Ya Allah. Batinku ketika hati mulai berdegup tidak karuan. Semua demi Alena adalah satu-satunya hal yang bisa membuatku berpikir jernih. Kembali menyingkirkan tentang perasaan ku sendiri, anggaplah ini semua sebuah proyek kerja.
Proyek untuk membahagiakan Alena.
Belum ada jam 9 malam Alena sudah mengantuk, dia mulai menguap dan menyandarkan kepalanya di tubuhku.
"Tidur di tubuh Papa sayang, mama pasti lelah," ucap mas Haris kemudian, dia akhirnya melepaskan genggaman tangan kami bertiga, hingga membuat ku bisa bernafas lega, lalu memindahkan kepala Alena dalam pelukannya.
Gadis kecilku menurut, dia menguap lagi dan bersandar dengan nyaman di dadda sang ayah. Kaki Alena naik dan berada di datas pangkuan ku.
"Mendekat lah," pinta mas Haris saat ada sedikit jarak diantara kita berdua, hingga ada bagian kosong dimana kaki Alena mengantung. Aku tak ingin banyak bertanya yang membuatku malu sendiri, pada akhirnya aku mendekat hingga lengan kami saling bersentuhan.
"Tidurlah sayang, Papa dan Mama memeluk mu," ucap mas Haris, suaranya lembut sekali. Aku tidak bisa meminta untuk menidurkan Alena di atas ranjang, mungkin dia pun ingin sesekali Alena tidur di daddanya.
Bukan hanya Alena yang ingin melakukan banyak hal dengan papanya, tapi mas Haris pun ingin melakukan banyak hal pula dengan anaknya.
"Kata Alena, Mama biasanya bernyanyi untuknya sebelum tidur. Coba bernyanyi lah, papa ingin dengar," kata mas Haris tiba-tiba, hingga membuatku mendelik. Mana bisa aku bernyanyi saat ada dia.
"Tapi, Mas_"
"Aku juga mau dengar, Ma." sahut Alena yang masih belum terlelap, namun kedua matanya telah nampak sayu.
Aku tidak punya pilihan lain, entah terdengar sumbang atau tidak. Akhirnya aku bersuara untuk menyanyikan lagu pengantar tidur Alena.
"Ehem," dehemku, coba menetralkan suara lebih dulu. Dengan suara perlahan akhirnya aku mulai bernyanyi ...
The other night, dear, as I lay sleeping
I dreamed I held you in my arms
When I awoke, dear, I was mistaken
So I bowed my head and I cried
You are my sunshine, my only sunshine
You make me happy when skies are gray
You'll never know, dear, how much I love you
Please don't take my sunshine away
Alena akhirnya benar-benar terlelap dengan wajah yang nampak tenang. Mas Haris mengelus wajah Alena lembut. Malam ini seolah berakhir dengan sempurna.
"Ayo Mas, kita pindahkan Alena," ucapku dengan suara lirih. Aku takut mas Haris menahan pegal di tangan kanannya karena menggendong Alena seperti ini.
"Tunggu sebentar lagi, 10 menit lagi. Aku masih ingin memeluk Alena seperti ini," jawab mas Haris.
Aku tak punya kalimat bantahan lagi, sudah ku duga memang jika mas Haris ingin melakukan banyak hal dengan Alena.
Berpelukan seperti ini baginya sudah seperti sesuatu hal yang berharga.
Perhatian kami kemudian teralihkan saat mendengar suara ponsel milik mas Haris bergetar di atas meja. Ada panggilan yang masuk, tapi aku tidak berani untuk melihatnya.
"Tolong ambilkan ponselku Nin, lihat siapa yang telepon," pinta mas Haris. Meski sangat sungkan akhirnya ku ambil benda pribadi milik mas Haris, aku jadi melihat dengan jelas siapa yang menghubungi.
"Namira, Mas," ucapku.
"Diamkan dulu, nanti aku yang akan menghubunginya," balas mas Haris. Dengan ragu ku tekan tanda diam, hingga ponsel itu tak lagi bergetar.
Ada rasa yang tiba-tiba mengganjal di dalam hati, namun buru-buru ku tepis lagi. Ku letakkan kembali ponsel itu di atas meja.
"Aku akan memindahkan Alena sekarang," kata mas Haris.
"Iya Mas," jawabku pula, dengan hati-hati mas Haris berdiri seraya menggendong Alena. Dia bawa gadis kecilku itu ke kamar Alena dan aku mengekor di belakang. Saat mas Haris sudah membaringkan tubuh Alena, aku pun menyelimutinya.
"Tidurlah bersama Alena, aku akan keluar sebentar," kata mas Haris.
"Mas tidak ingin langsung pulang?" tanyaku pula, biasanya setelah Alena tidur mas Haris akan pulang ke apartemen.
"Belum, nanti saja pulangnya," jawab mas Haris.
Aku mengangguk saja, bingung juga mau menanggapi apa lagi. Mas Haris kemudian keluar dan entah apa yang dia lakukan di luar sana. Sementara aku pilih kembali membenahi tidurnya Alena lalu aku naik ke atas ranjang itu pula.
Ranjang berukuran cukup besar ini bisa menampung kami berdua dengan cukup baik.
Ku pejamkan mata sampai akhirnya rasa kantuk itu mendera, nyaris tidak sadar tiba-tiba ku dengar suara mas Haris memanggil.
"Anindya," panggil mas Haris, hingga berhasil membuatku langsung membuka mata. Ingin buru-buru bangun juga namun mas Haris melarang. "Tidak usah bangun, tidurlah saja," ucapnya kemudian. Sementara mas Haris menarik kursi dan duduk di sampingku.
"Ada apa Mas?" tanyaku dengan suara parau. Bicara pelan pula agar tidak mengganggu tidur Alena.
"Namira ingin melihat Alena dan menemui kamu, apa boleh? Aku sudah tidak bisa menahan dia lagi," ucap mas Haris, terdengar seperti membuat sebuah permohonan padaku.
Mas Haris juga mengatakan bahwa jika kedua orang tuanya masih bisa diberi pengertian untuk menemui Alena setelah Alena keluar dari rumah sakit.
Tapi Namira tak bisa menunggu lagi, Namira ingin melihat secara langsung bagaimana kondisi Alena saat ini. Sebagai dokter anak dan pernah menangani transplantasi jantung, Namira pun sungguh-sungguh ingin bertemu dengan Alena.
Bukan hanya sebagai calon ibu sambung, tapi juga sebagai seorang dokter.
"Jika kamu belum mengizinkannya, aku tidak akan membawa Namira datang," kata mas Haris setelah panjang lebar dia bercerita.
Dan tidak mungkin bagiku untuk menolak keinginannya ini. Keadaan Alena juga sudah mulai stabil, aku dan Alena juga sudah saatnya mengenal Namira, mengingat kelak Kami akan sering terhubung.
"Silahkan Mas, ajaklah calon istri Mas datang ke sini. Aku mengizinkannya," jawabku kemudian.
"Jika aku meminta Alena memanggil Namira dengan sebutan mama juga, apa kamu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa Mas, aku akan sangat senang jika Namira bersedia menerima Alena. Karena Alena akan semakin banyak yang menyayangi," jawabku. "Pintaku hanya satu Mas, jangan pisahkan aku dengan Alena."
"Itu tidak akan pernah aku lakukan Anindya, aku tau bagaimana pentingnya Alena dihidupmu. Kamu mempertaruhkan semuanya demi Alena."
"Terima kasih karena sudah mengerti, sekarang giliran aku dan Alena yang akan mengerti kehidupan Mas yang baru. Aku juga tidak ingin karena aku dan Alena Mas jadi terbelenggu. Mas berhak mendapatkan kebahagiaan yang sedang Mas jalani dengan Namira," ucapku pula dan ku lihat mas Haris hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Kata Mas Haris usia Namira sama seperti ku, karena itulah aku diminta untuk memanggil namanya saja. Bahkan tidak perlu ada embel-embel Dokter.
"Baiklah, besok pagi aku akan membawa Namira datang," ucap mas Haris setelah cukup lama ada jeda.
"Iya Mas."
"Sekarang tidurlah."
"Iya Mas," jawabku lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eti Alifa
Anin ga serakah ya, udah baik , sopan , bijaksana dan penyayang tentunya paket lengkap ini mahh🥰
2025-02-01
0
Katherina Ajawaila
sedih amat thour, tapi mau bagaimana lagi hanya Outhour yg bisa mrngatasinya
2024-11-20
0
Mardiana
kok jadi deg deg deg ...
2025-02-25
0