Ku putuskan untuk kembali ke kamar Alena. Mencoba untuk tidak memikirkan atau membayangkan apapun tentang mas Haris dan Namira. Biarlah mereka berdua dengan kehidupannya dan aku dengan kehidupanku sendiri.
Hampir satu bulan bersama mas Haris membuat pikiranku kacau, tiap detik aku berusaha untuk kembali jadi Anin yang dulu. Yang tidak pernah berdebar hatinya selain melihat senyum Alena.
Sudah berbaring di samping Alena aku pun memejamkan mata. Tidur nyenyak sekali. Saat aku terbangun waktu sudah menunjukkan jam 3 sore. Ternyata aku tidur sudah ada 1 jam lamanya.
"Sayang," panggilku pada Alena, ku bangunkan juga bidadari kecilku ini. Alena menggeliat dan langsung membuka mata.
"Ma," panggil Alena, lalu memeluk ku pula. Ku balas pelukan itu dengan begitu lembut.
"Sudah ya tidurnya, ini sudah mau sore. Ayo kita bangun," ajakku.
"Iya Ma. Dimana papa?"
"Papa sedang pergi mengantarkan mama Namira pulang, nanti malam papa akan ke sini lagi."
Alena terdiam, membuatku jadi cemas sendiri. "Alena kenapa?" tanyaku, coba mengulik informasi dari gadis kecil ini, agar aku tau apa yang membuat Alena murung.
"Tidak apa-apa Ma," jawab Alena, lalu memelukku semakin erat.
"Boleh mama bertanya sesuatu padamu?" tanyaku, jadi ingin bicara banyak hal dengan Alena.
"Apa Ma? Aku akan menjawabnya."
"Bagaimana dengan mama Namira? Dia baik kan?"
"Iya, mama Namira sangat baik, aku menyukainya."
"Alhamdulillah kalau begitu, mama senang sekali."
"Aku juga senang jika mama bahagia, karena aku melakukan ini semua juga demi mama."
"Apa maksud Alena?" tanyaku dengan dahi yang mulai berkerut. Alena akhirnya bercerita tentang isi hatinya.
"Selama ini Mama tidak pernah meminta apapun padaku, satu-satunya permintaan mama adalah memintaku untuk memanggil Tante Namira dengan sebutan Mama. Jadi ku lakukan ini demi Mama. Meskipun sebenarnya mamaku hanya satu, mama Anin dan tidak akan pernah ada yang lain."
Ya Allah. Setelah mengetahui semuanya kini malah aku makin nelangsa. Jawaban Alena mengisyaratkan bahwa dia belum siap dengan ini semua, banyak orang baru yang tiba-tiba hadir di dalam hidupnya.
Dan kini tiba-tiba ada Mama baru pula, mungkin dia takut aku akan pergi.
Kupeluk Alena seolah tak akan pernah pisah. "Maafkan Mama sayang, tapi percayalah mama Namira juga akan jadi mamamu yang paling baik. Mama Namira akan sangat menyayangi Alena juga," kataku.
"Iya Ma," jawab Alena penuh pengertian.
"Tapi mama harus janji satu hal padaku, tidak akan pernah meninggalkan Alena untuk selamanya," tuntut Alena.
"Tentu sayang, sampai kapanpun mama tidak akan pernah meninggalkan Alena. Mama akan selalu bersama Alena, sekarang dan selamanya."
"Janji," kata Alena, dia mengulurkan jari kelingkingnya padaku. Ku terima uluran jari itu hingga jari kelingking kami jadi saling bertaut.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya mas Haris yang tiba-tiba masuk ke kamar, ternyata dia sudah kembali ke sini. Ku pikir mas Haris akan kembali saat malam hari.
"Papa," sahut Alena pula, dia seketika bahagia sekali melihat papanya datang. Apalagi tadi aku berkata bahwa mas Haris mungkin akan kembali saat malam, dan seperti sebuah kejutan kini tiba-tiba papanya datang.
Jadi Alena sebahagia ini.
"Apa yang Alena dan mama lakukan tadi? terlihat mencurigakan," kata mas Haris, matanya jadi sipit menatap ke arah Alena. Membuat gadis kecilku jadi tertawa.
Aku putuskan untuk bangun dan jadi duduk di atas ranjang itu. Aku dan Alena duduk di tengah-tengah ranjang, sementara mas Haris duduk di tepian.
"Aku dan mama baru saja membuat janji," jelas Alena.
"Janji apa?" tanya mas Haris.
"Bukan apa-apa Mas, hanya janji biasa," sahutku dengan cepat, tak ingin pembicaraan ini jadi panjang, karena Aku tidak bisa menebak bagaimana ujungnya.
Tapi Alena seperti punya misi sendiri, dia tidak peduli dengan kata-kata ku dan malah menjelaskan dengan rinci.
"Mama sudah berjanji bahwa mama tidak akan pernah meninggalkan ku selamanya, apa papa juga bisa berjanji seperti itu padaku?" tanya Alena.
Aku sontak terdiam, menelan ludahku sendiri dengan susah payah.
"Tentu saja, Papa tidak akan pernah meninggalkan Alena," jawab mas Haris tanpa keraguan sedikitpun.
"Papa janji tidak akan pernah meninggalkan aku dan mama?" tanya Alena lagi.
Dan kali ini mas Haris memberi jeda untuk menjawab pertanyaan itu, sebelum akhirnya dia menjawab ... "Iya sayang, papa janji. Papa tidak akan pernah meninggalkan kalian berdua, Alena dan mama."
"Yee!! Papa sudah janji ya! Awas kalau bohong, aku akan sangat marah," balas Alena. Alena bahkan langsung memeluk papanya dengan erat.
"Sini Ma, ayo kita peluk papa sama-sama," ajak Alena.
Aku tergugu, hanya mampu menatap kedua mata mas Haris dengan gamang. Ku lihat mas Haris mengulurkan tangannya padaku. Memintaku untuk menggenggamnya.
Sedangkan Alena menatap ku dengan tatapan penuh harap.
Maafkan aku Namira. Batinku, meski ini semua demi Alena tak seharusnya kami seperti ini. Tapi apa yang bisa kulakukan? Untuk mundur pun sulit aku lakukan.
Pada akhirnya ku gerakan tangan kananku dan mendarat di tangan mas Haris yang terasa hangat. Dia genggam tanganku dengan erat.
Alena langsung mencium pipi papanya saat melihat pemandangan ini. Dia bahagia sekali. Kesedihannya atas mama Namira seolah hilang begitu saja.
Sebab dia yakin meski ada mama Namira dia tidak akan pernah kehilangan kami berdua. Karena Alena telah mengikat kami dengan janji.
"Ayo kita ambil foto bersama?" ajak mas Haris. Aku tentu terkejut, baru saja bangun tidur tapi tiba-tiba dia mengajak untuk foto bersama.
"Ye! Ayo! Aku mau," sahut Alena dengan semangat.
"Pakai ponselmu ya?" tanya mas Haris padaku. Membuatku tersenyum kikuk.
"Maaf Mas, ponsel ku tidak bisa untuk ambil foto," jawabku lirih.
"Tidak bisa? Apa maksudmu?"
"Karena ponsel mama tidak ada kameranya Papa." Alena yang menjawab, ku lihat mas Haris mengerutkan dahinya seolah bingung. Mungkin dia heran ponsel apa yang tidak ada kameranya.
"Mana ponselmu?" tanya mas Haris pula, lalu ku ambil ponselku yang tadi ku letakkan di atas nakas. Pergerakanku ini membuat genggaman tanganku dan mas Haris jadi terlepas.
"Astaghfirullah, jadi ini ponselmu. Ku pikir ini remot AC," kata mas Haris dan Alena malah tertawa.
"Nanti akan ku minta Jodi untuk membelikanmu ponsel baru."
"Tidak usah Mas."
"Apa yang tidak usah? Saat Alena boleh pulang nanti kita akan sering melakukan video call."
Aku terdiam.
"Kalau begitu kita ambil foto dengan ponsel papa saja," kata mas Haris kemudian.
"Ye!!" sahut Alena yang selalu antusias.
Sungguh, sebenarnya aku sangat malu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana bentuk wajahku sekarang.
Alena turun dari pangkuan sang ayah, dia kembali duduk di sampingku. Mas Haris kemudian naik ke atas ranjang dan akhirnya kami bertiga mengambil foto di sana. Foto yang seolah menunjukkan bahwa kami adalah keluarga yang bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Ida Sriwidodo
Jadi pen' komen disni..
Kayaknya Haris ini memang suka sama Anin.. makanya semudah itu menerima Alena dan melakukan semua untuk kenyamanan Alen.. dan Anin (sebenarnya) 🤔🤔🤔
2024-12-01
0
Dewa Dewi
😂😂😂😂😂😂
2025-03-10
0
Katherina Ajawaila
Alene cerdik, keren lah
2024-11-20
0