"Iya sayang, setelah Alena sembuh ayo kita lakukan semua yang ingin Alena lakukan selama ini," jawabku, aku tidak menemukan jawaban apapun selain ini.
Apalagi jika ingat selama ini Alena tidak pernah bermain sebagaimana mestinya. Dia ingin berlari namun baru satu langkah dia ambil jantungnya sudah berdegup ingin pecah, tiba-tiba sesak mendera dan membuatnya urung untuk mengambil langkah cepat tersebut.
Alena tidak pernah bisa bermain dengan leluasa. Aku tidak ingin mematahkan kebahagiaan dengan menjelaskan hal-hal yang lebih rinci tentang aku dan mas Haris.
Karena itulah aku memberikan jawaban yang bisa tetap mempertahankan senyum di bibir Alena.
Lihatlah, kini anak cantik itu tersenyum dengan begitu manis.
Masya Allah, ucapku di dalam hati.
Aku dan Alena saling bicara, saling menggoda sampai akhirnya datang Dokter Anton yang hendak menyuntikkan obat di selang infus Alena.
Aku tetap mendampingi dan duduk di tepi ranjang di samping anakku.
"Tumben dokter yang datang, biasanya perawat," ucapku dan membuat dokter Anton tersenyum.
"Karena ini layanan untuk pasien VIP, Bu," jawab dokter Anton kemudian, membuatku tersenyum kikuk.
Harusnya tidak usah ku tanya lagi pasti ini semua karena mas Haris.
Tak berselang lama setelah Alena di suntik obat, gadis kecilku jadi mengantuk.
"Papa," kata Alena.
"Alena ingin ditemani Papa?" tanyaku pula dan anak manis ini menganggukkan kepalanya. Wajar saja jika sekarang dia selalu ingin melihat wajah sang ayah. Pertemuan setelah 6 tahun waktu berlalu pasti sulit sekali untuk menebus rindu. Di awal-awal seperti ini pasti ingin selalu bersama.
Aku tidak merasa cemburu sedikitpun, aku justru senang karena sekarang Alena memiliki seorang ayah. Lebih senang lagi ketika melihat keduanya saling menyayangi dengan tulus.
"Baiklah, mama akan panggilan papa untuk Alena," jawabku, sebelum pergi ku cium lebih dulu kening anakku.
Lalu melangkah dengan kaki cepat untuk keluar. "Mas," panggilku pada mas Haris yang duduk di ruang tengah.
Dia yang tadi fokus pada ponselnya langsung menoleh ke arahku dengan cepat, juga segera bangkit hingga kami saling berhadapan. "Ada apa?!" tanya mas Haris dengan raut wajah yang nampak cemas.
Eh kenapa dia berlebihan seperti ini? Padahal tidak ada sesuatu yang mendesak.
"Maaf Mas, tapi Alena mengantuk dan dia ingin tidur ditemani mas Haris," jawabku diantara senyum kikuk yang ku ukirkan.
Lantas ku lihat dia membuang nafasnya dengan perlahan, seperti lega karena tidak ada yang urgen.
"Baiklah," jawab mas Haris singkat.
"Maaf Mas_," kataku lagi hingga membuat langkahnya terjeda, "Aku izin sebentar, mau ambil motor di rumah mas Haris," ucapku. Meninggalkan motor di sana membuatku tidak tenang sendiri.
Motor itu bukan punyaku, tapi punya tetangga rumah yang untungnya sangat baik padaku dan ibu. Jadi kami dibebaskan untuk memakainya.
Mas Haris tidak langsung menjawab, malah menatapku dengan tatapan yang entah. Aku tidak bisa menjelaskannya.
"Nanti saja, setelah Alena tidur kita pergi bersama. Aku juga ingin pulang sebentar," jawabnya dengan suara yang terdengar dingin di telingaku. Kehangatan yang dia punya memang hanya ditujukan untuk Alena.
Sungguh, aku ingin menolak untuk pergi bersama. Berada dalam satu mobil dengannya membuatku kesulitan untuk bernafas. Lebih baik aku naik bus saja.
Tapi bukannya menggeleng, kepalaku malah mengangguk kecil.
Aku tidak bisa berdebat dengannya, apalagi Alena juga sudah menunggu papanya datang.
Dan setelah aku mengangguk, mas Haris pun pergi menuju kamar anak kami.
"Huh," aku membuang nafasku kasar, lalu menelan ludah dengan kasar pula.
"Ibu dimana?" gumamku kemudian saat tak ku lihat ibu dimana pun.
Ku putuskan untuk mendatangi kamar dan memeriksa di sana. Benar saja ada ibu, tapi dia tidak sendiri. Bersama seorang wanita yang sedang memijat tubuhnya.
"Bu," panggilku dan ibu menoleh.
"Eh Nduk, ibu lagi dipijat ini lo. Haris yang panggil tukang pijatnya," jelas ibu, kini tiap menyebut nama mas Haris selalu tersenyum bibirnya.
"Siang Mbak," ucap tukang pijat itu pula.
"Iya Bude," Jawabku dengan kepala sedikit mengangguk.
"Bu, aku nanti pergi sebentar ya, mau ambil motor. Kemarin ketinggalan di rumah mas Haris," kataku pamit.
"Iya Nin, nanti ibu yang akan jaga Alena," jawabnya pula.
"Aku keluar ya?"
"Iya," jawab ibu.
Keluar, aku jadi bingung mau kemana. Ingin duduk di ruang tengah tapi juga penasaran apa yang dilakukan mas Haris untuk menidurkan Alena. Jadi ku putuskan untuk mengintip saja.
Pelan-pelan ku langkahkan kakiku menuju ke sana, aku mepet sekali di dinding agar tidak ketahuan. Lalu ku lihat pak Haris yang mengelus lembut puncak kepala Alena.
Ternyata mas Haris tidak hanya diam, tapi dia juga menceritakan dongeng tentang putri cantik dan pangeran tampan.
Bagaimana bisa mas Haris fasih sekali menceritakan dongeng itu, padahal kan dia belum punya anak. Batinku, aku saja masih meraba-raba jika menceritakan dongeng tanpa melihat buku seperti itu, tapi mas Haris sangat lancar.
Oh Ya Allah, Kenapa pula aku membandingkan mas Haris denganku, jelas saja beda jauh. Mas Haris itu pintar bukan main, sementara otakku mendadak tumpul setelah tidak bekerja. Batinku lagi.
Saat ku lihat mas Haris bangun dari duduknya, aku buru-buru berbalik dan menuju ruang tengah dengan kaki jinjit. Jangan sampai lariku menimbulkan suara, jika bisa rasanya aku ingin terbang.
Jantungku berdegup takut ketahuan, deg deg! Deg deg! Cepat sekali degupnya.
Astaghfirullahaladzim, seperti maling! rutukku sendiri di dalam hati.
Lantas duduk dengan kasar di sofa ruang tengah tersebut. Terus berusaha menetralkan detak jantung ku sendiri.
"Pamitlah pada ibu, kita pergi sekarang," ucap mas Haris tiba-tiba. Bicaranya juga buru-buru, seperti ingin cepat-cepat pergi.
"Baik, Mas," jawabku patuh, disaat dia ingin cepat aku tidak boleh lambat, aku harus mengimbangi semua pergerakannya.
Setelah pamit pada ibu, kami pun pergi. Mas Haris berjalan di depan sementara aku mengikuti di belakang. Keadaan seperti ini membuatku langsung teringat dengan masa lalu, saat aku masih jadi sekretarisnya.
Huh! diam-diam ku buang nafasku lagi dengan kasar, saat sadar akulah yang sudah menghancurkan hubungan baik kami.
Aku lah si biang keroknya.
"Duduk di depan," kata mas Haris saat kami sudah sampai di samping mobil beliau.
"Baik Mas," jawabku patuh dan tegas.
Aku juga langsung memasang seat belt saat mas Haris mulai menyalakan mesin mobil.
Tapi sial, saat ku tarik-tarik sabuk itu, sabuknya tidak mau turun. Kemarin aku tidak sempat memakai seat belt ini. Membuat mas Haris jadi menatap ke arahku.
"Bisa tidak?" tanyanya dengan sorot mata dingin.
"Bisa, Mas," jawabku yakin. Ku tarik lagi sabuk itu dengan kuat, tapi malah terasa menyangkut.
Ya Allah. Batinku lirih. Dan detik berikutnya ku lihat mas Haris mendekat, membantuku memakai seat belt tersebut.
Deg!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
sabar ya Nin, org kecil. pasti bawaan nya dek2 an
2024-11-20
0
Mardiana
anin pastinya grogi😁
2025-02-25
0
andi hastutty
Kasian anin serba salah
2024-08-15
1