"Saya akan memasang infus untuk Anda," ucap seorang dokter, seraya bergerak menyiapkan segala sesuatunya.
"Tapi saya baik-baik saja, Dok. Saya tidak merasa sakit," ucapku pula, aku benar-benar turun ke ruang IGD dan sekarang mendadak mendapatkan perawatan seperti ini.
"Infus ini hanya vitamin ibu Anin, suplemen. Saat infusnya habis anda boleh meninggalkan IGD, nanti saya resepkan vitamin tambahan untuk anda konsumsi sehari-hari," jelas sang dokter pula, bicara lebih rinci tentang penanganannya untukku.
Aku tak bisa lagi menolak, saat tangan kananku diminta dan dokter tersebut memasang infusnya dengan cepat sekali. Aku sampai tidak merasa kesakitan.
"Anda istirahat lah dulu, sekitar 3 jam infus ini akan habis dan saya akan melepaskannya," kata dokter wanita tersebut. Setelahnya dia memanggil seorang perawat untuk datang menemani aku.
Membuatku jadi merasa tidak enak hati sendiri. "Mbak, saya tidak usah ditemani. Saya tidak apa-apa," ucapku coba memberi pengertian pada perawat tersebut.
Namun perawat itu justru tersenyum, malah menarik kursi dan duduk di samping ranjangku.
"Tidak apa-apa ibu Anin, sekarang menemani Anda adalah tugas saya," jawabnya dengan sangat ramah.
"Tapi mbak, setahu saya tidak ada pasien yang ditemani perawat seperti ini." Aku protes, apalagi aku adalah pasien yang biasa-biasa saja, bukan yang sakit keras hingga harus mendapat pengawasan intensif.
Selama ini saja Alena kami yang jaga, bukan para perawat.
"Ada beberapa pasien yang dijaga langsung oleh perawat seperti ini, salah satunya ibu Anindya, sebab pak Haris sudah membayar lebih untuk semua fasilitas ini. Jadi ibu Anin jangan merasa tidak enak hati lagi. Istirahat lah, saya akan temani." jawabnya makin ramah saja, bahkan menarik selimutku lebih baik agar aku nyaman.
Ya Allah. Batinku.
Sampai seperti ini mas Haris melakukan semuanya, membuatku jadi semakin merasa tak enak hati sendiri.
Padahal dia menerima Alena dengan baik saja sudah membuat aku merasa sangat bersyukur, tapi sekarang dia pun memperlakukan aku dengan baik juga.
Dan benar saja, selang 3 jam berlalu infus ditanganku habis. Tadi aku sempat tertidur selama 2 jam, kini rasanya tubuh ku benar-benar lebih segar daripada sebelumnya.
Dokter yang tadi memasang infus, kini pun datang lagi untuk melepaskannya. Padahal pekerjaan ini biasa dilakukan oleh para perawat tapi sekarang beliau sendiri yang mengerjakannya.
"Ini adalah obat yang harus anda konsumsi setiap hari, minum saat pagi dan malam," terang dokter tersebut.
"Terima kasih, Dok."
"Sama-sama ibu Anin, jika ada keluhan apapun silakan datangi ruangan IGD saya akan langsung menangani anda."
"Terima kasih, Dok," jawabku dengan kepala yang menunduk. Dengan semua uang dan kuasa mas Haris kini hidupku pun ikut berubah juga.
Tapi mana boleh selamanya Aku menggantungkan hidup pada pria itu, ada saatnya aku pun harus mencari pegangan hidupku sendiri.
Mungkin mas Haris bisa ikhlas membantuku terus, tapi bagaimana dengan keluarga dan calon istrinya. Aku tidak ingin malah mengacaukan kehidupan mas Haris.
Setelah semua urusan selesai di ruang IGD tersebut, aku pun langsung memutuskan untuk menuju ruang VIP dan menemui Alena. Pergi tadi aku tidak sempat pamit dengannya, semoga saja Alena tidak mencariku.
"Anin, kamu sudah kembali Nduk," sapa ibu, yang pertama kutemui ketika sudah masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Iya Bu, aku temui Alena dulu ya."
"Cuci tangan dulu."
"Iya Bu," jawabku patuh, aku sedikit berlari menuju dapur dan mencuci bersih tanganku ini. Setelahnya aku mendatangi kamar Alena dan langsung disuguhi pemandangan indah itu. Alena yang sedang makan dari tangan mas Haris langsung.
Jika disuapi Alena memang tidak suka memakai sendok, dia lebih suka disuapi menggunakan tangan.
"Mas," panggilku pada mas Haris.
"Aku suapi Alena dulu, setelahnya aku akan keluar," jawab mas Haris, entah pendengaran ku yang salah atau bagaimana. Tapi ku dengar suaranya begitu lembut, hangat menerpa telingaku.
"Iya Mas," jawabku kemudian.
Alena melambai karena dia pun tau tak boleh lebih dari satu orang yang menemaninya untuk beristirahat.
Alena harus selalu tenang.
Jadi aku kembali lagi ke ruang tengah dan bertemu ibu di sana. "Alena sedang makan Bu," ucapku lalu ikut duduk.
"Kamu makan dulu juga sana, pasti lapar lagi kan?"
"Enggak Bu, aku masih kenyang. Apa ibu mau makan? Ayo aku temani."
"Tidak, tidak, daritadi ibu di suruh makan buah sama Haris. Jadi ibu juga sudah kenyang."
"Haris?" tanyaku dengan kedua mata yang menatap heran. Bagaimana bisa ibu jadi seberani ini, aku saja masih gugup-gugup saat merubah nama panggilan.
Kulihat ibu malah tersenyum-senyum, tidak langsung menjawab rasa penasaranku.
"Iya, nak Haris bilang ibu tidak boleh merasa canggung dengannya. Katanya sekarang dia bukan lagi atasanmu, tapi ayah dari Alena. Jadi ibu diminta untuk memanggil namanya saja," jelas ibu, dia mengelus punggungku dengan lembut, sedikit dipijatnya juga, jika sudah seperti ini ibu pasti sedang merasa bahagia.
Aku pun tersenyum. Entah bagaimana rasa mengungkapkan isi hatiku saat ini. Tak bisa ku pungkiri aku merasa bahagia atas semua sikap pak Haris.
Alhamdulillah, batinku pula.
"Ibu senang sekali, karena Haris juga sangat menyayangi Alena. Tidak ada yang bisa membuat ibu sebahagia ini, selain saat melihat Alena yang berbahagia."
"Iya Bu," jawabku setuju, keutamaan kami memang hanyalah tentang kebahagiaan Alena, tidak ada yang lain.
Aku memeluk ibu, selama ini ibu pun telah banyak berjuang gara-gara aku. Selain membahagiakan Alena, aku juga ingin membahagiakan ibu.
"Anin," panggil Mas Haris, tiba-tiba dia sudah berada di belakang kami dan membuatku meleraikan pelukan pada ibu.
Tangan kanannya ku lihat sedikit kotor, sementara tangan kirinya memegang piring.
Aku lantas buru-buru bangkit dan hendak mengambil piring itu, tapi beliau justru mengelak.
"Temui Alena saja, dia juga sudah menunggu mu," ucap mas Haris. Dia kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku.
Membuatku kembali menoleh pada ibu, "Sana pergilah, Alena sudah menunggu mu," katanyam
"Iya Bu."
Aku tersenyum lebar dan segera melangkah menuju kamar Alena. Ku lihat anak cantik itu menyambut ku dengan wajahnya yang riang.
"Hebat lo, makannya tadi habis mama lihat," kataku, tadi piring di tangan kiri mas Haris sudah kosong.
"Iya dong, kata papa aku anak yang kuat, hebat dan cantik. Jadi makannya harus habis," jawab Alena, begitu antusias saat dia menjawab.
"Hem, mentang-mentang sudah ada papa. Sekarang mama jadi dilupakan," puraku pura-pura sedih.
Alena malah tertawa, tapi memang tawa itulah yang ingin aku dengar.
"Iya, kata papa ayo kita lupakan mama sejenak, kita habiskan waktu berdua."
"Benar papa bicara seperti itu? Hih Mama cubit nanti," wajahku nampak kesal dan Alena jadi tertawa lagi.
"Aku ingin cepat sembuh Ma, aku ingin segera bermain dengan mama dan papa di rumah," ucap Alena setelah tawanya mereda.
Dan membuat senyumku perlahan jadi hambar.
"Aku ingin menunjukkan pada teman-temanku, bahwa papaku sudah pulang," kata Alena lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eti Alifa
q suka sosok Anin pnya harga diri tinggi ga nglunjak semiga Anin dpt jodoh sprti Haris, krna Haris sdh pnya tunangan yaitu namira.
2025-02-01
0
Katherina Ajawaila
kasihan Alena., apa Amira mau Terima Alena, kita lihat aja nanti
2024-11-20
0
Alanna Th
apakh alena akan mnjadi duri dlm khdpn pribadi pk harris?
2024-09-13
0