Ya Allah, batinku setelah panggilan telepon dengan mas Haris terputus. Aku tau, sangat tau bahwa semua hal yang dilakukan oleh mas Haris hanya demi Alena.
Tapi hatiku makin lama makin tak tau diri, perlahan tersentuh dan terlena dengan semua sikapnya itu.
Hati, jangan begini. Kendalikan dirimu. Batinku, bicara pada hati ini. Semua rasa berlebihan ini tak akan pernah aku tunjukkan apalagi ungkapkan, hanya akan ku pendam sendiri sampai mati.
Aku tidak ingin kembali merusak hubunganku dengan mas Haris, kini semuanya telah baik-baik saja. Meski kami memilih jalan masing-masing, tapi selalu mengupayakan apapun untuk anak kami.
"Wes pulang-pulan, biar Anin dan ibunya menikmati rumah ini dulu," ucap bude Narti dengan suaranya yang khas, terdengar keras juga penuh perintah.
"Oalah sek hurung warek aku lek nyawang," ucap salah satu ibu-ibu, katanya dia belum puas melihat rumah ini.
Aku hanya tersenyum saja, "Nggak papa bude Narti, nggak usah buru-buru pulangnya, biar ku buatkan minum dulu," jawab ku meski belum tau dapurnya dimana.
"Eh jangan! Kamu juga pasti nggak lama kan pulang ini? Alena pasti menunggu mu di rumah sakit. Biar bude dan yang lain pulang saja," putus bude Narti.
Para tetangga yang mendengar nama Alena disebutkan pun langsung setuju dengan keputusan bude Narti tersebut, akhirnya mereka semua pamit untuk pulang.
Ada juga yang meminta maaf karena selama ini tidak bisa membantu memberiku hutangan untuk pengobatan Alena, meminta maaf karena selama ini mencaci maki dan mengumpat aku sebagai wanita yang tidak benar. Secara langsung mereka meminta maaf padaku dan ibu, tentu saja kami langsung memaafkan tanpa pikir panjang.
Selama ini pun aku tudak sempat mendengar ucapan negatif para tetangga, pikiran ku selalu tertuju pada kesehatan Alena.
Setelah semua orang sepi, rumah ini jadi terasa lebih tenang. Ibu juga menutup pintu dan kembali memandang seisi rumah tersebut.
"Ya Allah, Nduk. Bener kan dugaan ibu, Pasti akan jadi seperti ini," ucap ibu.
Aku menghela nafas pelan, "Iya Bu, tapi kata mas Haris dia melakukan ini semua demi Alena. Rumah ini nanti akan Alena tempati," jelasku.
Ibu langsung menganggukkan kepala, seolah langsung paham apa maksudku ini.
"Iya Anin, ibu paham. Setelah 6 tahun berlalu dan akhirnya dia tau bahwa telah memiliki seorang anak. Pasti Haris akan melakukan apapun untuk membahagiakan Alena, membuat hidup anaknya jadi nyaman."
Benar, aku juga berpikirnya begitu. Karena itulah aku dan ibu tak bisa menolak, hanya bisa menerima dan ikut menikmati ini semua.
Aku dan ibu berjalan bersama menyusuri rumah ini, Dari ruang tamu yang luas, kamu masuk ke ruang keluarga yang lebih luas lagi. Dari sini nampak beberapa pintu dan kami buka ternyata ini adalah semua kamar. Totalnya ada 3 kamar dewasa dan 1 kamar yang jelas untuk Alena, karena di dekorasi dengan nada merah muda kesukaan Alena, juga perabotan Barbie boneka kesayangan Alena.
Rumah ini bisa jadi luas karena mas Haris membeli tanah di samping rumahku dulu, tanah yang awalnya adalah rumah kosong. Kini rumah itu juga menghilang dan diganti rumah megah ini. Cerita ini ku dapat juga dari bude Narti tadi.
Selesai melihat kamar kami berjalan lagi sampai ke dapur dan meja makan. Masya Allah sekali, semuanya benar-benar tertata dengan sempurna. Bahkan saat aku membuka pintu belakang, ku lihat ada taman bunga pula di halaman belakang ini.
"Alhamdulillah ya Nin, sekarang Allah membantu kita dengan tidak tanggung-tanggung. Melalui Haris semuanya jadi seperti ini," ucap ibu.
Ku tatap kedua matanya yang berbinar-binar bahagia. "Setelah Alena sembuh nanti izinkan aku cari pekerjaan lagi ya Bu, aku tidak ingin kita selalu bergantung dengan mas Haris. Setidaknya kita harus punya pegangan sendiri."
"Iya, ibu setuju padamu. Ibu juga akan selalu menjaga Alena dalam keadaan apapun," jawab ibu.
Sesaat kami saling memeluk, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah sakit. Meninggalkan rumah yang nanti akan kami tempati.
*
*
Malam hari pun tiba, Alena ingin kami semua menonton televisi yang sedang menyiarkan serial kartun kesukaannya, Barbie si boneka cantik yang selalu mencari solusi dari tiap permasalan yang sedang dia hadapi.
Ibu sudah tidur lebih dulu, jadi di ruang tengah ini hanya ada aku, Alena dan mas Haris.
"Ma, kita matikan lampu utamanya yuk? Biar seperti di bioskop," ucap Alena, mengajukan sebuah permintaan.
Aku melirik mas Haris, ku lihat dia mengangguk.
"Oke, mama akan matikan lampunya. Siap-siap ya," jawabku pula seraya bangkit dan mendekati saklar lampu utama di ruangan ini. Saat lampu utama dimatikan, yang hidup hanyalah lampu temaram di tiap sudut ruangan.
"1 2 3!" ucapku, lalu klap! Lampu pun akhirnya mati.
"Yee!!" Sorak Alena dengan nada pelan, dia memeluk papanya erat seolah pura-pura ketakutan.
Aku hanya tersenyum saja melihat tingkah keduanya. "Ma, duduknya jangan jauh-jauh, sini di dekatku dan papa," pinta Alena lagi.
Tanpa banyak kata-kata aku langsung menurut. Tangan kini Alena menyentuh tanganku, sementara tangan kanan Alena menyentuh tangan mas Haris.
Kami mulai menatap layar televisi tersebut, melihat petualangan Barbie di pantai.
Sesekali Alena tertawa saat melihat siaran tersebut, sandal Barbie hilang diambil para kepiting.
"Lucu sekali! Kapan-kapan kita ke pantai ya Ma? Ya Pa? Aku ingin mencari kepiting juga," pinta Alena.
"Iya sayang." Mas Haris yang menjawab dengan cepat.
"Yee!" sorak Alena lagi, lalu tanpa aba-aba Alena menyatukan tangan kami bertiga.
Deg! Sontak aku buru-buru menarik tangan, tidak lagi mendarat di tangan milik mas Haris yang terasa hangat.
"Mama ambil minum dulu," kilahku saat ku lihat Alena dan mas Haris langsung menatap dengan kompak, seolah bertanya kenapa genggaman tangan mereka dilepas.
"Tapi aku tidak haus Ma," jawab Alena.
"Papa haus sayang, tolong ambilkan ya Ma?" sahut mas Haris pula dan membuatku menelan ludah kasar. Entah mas Haris bohong atau tidak tentang dia yang haus, namun permintaannya itu bisa menyelamatkan ku dari Alena.
"Iya Mas," jawabku kemudian.
Aku pergi membawa jantung yang berdegup, meski hanya sentuhkan kecil namun tetap saja rasanya seperti tersengat listrik.
Ketika kembali aku sudah membawa 2 gelas air putih, 1 untuk mas Haris, sementara yang 1 jaga-jaga untuk Alena.
"Ini Mas, silahkan diminum," ucapku.
"Terima kasih, Ma," jawab mas Haris, dia mengambil gelas itu dan diminumnya hingga habis setengah.
Aku duduk lagi di samping Alena, namun ternyata anak cantikku ini tak pernah lupa dengan apa yang dia inginkan, karena lagi-lagi Alena membuat tangan kami bertiga jadi saling menyatu. Kali ini aku tidak bisa menariknya karena mas Haris dengan cepat menahan.
Menggenggam erat tanganku dan Alena sekaligus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Eti Alifa
kok q senyum2 sendiri🤭
2025-02-01
0
Alanna Th
kmungkinan takut anin mlh kabur lagi
2024-09-13
0
andi hastutty
Mas haris mau apa tidak yah ma anin kenapa seolah olah kasi harapan
2024-08-15
1