"Anin, Anin! Bangun Nduk."
Sayup-sayup ku dengar suara ibu memanggilku, sepertinya dia pun menggoyang pundakku dengan perlahan. Tapi tubuh ini rasanya lelah sekali, bahkan kedua mataku pun sulit untuk terbuka. Seperti ada lem yang membuatnya terekat kuat.
"Anin!"
Panggil ibu sekali lagi dan aku mulai memaksakan diri untuk bangun, ternyata mataku sudah penuh dengan kotoran mata, hingga membuatnya sulit untuk terbuka.
"Bu," ucapku setelah sadar.
"Ini sudah jam 9 pagi, ayo bangun. Sarapan dulu," kata ibu.
Kalimat yang membuat mataku langsung terbuka lebar. Meski nampak rabun tapi ku tatap ibu dengan jelas, ibu yang kini duduk di tepi ranjang.
Tunggu, aku dimana?
Ku tatap sekeliling dan melihat ruangan yang begitu asing. "Ini dimana Bu?" tanyaku langsung, aku bahkan buru-buru menurunkan kakiku turun ke lantai. Pantaslah tidur ku sampai seperti orang yang tidak tau diri, karena ternyata kini aku tidur di ranjang yang begitu empuk. Hangat dan nyaman sekali.
"Subuh tadi pak Haris membangunkan ibu, dia gendong kamu pindah masuk ke kamar ini. Ibu sudah mandi, sudah makan. Sekarang kamu bangunlah, bersihkan diri dan ayo kita temui Alena," terang ibu panjang lebar, bicara dengan kedua matanya yang nampak berbinar-binar, sepertinya sedang bahagia sekali.
Sementara aku beberapa detik jadi tergugu mendengar ucapan ibu tersebut. Namun dengan cepat sadar saat menyadari bahwa Alena sudah sadarkan diri.
"Alena sudah sadar, Bu? Aku ingin menemuinya," kataku, bahkan tergesa langsung hendak lari. Tapi ibu menahan lenganku dengan cepat.
"Mandi dulu, menemui Alena juga harus dalam keadaan bersih," titah ibu, masih saja bicara dengan bibir yang tersenyum sampai guratan di pipinya nampak jelas. Ibu pasti sudah bertemu dengan Alena karena itulah dia sangat bahagia.
Aku tidak ingin membantah lagi, awalnya bingung dimana kamar mandi itu, namun ibu langsung menunjukkan tanpa ku tanya.
Di dalam kamar mandi ada shower dengan pilihan air yang bisa ku gunakan, ada hangat dan ada dingin pula. Aku memilih yang dingin dan langsung mengguyur tubuhku, menyiram sampai benar-benar basah.
Aku seperti tanaman di musim kemarau yang tiba-tiba mendapatkan hujan, segar sekali.
Kaluar dari dalam kamar mandi itu ternyata ibu sudah menyiapkan baju ganti untukku. Ibu memilihkan baju yang paling bagus. Namun aku ragu untuk memakainya.
"Bu, aku tidak mau pakai baju itu. Aku ambil sendiri di tas," kataku.
"Baju-bajunya sudah ibu pindahkan di dalam lemari, lebih baik kamu pakai baju ini. Meskipun tidak mungkin tapi ibu ingin kamu terlihat pantas bersanding dengan pak Haris di hadapan Alena. Biar Alena senang saat lihat papa dan mamanya," jelas ibu panjang lebar. Dan tiap kali nama Alena disebut aku tidak pernah bisa membantahnya.
Apalagi sekarang aku tidak punya waktu untuk berdebat, karena sudah sangat tidak sabar untuk segera bertemu anak semata wayangku.
Meski ragu dan merasa malu akhirnya ku ambil baju pilihan ibu tersebut. Lama berpenampilan apa adanya, kini jadi sangat canggung saat menggunakan baju seperti ini, baju terusan atau gaun. Tubuhku yang kurus rasanya sudah pantas memakai baju-baju seperti ini.
"Keringkan rambutmu dan sisir yang rapi, pakai bedak tabur milik Alena," kata ibu lagi.
Aku hanya bisa mematuhinya.
Keluar dari dalam kamar itu aku malah malu sendiri, apalagi jika ingat bahwa sekarang disekitar ku bukan hanya ada Alena dan ibu, tapi juga pak Haris.
Tapi ku kubur dalam-dalam rasa malu tersebut, aku begini demi Alena, apapun yang aku lakukan demi anakku.
"Temui Alena sebentar, setelah itu datang ke meja makan ya, ibu tunggu di sana," ucap ibu.
"Pak Haris ada di dalam kamar Alena, kamu nanti bicara saja, nanti juga dia memberimu waktu untuk bersama Alena," kata ibu lagi.
Tempat Alena beristirahat memang tidak ada pintunya, ruangan itu hanya disekat oleh dinding.
"Iya, Bu," jawabku lalu melangkah menuju tempat Alena berada. Langkahku cukup cepat, sampai akhirnya tiba di sana dan melihat Alena yang tersenyum ke arah pak Haris. Mereka berdua saling menggenggam tangan, nampak begitu mesra.
Pak Haris sepertinya belum mandi, dia masih menggunakan baju yang kemarin.
"Alena," panggil ku dengan suara yang cukup jelas, sampai kedua orang itu menoleh ke arahku.
"Mama," jawab Alena dengan senyum lebar, senyum yang membuatku tersenyum juga.
Ku lihat pak Haris juga tersenyum ke arah Alena, meski terlihat mengabaikan aku tapi dia begitu ingin menunjukkan pada Alena bahwa semuanya baik-baik saja.
"Mama datang, itu artinya papa akan keluar lebih dulu. Tapi ingat, mama tadi belum makan jadi nanti bertemunya sebentar saja ya?" tanya pak Haris pada Alena, menjelaskan lalu memberi perintah, pria itu seolah telah benar-benar mengambil perannya sebagai ayah.
"Siap, Pa," jawab Alena patuh, setelah bangkit dari duduknya pak Haris lebih dulu mencium pipi Alena dengan lembut lalu berjalan ke arahku dengan senyum yang mendadak hilang.
"5 menit lagi aku akan datang ke sini," ucap pak Haris dengan suaranya yang dingin, bicara padaku tanpa menatap, bicara diantara langkahnya yang terus berjalan melewati aku.
Tapi tadi ku dengar jelas saat dia bicara dengan Alena, bicara dengan hangat mengatakan bahwa aku memang tidak bisa berlama-lama di sini, sebab harus makan lebih dulu.
Menyadari itu aku paham akan satu hal, dia mungkin masih marah dan kecewa, namun tak ingin menunjukkan di hadapan Alena.
Ku tepis dulu pemikiran tentang pak Haris, aku lantas kembali tersenyum lebar dan segera menghampiri anakku yang paling cantik.
"Anakku sayang," ucapku dengan gemas, bicara dengan nada bermain akan membuat Alena jadi tambah senang. Aku memeluk dengan hati-hati, mencium dengan hati-hati pula. Alena masih berbaring di atas ranjang, hanya saja kini posisinya lebih naik.
"Apa masih ada yang sakit?" tanyaku setelahnya.
"Tidak, dokter Anton juga heran saat melihatku sudah sehat. Katanya jantung ini seperti tercipta memang hanya untukku," jawab Alena, dia menyentuh dadanya dimana jantung itu berada. Ini semua seperti keajaiban.
Ternyata Alena sudah melalukan pemeriksaan pagi, sayangnya aku masih tidur jadi tidak bisa bertemu dengan dokter Anton.
"Alhamdu_"
"lilah!" ucapku dan Alena bersamaan. Kamu sama-sama mensyukuri tentang hal ini, Alhamdulillah semoga perjuangan selama ini tidak sia-sia. Semoga Alena bisa sembuh dan tumbuh selayaknya anak-anak yang lain.
"Terima kasih Ma," kata Alena tiba-tiba.
"Emm kenapa bilang terima kasih?" katanya yang mendadak sendu.
"Terima kasih karena selama ini menjaga ku dengan baik, terima kasih karena telah membawa papa ke sini," jawab Alena, aku sangat tau bahwa selama ini Alena pun merindukan sosok ayahnya, aku tak ingin memungkiri tentang hal itu.
"Baiklah, terima kasih Alena mama terima. Mama juga ingin mengucapkan terima kasih karena selama ini Alena sudah jadi anak yang kuat."
Aku dan Alena saling pandang sesaat, sebelum akhirnya ku peluk lagi anakku. Hari ini aku tidak ingin menangis, jadi meski dadaku sesak karena haru, aku tetap tersenyum.
Masih menikmati waktu bersama Alena, tiba-tiba ku dengar suara pak Haris kembali terdengar.
"Ma, makanlah dulu," katanya yang tiba-tiba berada di depan ranjang Alena.
Deg! Jantung ku berdenyut, panggilan Ma itu membuat darrahku jadi terasa mengalir lebih deras, sepertinya ini akan jadi sandiwara untuk kami berdua. Di hadapan Alena jadi orang tua yang sesungguhnya, tapi dibelakang? tentu tidak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
R yuyun Saribanon
anin kan lubpernah jd sekretais masa bego utk masalah kamar mandi, jorok ga mandi krn mikirkan sakit elena... kalau seperti karakter yg elu buat thor..mending dari awal si anin di hambarkan wanita tuna wisma aja...yg ga tau arti kebersihan dan bego masalah tata ruang.. secara dia sekretaris loh yg biasa keluar masuk hotel sebagai bahian dari pekerjaannya.. jangan di biat naif banget thor
2025-04-07
0
Katherina Ajawaila
PR gede buat Anin🤪
2024-11-20
0
Mardiana
nah loh...
2025-02-24
0