris juga langsung menggendong Alena hingga membuat gadis kecilku itu tidak merasa canggung.
"Namira, ini adalah Anindya, mamanya Alena," ucap mas Haris memperkenalkan kami.
"Anin," kataku pula seraya mengulurkan tangan kanan. Alhamdulillah uluran tanganku ini disambut dengan baik ...
"Namira," katanya dengan suara yang begitu lembut. Dia bahkan menggenggam tanganku cukup kuat, membuat perkenalan ini jadi terasa hangat.
"Dan ini Mbah Putrinya Alena, ibu Husna," ucap mas Haris lagi.
Yang terakhir mas Haris mengenalkan Alena yang ada digendongannya pada sang calon istri.
"Yang paling cantik ini adalah Alena, anakku sayang," jelas mas Haris.
"Halo Alena cantik, Tante adalah Tante Namira," jelas wanita cantik tersebut. Entah kenapa aku senang juga saat pertemuan pertama ini Namira masih menyebut dirinya sebagai Tante. Seolah tak ada paksaan yang ingin dia tunjukkan.
"Halo Tante, Tante juga sangat cantik. Kata mama, nanti Tante juga akan jadi mamaku, apa benar?" tanya Alena langsung.
Ku lihat Namira melihat ke arah mas Haris, keduanya seolah saling bicara dari tatapan itu. Namira seperti meminta izin untuk menjawab seadanya dan mas Haris mengangguk kecil.
Memberi kesempatan penuh pada Namira untuk berkomunikasi dengan Alena.
"Apa boleh Tante Namira jadi mamanya Alena juga? Jika boleh Tante akan sangat senang," jawab Namira pula.
"Tentu saja boleh, nanti aku jadi memiliki dua Mama. Kata mama Anin akan banyak yang akan menyayangi aku," celoteh Alena.
"Tentu sayang, Tante akan sangat menyayangi Alena," kata Namira seraya mengelus pipi Alena dengan lembut.
Pertemuan pertama ini berjalan dengan sangat baik. Aku juga memberi kesempatan pada mas Haris, Alena dan Namira untuk bersama. Bertiga, agar perkenalan itu terasa lebih intim.
Aku juga tersenyum saat mendengar Namira berhasil membuat Alena tertawa.
"Ibu lihat Namira itu sangat baik ya. Sama seperti Haris," ucap ibu. Kami berada di dapur, aku mengiris buah dan ibu menemani.
"Iya Bu, aku senang sekali melihatnya. Dia itu dokter Anak, kata mas Haris juga pernah menangani pasien transplantasi jantung. Jadi Namira pasti sangat tau kondisi Alena saat ini."
Ibu mengangguk setuju.
Saat kami masih berbincang seperti ini tiba-tiba Namira datang ke dapur.
"Bu, Mbak Anin," sapa Namira. Dia memanggil ku mbak agar lebih sopan katanya, setelah mengulik umur kami akupun lebih tua beberapa bulan.
"Namira, mau ambil apa? Biar ibu ambilkan," sahut ibu, dia sudah bersiap menjalankan perintah.
"Tidak Bu, tidak. Aku hanya ingin bicara dengan mbak Anin," jawab Namira, dia malah telihat tidak enak hati sendiri melihat sikap ibu itu.
Namira seolah tak ingin diperlakukan dengan spesial, dia masih bisa menangani kebutuhannya sendiri.
"Baiklah kalau begitu, kalian bicaralah, Ibu akan ke depan," jawab ibu.
"Terima kasih, Bu," balas Namira pula. Aku pun meletakkan irisan buahku. Meski belum selesai namun ku putuskan untuk cuci tangan. Ku lap kering lalu mengajak Namira untuk duduk di meja makan.
Pembicaraan seperti ini memang tak bisa dihindari. Aku dan Namira harus meluruskan beberapa hal.
"Maaf Mbak jika kedatangan ku mendadak, mas Haris padahal sudah berulang kali mengatakan padaku untuk menunggu," kata Namira.
"Tidak apa-apa Namira, mbak yang harusnya minta maaf. Pernikahanmu dan mas Haris jadi diundur gara-gara kami," jelasku pula, benar-benar ku tunjukkan pula rasa penyesalanku.
Aku juga baru tau semalam tentang hal ini, mas Haris mengatakan bahwa pernikahannya dengan Namira terpaksa diundur karena mas Haris masih mementingkan kesehatan Alena. Namira telah banyak berkorban karena itulah mas Haris tak bisa menolak lagi saat Namira mengatakan dia ingin bertemu dengan Alena.
"Maafkan Mbak karena tiba-tiba hadir di hidup kalian."
"Jangan minta maaf Mbak. Awalnya aku juga terkejut mendengar kabar ini. Tapi ini semua terjadi bahkan sebelum aku menjalin hubungan dengan mas Haris. Jadi aku tidak akan menyalahkan kalian berdua," jawab Namira.
"Alena adalah anak yang kuat, dia telah berjuang untuk bertahan sejuah ini. Jadi ayo kita hidup rukun demi Alena. Izinkan aku untuk menyayanginya juga," pinta Namira kemudian.
Sungguh, aku begitu terharu ketika mendengar ucapannya tersebut. Ternyata benar, Namira adalah wanita yang sangat baik.
Kami juga bertukar nomor ponsel, Namira bilang dia ingin tau semua perkembangan kesehatan Alena. Karena tak bisa sering-sering datang ke rumah sakit jadi dia ingin aku yang terus mengabari.
Kami saling menerima satu sama lain, itulah kenapa meski baru pertama kali bertemu rasanya sudah sangat dekat.
Siang ini kami juga makan bersama di ruangan ini. Alena mulai belajar memanggil Namira dengan sebutan Mama.
Awalnya hatiku sedikit tercubit saat mendengar panggilan itu. Meski mulutku berucap tidak apa-apa, tapi tetap saja rasanya tak rela mendengar Alena memanggil wanita lain dengan sebutan Mama.
Namun aku harus membiasakan diri, menjadikan rasa sakit ini sebagai temanku.
Karena dengan begini kami bisa hidup rukun.
"Mama Namira, aku mau minum," pinta Alena.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
komalia komalia
tapi cerita nya cuma gumaman anin aja engga ada prop haris mya
2025-02-19
0
Mardiana
mudah mudahan Namira tulus ya
2025-02-25
0
andi hastutty
Jadi nyesek sendiri di posisi anin
2024-08-15
1