Bab 4

Dante menatap kaca berulang-ulang, memastikan reaksi seperti apa yang akan dia berikan. Saat ini wanita yang ternyata tidak sendirian itu, akan segera sampai di depan pintunya.

"Ayo, Dante! ayo pikirkan sesuatu." Tapi terlalu banyak berpikir jelas tidak menghasilkan apa-apa.

"Argh sudahlah." Dante mengacak rambut frustasi. Dia kemudian kembali menatap kaca dan mengatur rambutnya. "Sudahlah, semua sudah terjadi bukan. Mari kita lihat saja, apa yang di perlukan wanita itu?"

Tepat setelah kata-kata itu jatuh, bunyi bel terdengar. Sedikit tertegun, Dante akhirnya pergi kearah pintu. Tangannya sudah di gagang pintu tapi terhenti, 'Mungkin tidak usah bereaksi adalah jalan keluar.' Putus Dante akhirnya.

Klek, pintu dibuka.

Mata Dante bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang nampak kurus dan lemah. Tidak ada perasaan apapun yang muncul, meski melihat wanita itu mulai berkaca-kaca.

Di sebelahnya ada seorang remaja laki-laki, dengan kacamata dan terus menatap lantai. Membuat Dante tanpa sadar juga menatap lantai, bertanya-tanya apa yang dilihatnya.

Sedikit lama terdiam, "jadi ada apa?" kata Dante dengan suara rendah. Dia bahkan tidak mempersilahkan mereka masuk. Bersikap seolah dia bisa menjadi jahat.

"Halo Tuan!" Tiba-tiba suara perempuan lembut memasuki telinga Dante.

Matanya segera menangkap wajah Tera, salah satu pegawai disini. Wajah kaku Dante segera berubah hangat.

"Saya, membantu mengantar Ibu anda kemari." kata Tera malu-malu. Sebenarnya tidak ada yang meminta bantuannya. Tapi karena mendengar ini adalah Ibu Dante, Tera ingin mengambil kesempatan.

Mendengar hal itu, Dante tiba-tiba tertawa canggung. "Haha, terimakasih banyak. Terimakasih banyak Tera. Aku tadinya ingin menjemput mereka langsung, tapi perutku sedang tidak enak dan beberapa kali harus kebelakang."

Tera yang mendengar hal itu, langsung merasa kasihan. "Yaampun, apa anda memiliki obat? jika tidak aku akan mengambilnya."

Dante tersenyum kali ini, "Kau sangat baik Tera. Tapi tidak apa, lagipula Ibuku sudah ada disini. Bukan begitu Ibu?" kata Dante dengan mata hampir melotot.

Melihat hal itu, Josephine mengerti. Dia pun membantu Dante, berpikir wanita ini mungkin saja disukai Dante, karena sikap anaknya yang tiba-tiba berubah lembut.

"Ya, jangan khawatir Nona."

Dante sangat lega bahwa Josephine bersedia menyetujuinya. Tanpa Josephine tahu, bahwa semua wanita yang membantunya, sebisa mungkin akan Dante jaga perasaan mereka dengan lembut.

"Ah baiklah kalau begitu! saya permisi dulu." Ucap Tera sebelum pergi. Dia bahkan memberikan sedikit gestur menunduk pada Josephine. Membuat Dazen yang melihatnya merasa heran.

Setelah melihat wanita itu akhirnya memasuki Lift, "Cepat! cepat masuk kalian." Dante setengah panik. Hampir saja dia menakuti Tera tadi.

Kalau sampai Tera merasa takut, siapa lagi yang akan membersihkan apartemennya secara sukarela.

Melihat banyaknya barang dengan tas-tas plastik, Dante merasakan sakit kepala. Tapi begitu, dia tetap membantu memasukan sebagian barang.

Kini ketiga orang itu sedang duduk dengan canggung di sofa. "Hey, kau? apa kau memiliki masalah tulang leher? kenapa hanya menunduk terus?"

Dazen yang mengerti itu dirinya, mengangkat kepala secara perlahan. Tatapan kedua Kakak-adik itu bertemu untuk pertama kali.

Bagi Dazen, Dante bahkan terlihat lebih baik secara langsung. Untuk seseorang seperti dia, yang memiliki masalah kepercayaan diri, itu cukup membuat iri.

Sementara bagi Dante, Dazen sebenarnya memiliki fitur wajah yang bagus, hanya saja tersembunyi di balik tebalnya kaca dan model rambut usang.

Bukan tanpa alasan, Dante menilai penampilan. Dia adalah seorang yang narsis, terbiasa merasa lebih baik.

Sementara untuk wanita di sampingnya, Dante tahu bahwa hampir tujuh puluh persen ketampanannya, telah di sumbang oleh wanita itu. Hanya diam-diam merasa bersyukur.

Dengan kedua tangan terlipat di dada, Dante memulai percakapan ... "Jadi, apa maksud untuk kedatangan ini?"

Josephine merasakan penolakan Dante, tapi dia tindak ingin menyerah. Walaupun dia berkata, dia datang untuk menitipkan Dazen! nyatanya yang paling dia inginkan adalah bertemu Dante.

"Dante anakku, sudah lama sekali kita baru bisa bertemu ... kau tahu, Ibu sangatlah merindukan mu. Ibu hanya ...," perkataan Josephine terhenti karena dia mulai menangis lagi.

Sementara Dante, menelan ludah kasar. Dia tidak terbiasa dengan hal-hal emosional seperti ini. Dia mungkin tahu, cara menenangkan wanita. Tapi dia tidak tahu, cara menenangkan seorang Ibu.

Dante tiba-tiba saja berdiri. Dazen pikir, pria itu tidak suka dan akan meninggalkan mereka. Tapi yang nyatanya terjadi, Dante malah mengambil sekotak tisu di bufet TV.

Meskipun tanpa bicara, dia tetap memberikan tisu dengan menaruh di depan Josephine. Hal ini membuat Dazen tertegun. Pembawaan Dante tampak arogan, tapi mungkin seperti yang Ibunya katakan ... 'Dia adalah pria yang baik.' Pikir Dazen.

Hal ini tanpa sadar, membawa sedikit harapan bagi Dazen. Mungkin saja dia memang bisa tinggal bersama pria itu.

"Oke, apa kau sudah bisa bicara dengan tenang?" Penggunaan kata pengganti oleh Dante, memperjelas hubungan mereka yang sudah sangat jauh.

Josephine menyeka pipinya sekali lagi, sebelum mulai bicara. "Dante, ini Dazen adikmu. Dia anak Ibu dalam pernikahan kedua."

Meskipun Dante tidak ingin memanggilnya Ibu, Josephine bersikeras tidak ingin kehilangan statusnya.

Dante yang mendengar hal itu, mengangkat sebelah alisnya. "Langsung saja! tolong."

"Dante ... Ibu ingin menitipkan Dazen padamu."

Dante memundurkan kepalanya karena kaget. Saking kagetnya dia sampai tertawa. "Ada apa ini? apa aku adalah tempat penitipan anak?"

Dazen sebenarnya sudah tidak enak hati mendengar percakapan ini. Apalagi yang dibicarakan adalah dirinya. Tapi dia sadar, dia tidak boleh menyela diantara mereka.

"Dante, Ibu tahu kau tidak akan menyukainya hal ini! hanya saja---"

"Kalau kau tahu? kenapa kau tetap memaksakan hal ini?" Ada sedikit getaran dalam suara Dante. Bagi dia wanita didepannya ini sangat kasar. Pergi selama dua puluh tahun, dan kembali untuk menitipkan saudara tiri. 'Kekurang-ajaran apa ini?' pikir Dante.

"Dante bersama denganmu dia akan aman. Lagi pula, kota ini akan memberikan lebih banyak peluang bagi---"

"Bagi apa? Lalu jika dia tinggal disini! apa dia akan membayar makanannya sendiri? apa dia akan mengambil bagian membayar tagihan? apa kau akan menyokong uangnya, di negara sebesar ini?"

Josephine terdiam. Dia tidak memikirkan hal ini sebelumnya. Dia hanya melihat kehidupan Dante cukup mampu, jadi mungkin dia bisa sedikit membantu adiknya.

"Sudah cukup! hentikan omong kosong ini. Kalian bisa tinggal disini karena sebentar lagi akan malam. Tapi kembalilah besok pagi-pagi." Dante pun berdiri. Mengambil jaket dan kunci mobil, dia keluar tanpa menatap sedikitpun.

Sementara Josephine langsung terduduk, lemas. Ya, Dante benar! dia sangatlah egois. Dia tidak memberikan tanggung jawab apapun pada Dante, tapi berani meminta sesuatu darinya.

Air mata Josephine keluar, tatkala didengarnya Dazen yang mencoba membujuk. "Ibu, sudah tidak apa. Kita masih punya uang untuk kembali. Tidak apa! jangan menangis. Dia benar! hidup tidaklah mudah, apalagi di Kota besar dan maju seperti ini."

Josephine menatap Dazen sendu, di tangkupnya pipi putra bungsunya itu. "Maafkan Ibu. Menjadi begitu egois untuk kalian. Harusnya Ibu mendengarmu! tapi Ibu terlalu ingin melihat Kakakmu, jadi memaksa. Maafkan Ibu Dazen ... Ibu juga tidak bisa menyediakan tempat aman bagimu."

Air mata Josephine semakin deras, begitu pula dengan Dazen yang ikut menangis. Tidak ada yang bisa disalahkan, semua orang memiliki alasannya masing-masing.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!