Bab 20

"Kakak apa ini sungguh-sungguh?" Dazen hampir menangis dibuat, dengan sebuah motor Ninja pemberian Dante.

Dante terkekeh melihat adiknya yang kesulitan mengatupkan mulutnya, karena terlalu antusias. "Bukankah kau sendiri yang mengatakan hanya bisa mengendarai motor!"

Dazen mengangkat kepalanya, menatap Dante. "Apa itu artinya, jika aku bisa mengendarai mobil maka Kakak akan membelikan aku mobil?"

"Tentu saja tidak! apa kau pikir Yessie itu bank!"

"Yessie?" Beo Dazen.

Dante tersenyum kecil, "Ah maaf sudah terlanjur menerima ucapan terimakasih mu! ini sebenarnya bukan dariku, tapi dari Yessie. Katanya hadiah."

Rahang Dazen jatuh pada batas maksimum, seolah satu kepalan dapat masuk dalam mulutnya. "Kak Yessie yang memberikan ini?"

Dante mengangguk santai. Sementara Dazen yang hampir menangis, kini benar-benar menangis. Pikirnya dia tidak bisa memiliki ini, walau dia menginginkannya. Karena ini di beli dengan uang orang lain, bukan uang Kakaknya.

"Kenapa kau menangis?" heran Dante.

Melihat Kakaknya yang begitu santai, Dazen menyadari kalau pria di depannya cukup tidak tahu malu. "Aku menangis karena aku sangat malu."

Dante mengernyit, "Kalau kau malu, maka kau hanya perlu berubah menjadi tidak tahu malu "

"KAKAKK!" Dazen tanpa sadar berteriak, "... betapa kasar dan tidak tahu malunya dirimu."

"Bagaimana pun ini bukanlah sesuatu yang murah, yang bisa dijadikan hadiah begitu saja." tambah Dazen lagi.

"Sudahlah terima saja! jangan menyinggung Yessie dengan menolak. Nanti itu akan berimbas padaku. Soal mahal dan murahnya, nanti akan Kakak ajak kau ketempat Yessie! dijamin semua perasaan tidak enak hati itu akan hilang."

Dazen masih tidak bereaksi namun Dante sudah berbalik. Dia fokus pada ucapan Dante bagian, ‘... akan berimbas padaku.’ pikirnya mungkin jika dia menolak dan Kak Yessie tersinggung, hubungan mereka akan bermasalah.

Sementara tidak begitu bagi Dante, dia khawatir jika Yessie merasa tersinggung, uangnya akan di potong.

Dengan perasaan tidak enak, Dazen menerima pemberian ini. Tapi dia berencana berterimakasih secara langsung.

•••

Keesokan harinya, Dazen bersiap untuk pergi ke sekolah baru diantar Dante. Mereka pergi dengan kendaraan masing-masing, karena Dante harus segera kembali.

Jantung Dazen berdebar kencang selama perjalanan, dan semua semakin tak terkendali ketika dia sampai disana. Dilihatnya bangunan sekolah bergaya klasik, serta luasnya lapangan dan taman sekolah.

"Si*l, ini pasti mahal."

"Mm, kau benar ini mahal. Jadi jangan terlalu boros." Timpal Dante dengan nasihat , yang tapi tak lama kemudian tertawa. "... Jadi ingat, kalau ada yang memberimu sesuatu atau menawarkan sesuatu, ingatlah untuk tidak menolak, apalagi jika itu para gadis. Ingat, kau harus berhemat."

Dazen tidak yakin dengan perkataan Kakaknya. Memangnya siapa yang akan memberikan sesuatu secara gratis padanya? kalaupun ada itu tidak mungkin banyak atau sering.

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Kakak akan mengirim uang nanti, ayo ke kantor."

Untung saja jam pelajaran sedang berlangsung, jadi ketika keduanya lewat, tidak ada siswa yang melihat. Atau kalau tidak, siapa yang bisa membayangkan kehebohan apa yang akan mereka berikan.

Seperti saat ini saja, di Ruang Ibu Kepala Sekolah ... keduanya disuguhi teh dan cemilan, hal yang tidak umum dilakukan.

Ketika Dazen sibuk mempertanyakan apa yang terjadi, Dante meminum teh dengan sangat alami. Seolah pantas baginya, menerima semua pelayanan yang ada.

Melihat Kakaknya yang masih berbincang, Dazen mengirim pesan keberadaannya pada Sonia.

•••

TING ~~

Sonia yang mendapatkan bunyi notifikasi, segera membuka ponselnya. Melihat itu pesan dari Dazen dia semakin bersemangat.

"Yessss!"

"Sonia kau kenapa?" tanya Sesil, melihat Sonia yang cengengesan saat penyampaian dari wali kelas.

"Jangan hiraukan aku!" Katanya sambil mengedipkan sebelah mata, membuat Sesil memutar bola mata jengah dengan tingkah sahabatnya itu.

Setelah sekian lama menanti balasan, akhirnya pesan dari Dazen masuk. Melihat itu dia segera bergegas keluar.

"Eh, Bu permisi," Sonia mengangkat tangannya.

"Ada apa Sonia?"

"Saya mau izin ke toilet."

Bu Gena mengangguk, mempersilahkan.

Sesampainya diluar Sonia berlari kearah perpustakaan. Ketika dilihatnya sang target, dia senang bukan kepalang.

"Ah menyenangkan sekali, pas banget sih Dazen pergi ke toilet."

Seperti kuda melompat-lompat, dia mendekati Dante.

"Ka Dante?"

Dante sedikit terkejut dengan panggilan itu,

"Eeh kau ...?"

"Sonia! aku Sonia Kak," walau sedikit sedih karena Dante tidak mengingat namanya, tapi itu tidak mengurangi antusias Sonia.

"Dimana Dazen?"

"Dazen sedang ke Toilet! sebentar lagi dia akan kembali! ... Oh, ngomong-ngomong, Sonia kau di kelas mana?"

"Aku, kelas dua belas A-1!" Saking antusiasnya, Sonia sampai menunjuk arah kelasnya.

"Ah sangat kebetulan!! Dazen juga di kelas yang sama denganmu. Tapi Sonia, kau tahu anak itu sedikit aneh bukan? tadi Kepala Sekolah menawarkan untuk mengantar tapi dia menolak. Hanya meminta untuk dihubungi wali kelas."

Sonia mengangguk, "Ya, kebetulan Bu Gena, wali kelas kami sedang di dalam."

Mendengar semua kebetulan ini, Dazen tersenyum.

Sesungguhnya baik dia dan Sonia sama-sama berbicara kebohongan. Sonia berpura-pura tidak tahu dimana Dazen, padahal dia sudah membaca pesan pria itu. Begitu juga Dante dengan kata kebetulannya. Padahal Dazen sudah meminta Dante untuk bicara pada Kepala Sekolah, agar ditaruh di kelas sama dengan Sonia.

"Kalau begitu maukah kau membantu Kakak? bawa formulir ini dan tunggu Dazen. Biar kalian masuk bersama-sama. Aku punya sesuatu yang harus dilakukan secepatnya. Boleh?"

Dibawah senyuman Dante, Sonia seolah terhipnotis. "Baik Kak, jangan khawatir."

Dante kemudian permisi untuk pergi, tapi sebelum itu dia mengacak-acak rambut Sonia ... "Terimakasih Sonia, kau sangat baik." Mendengar hal ini, Sonia seolah terbang ke langit ketujuh.

Dante mengirim pesan kepada Dazen sebelum benar-benar meninggalkan tempat parkir sekolah. Ketika dirasanya semua sudah beres, dia menjalankan mobil keluar ketika sebuah mobil lain masuk.

"Calista? ... Ya, itu Calista!"

•••

Sementara itu Sonia yang masih senang karena kepalanya dipegang oleh Dante, memegang kepalanya sendiri sambil tersenyum. Saking terbuainya dia, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Dazen.

"Akhh!" Pekik Sonia tertahan, karena seseorang tiba-tiba mengacak rambutnya juga.

Dia menatap pria di depannya, "Si-siapa kau?"

Dazen tersenyum kecil melihat tingkah Sonia. "Kenapa kau senyum-senyum sambil memegang kepala heh? jangan katakan Kakakku mengacak-acak rambutmu?"

Mendengar ucapan itu, bola mata Sonia serasa mau keluar "Dazen?"

"Ayo tunjukkan dimana kelasnya?" Dazen sudah melangkah, ketika Sonia menarik tangannya.

"Dazen? kau benar-benar Dazen?"

Mengerti keheranan Sonia, Dazen tiba-tiba memiliki ide untuk sedikit jahil, "kenapa? apa aku masih tidak mirip Kakakku?"

Sonia yang mendengar itu langsung memerah malu. Dia sendiri yang pernah mengatakan hal itu, namun sekarang melihat Dazen yang seperti ini, itu membuatnya benar-benar mirip Dante.

"Sedikit! hanya mirip sedikit!" Kata Sonia yang mencoba menekan rasa malunya.

Mendengar hal ini Dazen tidak terkejut, sepertinya Sonia benar-benar penggemar Kakaknya.

"Ya, baiklah aku tahu. Tidak perlu menunjukkan cintamu sebanyak itu." Kekeh Dazen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!