Dante masih tidak habis pikir dengan kebetulan ini. Bagaimana bisa Calista yang dia cari selama ini, ternyata adalah wanita yang dia pinjami mobilnya dengan paksa.
"Tidak mengapa, yang paling penting aku sudah tahu bahwa dia adalah Calista yang selama ini aku cari." Ucap Dante sambil mengetuk-ngetuk kemudi mobil, mencoba menjadi tenang.
Sayang sekali Calista memiliki urusan. Jadi belum sempat mereka bicara lebih, teman wanita itu sudah datang. Mengingat hal ini, Dante mengembangkan senyum, meyakinkan dirinya tidak usah terburu-buru. Toh, wanita itu tinggal segedung dengannya.
Sepanjang jalan kembali, Dante dibawah pada ingatan masa lalu.
Dia terbayang kilas balik di sore itu ...,
Saat itu dia berusia lima belas tahun, menangis di tanah pemakaman yang masih basah milik Neneknya. Lalu seorang gadis sebaya, mendekatinya dengan sekotak ice cream. Tanpa bertanya dia langsung menyodorkan ice cream itu.
"Ibuku bilang, saat sedih ice cream akan meningkatkan suasana hati dan membuatmu tersenyum. Ini ambillah, jangan menangis lagi."
Dante menatap gadis dengan kacamata hello kitty, dan memakai pakaian serba hitam itu. Nampaknya dia juga sedang berduka. Karena hari itu, selain pemakaman Neneknya, ada juga dua pemakaman lain. Dante menatap Calista lekat-lekat, dia nampak terlalu ceria untuk anak yang berduka.
Dante mengambil ice cream yang diberikan, lalu mempertanyakan rasa penasarannya.
"Apa kau juga berduka?"
Calista remaja mengangguk. "Pamanku baru saja meninggal."
"Pamanmu meninggal, tapi kau terlihat sangat senang?" tanya Dante tak habis pikir. Sebagai seorang yang baru saja berduka, dia pikir sebagai keluarga normalnya adalah merasa sedih.
Calista tersenyum, "Ini adalah rahasia! tapi kata Ibuku, lebih baik bagi Paman meninggal, dari pada menafkahi anak yang bukan darah dagingnya."
Mereka sama-sama berusia lima belas tahun, saat perbincangan itu terjadi. Sehingga mereka bicara sebebasnya.
"Pamanmu memiliki anak, tapi bukan anaknya?" Kira-kira begitu Dante menjelaskan pemikirannya yang dijawab anggukan setuju oleh Calista.
"Ya, setidaknya itulah yang ku ketahui. Apa itu istilahnya ... mm, ah anak haram."
Dante mengangguk, walau dia tidak mengerti benar. Namun perbicangan mengenai anak haram itu, terus berlanjut diantara mereka. Sehingga membuat keduanya cukup dekat saat itu.
Setelah beberapa hari barulah Dante tahu, bahwa Calista tidak berasal dari sini, dan gadis itu akan segera pergi. Tapi ada suatu kejadian yang menjadi sangat berkesan pada Dante.
Hari itu Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk berat. Padahal tidak pernah sebelumnya bagi Dante melihat Ayahnya seperti itu. Awalnya dia pikir, itu karena kesedihan ditinggalkan sang Nenek. Namun dalam racau amarahnya, pria itu ternyata sedih ditinggalkan oleh wanita yang dia cintai, seorang perempuan yang cukup Dante kenal.
Dante merasa terganggu jadi menegur Ayahnya, bagaimana pun, mereka sedang dalam masa berkabung. Tapi bukan tidak hanya di dengar, dia malah memukuli Dante habis-habisan. Dante hampir tidak selamat saat itu, tapi untungnya Calista yang berjanji bermain dengannya, datang mencari dirumah.
Dante yang tidak sadar terbangun di Rumah Sakit empat hari kemudian. Dia ingat betul kata-kata Sang Dokter, bahwa jika terlambat sedikit saja, dia sudah mati hari itu. Dia ingin berterima kasih, tapi Calista sudah pergi hanya meninggalkannya surat.
Kini mereka sudah bertemu lagi. Dante sudah bertemu penyelamatnya. Mengingat penampilan Calista, dia tersenyum. Gadis itu secantik namanya.
•••
"Sudah kembali? cepat sekali!"
Dengan senyuman Dante mengangguk, Membuat Dazen penasaran tentu saja. Dia mendekati Kakaknya yang sedang duduk di sofa. "Kenapa?"
Sebuah toyoran mengenai dahi Dazen. "Knowing every particular object!"
Dazen tidak tahu dan tidak terima. "Berhenti menoyor orang lain sembarangan! tidak semua orang mau menjadi bodoh seperti Kakak! Lagipula, sok sekali pakai istilah."
Dante tertawa, "Jelas sekali sih ketidaktahuan adikku! Hahaha ... makanya bergaul dengan orang, bukan cuman dengan komputer!"
Hal ini membuat Dazen semakin murung saja, dia hendak berdiri ketika sebuah panggilan masuk. Melihat itu dari Sonia, Dazen sedikit terganggu. Dia sebenarnya suka berbincang dengan Sonia, tapi gadis itu terlalu ingin membicarakan Dante.
"Ada apa Sonia?"
" ... "
"Tidak aku sudah akan tidur! Kakakku sedang tidak ada."
" ... "
"Ya, asal kau tidak keberatan saja. Baiklah selamat malam." Dazen menutup panggilan.
"Ya Tuhan!" Dazen mengelus dadanya, terkejut dengan Dante yang sudah di sampingnya.
"Astaga, apa dia menghubungimu hanya untuk menanyakan aku? wow!"
"Omong kosong, dia berjanji untuk menemaniku pergi ke barbershop besok."
Dante terkekeh, "Oyah? lalu kenapa kau mengatakan aku tidak ada disini!" Dante tersenyum mengejek, lalu melanjutkan. "... Kakak bertaruh dia bersedia menemanimu dan menawarkan untuk datang kemari menjemputmu kan?"
Dante membulatkan matanya tidak percaya, "kenapa Kakak bisa tahu?"
Dante mendekatkan bibirnya ke telinga Dazen sambil berbisik, "Karena dia ingin datang melihatku!"
Deg. Jantung Dazen seperti dicubit. Jika memang kebenarannya seperti itu, maka itu artinya Sonia tidak tulus ingin menemaninya.
Melihat kekecewaan Dazen, Dante menepuk bahu adiknya itu. "Maafkan Kakakmu ini. Tidak ada yang bisa disalahkan ketika wajah ini memikat semua hati." Dante tertawa lagi dan lagi, suasana hatinya sangat baik hari ini.
•••
Esoknya, pagi menyapa melalui hangat mentari. Sementara Dazen dibuat bertanya-tanya dengan suara asing lain di luar. Dia menatap jam dinding yang baru menunjukkan setengah enam pagi.
"Ada apa ini?" tanya Dazen tepat saat pintu dibuka. Dazen sampai berkali-kali membenarkan posisi kacamatanya, untuk memastikan apa yang dilihatnya.
Dazen menatap Dante yang tersenyum nakal. Dia tidak perlu bertanya siapa di depannya, karena pakaian wanita itu sudah menunjukkan semuanya.
"Ka-kakak?" gagap Dazen.
"Ah, Sus Naya, ini adik saya Dazen."
Wanita yang dipanggil Sus itu tersenyum lembut dan mengeluarkan tangannya sedikit menunduk, membuat Dazen mau tidak mau harus memalingkan wajahnya.
"Halo Tuan Muda Dazen."
"Ah, Halo ... panggil saja Dazen." Dia tidak nyaman dengan panggilan ala orang kaya ini. Bagaimanapun dia hanya remaja desa, yang sedikit beruntung.
Tapi bukan hanya itu, fokus utama Dazen ada pada hal lain. Dia berjalan mendekati Dante.
"Eh, kalau begitu saya permisi dulu untuk bantu Ibu."
Dazen dan Dante mengikuti kepergian Sus Naya, sebelum Dazen menyenggol tangan Dante.
"Kak, apa kau yakin dia perawat yang kau sewa untuk menjaga Ibu?"
"Shut, jangan terlalu kuat. Apa kau tak melihat pakaian dan gantungan identitasnya!"
Dazen menatap Dante horor, "Kak! Ayolah aku serius! dibandingkan seorang perawat dia mirip seorang ...,"
"Seorang apa?" potong Dante cepat. "Hah, hayoo ... mirip siapa?" Dante tahu pemikiran Dazen dengan benar. Lagi, dia hanya ingin menggoda adiknya itu.
"Ah sudahlah!" kesal Dazen.
"Mirip apa hah? mirip film-film yang kau tonton?" melihat perubahan wajah Dazen mendengar ucapannya, Dante tertawa terbahak-bahak.
Siapa yang tidak akan berpikir begitu, ketika pakaian Sus Naya begitu ketat dan cukup terbuka di bagian atas. Belum lagi tubuhnya yang super sintal dan wajahnya yang cantik, oh ayolah ...
Dante menepuk bahu Dazen, seperti yang akan dilakukannya jika memberi nasehat. "Wajar bagi pria pernah melihat film-film seperti itu! Tapi, mau sampai kapan hanya melihat film?"
Dugh. Dazen mendorong Kakaknya itu menjauh. "Bicara apa! sembarangan sekali."
Josephine keluar dari kamar mendapati wajah cemberut Dazen, ketika Kakaknya tertawa lantang. Dia tahu si bungsu sudah menjadi korban lagi.
"Bicara apa sih? ramai sekali tawanya."
Dazen bersedekap dada. "Ramai itu kalau semua tertawa, tapi kalau cuman satu mana bisa di bilang ramai?" Ketusnya.
Josephine membelai Dazen, "Sudah jangan cemberut lagi. Kau akan tinggal dengan Kakak saat Ibu pergi, jadi Ibu mohon kalian jangan bertengkar oke?"
Hanya ini yang bisa Josephine katakakan. Dia masih terlalu sungkan untuk menegur atau mengingatkan Dante, jadi hanya bisa mengatakan melalui Dazen.
Melihat Ibu mereka yang akan bersiap untuk pergi hari ini, bukan hanya Dazen, Dante juga sedikit sedih. Tapi meski tidak menunjukkan, dia memulai dengan membantu wanita itu menyiapkan barang-barang. Itu alasannya dia bangun lebih awal hari ini.
Dan sejujurnya, tadi itu adalah salah satu hal paling membahagiakan yang pernah terjadi bagi Josephine.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments