Kupikir aku adalah yang pertama kali berlari menuju pintu ruang operasi tersebut, tapi ternyata bukan. Justru langkah kaki Pak Haris dengan cepat mendahului aku.
Tiba-tiba pria berwajah gusar itu telah berdiri di depanku dan ibu, berada paling depan untuk menyambut Alena keluar.
"Operasinya berjalan dengan lancar, saat ini Alena belum sadarkan diri. Dia akan dipindah ke ruang rawat tapi yang boleh menemaninya hanya satu orang," jelas dokter Anton.
"Baik Dok." Pak Haris yang menjawab, semenjak kedatangan pria itu aku jadi seperti tersingkirkan. Pak Harris selalu maju paling depan untuk pengobatan Alena.
Tapi mau bagaimana lagi, untuk operasi yang paling penting ini pun semua dibiayai oleh pak Haris. Aku sangat ingin mengucapkan terima kasih tapi entah kenapa rasanya lidahku terlalu kelu untuk bicara dengannya.
Tak berselang lama kemudian ranjang Alena pun keluar dari ruang operasi tersebut. Saat ini waktu sudah tengah malam, jadi keadaan di sumah sakit begitu sepi dan tenang.
Pak Haris ikut mendorong ranjang itu, sementara aku dan ibu mengikuti di belakang.
"Tunggu," ucapku tiba-tiba saat ku lihat arah yang kamu tuju berbeda, bukan ke ruang rawat Alena selama ini, tapi entah kemana.
"Ada apa?" tanya pak Haris, dia menatapku dengan sorot mata yang sangat dingin. Aku tak mampu membalasnya, jadi ku alihkan tatapan ku ke dokter Anton.
"Maaf Dok, kenapa lewat sini? Ruang rawat Alena ada di kamar Melati," ucapku dengan ragu-ragu.
"Mulai malam ini Pak Haris sudah memesan ruang VIP untuk perawatan Alena, Anin. Kamu tidak perlu cemas tentang biayanya, semua sudah dilunasi oleh pak Haris," terang dokter Anton.
"Ayo jalan," titah pak Haris kemudian. Dia tidak memberi kesempatan padaku untuk berpikir, karena tiba-tiba setelah penjelasan itu kini semua orang kembali berjalan mendorong ranjang Alena.
Ibu juga nampak bingung, akhirnya kami hanya bisa pasrah.
Mendatangi sebuah lantai yang nampak asing, masuk ke dalam ruangan yang terlihat seperti rumah.
Ruangan ini bersih sekali, sampai aku dan ibu ingin melepas alas kaki di luar. Namun seorang perawat mengatakan 'Jangan, tidak apa-apa, dipakai saja.'
Aku dan Ibu terus mengikuti kemana ranjang Alena di bawa, sampai akhirnya tiba di ruangan yang terasa sangat nyaman, sejuk dan tak ada bau obat, ada ranjang berukuran sedang di sudut kanan.
"Biar aku saja yang masuk," ucap pak Haris.
Aku dan ibu sama-sama tau, di sinilah batas kami untuk melangkah. Berada di ruang istirahatnya Alena hanya boleh ditemani oleh satu orang.
Tapi aku dan ibu masih berdiri di sini, kami melihat dengan jelas saat akhirnya Alena di pindahkan ke atas ranjang.
Alhamdulillah, batinku penuh syukur.
Ya Allah, besok saat Alena bangun ku harap dia tidak lagi merasakan sakit.
Hatiku makin terenyuh saat ku lihat pak Haris mencium kening Alena dengan lembut. Melihat pemandangan itu hati ini seperti diremat dengan kuat, sakit sekali. Bukan sedih, tapi entahlah, rasanya sesak sekali.
"Ibu Anin," panggil seorang perawat hingga membuat tatapanku jadi beralih ke arahnya.
"Ibu Anin, di kamar VIP ini ada dua kamar yang bisa dipakai untuk beristirahat. 1 kamar utama untuk Alena, sementara yang kedua kamar untuk keluarga yang menunggu. Barang-barang Ibu sudah kami pindahkan ke kamar itu," ucap seorang perawat, seraya menunjuk kamar di sisi kiri kami.
Dia juga menjelaskan bahwa di tiap kamar ada kamar mandi. Sementara di sisi lain pun ada dapur dan meja makan yang bisa digunakan.
Di ujung penjelasannya dia berharap kami merasa nyaman tinggal di sini. Karena pasca operasi Alena akan tetap mendapatkan perawatan intensif sekitar 1-2 bulan sebelum Alena diizinkan pulang.
Dan setelah itu dokter Anton serta para perawat meninggalkan ruangan ini.
Ruangan yang mendadak jadi sepi, sementara aku dan ibu bingung sendiri.
"Bagaimana ini Nin? Ibu masih ingin melihat Alena," tanya ibu.
Aku jadi bingung, pasalnya aku pun ingin melihat anakku. Tapi pak Haris tak kunjung keluar dari kamar itu, justru duduk di pinggir ranjang dan terus menatap lurus ke arah Alena.
"Sabar Bu, lebih baik kita tunggu dulu. Ayo kita duduk di sana," ajakku, menunjuk sofa.
Ku lihat ibu mengangguk, jadi ku tarik tangannya hingga kami duduk bersama. Aku dan ibu sama-sama tidak berani untuk masuk ke dalam kamar, meskipun perawat itu mengatakan bahwa barang-barang kami ada di sana. Tapi tetap saja kami tak kuasa untuk masuk.
Kami tidak leluasa, kami takut salah.
Sofa ini terasa begitu nyaman, sampai entah bagaimana ceritanya tiba-tiba aku terlelap.
Lelah sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
semoga jadi baik k depan Anin😌
2024-11-20
0
Mardiana
yang sabar ya Anin
2025-02-24
0
andi hastutty
Sabar anin
2024-08-15
0