Sekelas penuh dengan hiruk-pikuk ketika Dazen masuk. Walaupun dia sangat malu, dia berusaha untuk tidak menunduk sesuai ajaran Dante.
Bu Gena yang melihat ketampanan murid barunya yang begitu menarik perhatian, harus ekstra keras menenangkan kelas.
"Sudah cukup, sekarang Dazen perkenalkan dirimu dengan lebih detail."
Dazen mengangguk, "Halo semua, kenalkan nama saya Dazen Benio. Sebelum pindah kemari, saya melakukan homeschooling. Terimakasih."
"HHHHUUUUUU!!!" Seruan bersama dengan bunyi meja yang ditepuk-tepuk, sedikit membuat Dazen takut. Namun melihat senyuman dan tawa mereka yang nampak hangat, Dazen sedikit lebih nyaman.
"TENANG! TENANG SEMUA!" Kata Bu Gena.
Tapi berbeda dengan yang lain, Sonia yang duduk di pojok menjadi pendiam. Dia hanya menatap Dazen dengan perasaan tidak nyaman.
Hingga Sesil menyenggol bahunya, "Hey Sonia, kau ini benar-benar sesuatu. Memiliki teman setampan itu, tapi tidak memberitahu."
"Apasih kau ini!" risih Sonia.
"Nah sekarang Dazen, duduklah di bangku belakang yang kosong itu."
Mendengar Dazen yang akan duduk di belakang-nya, Sesil meraih tangan Sonia dan meremasnya.
"Aww, Sonia kau dengar itu."
"Ishh!" Sonia memutar bola mata jengah dengan tingkah Sesil. "Kenapa harus begitu senang, hanya soal tempat duduk."
Mendengar ucapan sahabatnya itu, Sesil sampai menutup mulut tidak percaya. "Jika seseorang seperti Dazen tidak menarik perhatianmu! Oh, Sonia betapa tingginya seleramu."
Dengan angkuh Sonia membenarkan, "tentu saja! Dazen terlalu biasa untuk diriku!" Kata Sonia sambil mencoba memikirkan Dante. Namun semua pemikirannya buyar tatkala melihat senyuman Dazen.
Untuk mencapai tempat duduknya, Dazen harus berjalan melewati Sonia dan Sesil. Berbeda dengan Sonia dan tampangnya yang sedikit bete, Sesil tersenyum secerah mentari.
"Nah, anak-anak siapa yang ingin berkenalan dengan Dante, Ibu beri waktu sebentar."
Sonia sontak harus berdiri, tatkala teman-temannya segera mengerumuni Dazen, baik laki-laki maupun perempuan. Tempat duduk mereka yang dekat, menyebabkan pemakaian ruang yang banyak, membuat Sonia hampir terjepit. Hal ini menambah kekesalannya, yang dia tidak tahu juga kenapa.
Sementara itu, Dazen benar-benar merasa sesak. Dia awalnya sangat senang dengan sambutan yang diberikan, namun semakin banyak mereka, semakin sesak dia. Nyatanya, membuka diri dengan kepribadian introvert-nya benar-benar sulit.
"Oke! Oke! Sudah semua!" Bu Gena sampai harus bertepuk tangan, untuk mengambil perhatian.
"Sudah cukup kalian! jangan menakuti Dazen. Nah, Dazen mulai saat ini, Ibu mengucapkan selamat datang dan selamat belajar."
Dazen mengangguk dengan canggung. Karena dengan posisi tempat duduk yang paling belakang, itu membuat teman-temannya menengok kebelakang, manakala perhatian Bu Gena yang sedang terarah padanya.
Tapi mata Dazen menangkap satu hal, yakni Sonia menjadi satu-satunya yang tidak menengok. Ini membuatnya jiwanya yang suka menyendiri menjadi senang.
•••
Sementara itu Dante dalam perjalan bersama Calista ke gedung seni sekolah. Dia masih terkejut bahwa Calista adalah seorang pelatih orkestra di sekolah ini.
"Jadi Dan, apa yang ingin kau katakan tadi?"
Sedikit ragu-ragu jikalau Calista ingat, namun dia menjelaskan. "Apa kau ingat, sekitar delapan tahun lalu. Kau bertemu seseorang di pemakaman Pamanmu?"
Langkah Calista terhenti, dia diam menelusuri ingatannya. "Yaa, ada apa?"
Mendengar jawaban Ya, Dante merasa senang luar biasa. "Mm, orang itu aku."
Calista mengernyit. Mengerti apa yang salah, Dante meluruskan. "... waktu itu aku memperkenalkan diriku dengan Juan. Itu adalah nama tengahku."
Mata Calista membulat tak percaya, "Astaga Juan? itu benar kau?" Saking tidak percayanya Calista, dia sampai memegang kedua pundak Dante, mencoba mencari kemiripan diantara pria ini dan remaja di masa lalunya. Hingga senyuman menawan Dante yang khas, langsung menyapu keraguan Calista.
Masih dengan Calista yang tidak percaya, Dante mengucapakan terimakasihnya yang terlambat.
"Cal, ini mungkin sudah lama sekali. Tapi kalau kau tidak tiba tepat waktu saat itu, aku mungkin akan kehilangan nyawaku. Mm, ... ini sedikit terlambat, tapi Calista, terimakasih banyak."
Mendengar ucapan terimakasih yang begitu tulus itu, hati Calista tersentuh. "Sama-sama Juan, maaf karena pergi tiba-tiba. Senang mengetahui kau baik-baik saja."
Dante membalas senyuman Calista dengan lembut, sebelum bercelutuk. "Eh, bisakah kau memanggilku Dante sekarang. Nama Juan, sering jadi ejekan teman-temanku dengan memanggil Don Juan."
Mendengar ini Calista dibuat tertawa, wajah malu-malu Dante cukup lucu pikirnya. "Jangan bilang, kau dipanggil Don Juan karena memang suka bermain wanita."
"Apa? Tidak!! Tidak!!" Tolak Dante cepat. Bahkan jika itu kebenaran, tidak mungkin dia mengakui hal itu bukan.
Melihat reaksi Dante, Calista tertawa lagi. "Sudah, sudah! baiklah! aku hanya bercanda." Keduanya kemudian berjalan lagi hingga tanpa sadar sampai gedung seni. "Baiklah Dante, terimakasih sudah mengantarku."
Dante mengangguk, "Baiklah, sampai jumpa." Dia hendak berbalik sebelum teringat, "eh, Calista ... bisakah aku menghubungimu?" tanya Dante dengan mengangkat ponselnya. Ya, dia berhasil mendapatkan nomor Calista tadi.
"Ya, kapan saja." Kata Calista sebelum berbalik dan masuk, sambil melambaikan tangannya.
Melihat pemandangan ini, Dante merasa kehidupan berjalan sangat baik untuknya.
•••
Sementara kembali ke kelas. Ketika waktu istirahat tiba dan semua murid berhamburan keluar, Dazen hanya ingin berbicara dengan Sonia. Siapa tahu gadis itu bisa memberikannya tour mengelilingi sekolah baru, harapnya.
"Sonia?" panggil Dazen setengah berbisik di telinganya. Membuat gadis itu terlonjak.
"Dazen, kau ini---"
"Sonia," percakapan mereka terhenti dengan panggilan Haris, sang ketua kelas. "... ayo ke gedung seni! ada pelatih baru yang akan datang hari ini."
"Ah, baiklah Haris, kau duluan saja. Aku akan menyusul."
Setelah persetujuan itu, Haris pun pergi, menyisakan Dazen dan Sonia di kelas.
"Kau akan ke gedung seni untuk apa?"
Sonia bersedekap dada. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia sangat kesal kepada Dazen. "Memangnya kenapa pula kau bertanya!"
Dazen yang bisa merasakan kekesalan Sonia, mencoba meniru gaya gadis itu dengan bersedekap dada dan membuat wajah cemberut. Dia tidak tahu apa ini benar atau tidak! tapi kata Dante ini salah satu cara membujuk gadis yang merajuk.
Tapi sayang, caranya yang kikuk malah membuat Sonia semakin kesal. "Dazen!!!" Setengah berteriak, wajah Sonia semakin cemberut saja.
"Maaf, aku hanya bertanya! lagipula kenapa kau tampak sangat kesal padaku? padahal aku hanya ingin diajak olehmu untuk berkeliling!" Kata Dazen jujur.
"Kenapa harus aku? kenapa tidak yang lain saja? bukankah banyak yang menawarkanmu untuk jalan-jalan tadi! contohnya si Sesil itu kan!"
Dazen mengernyit tidak mengerti. Namun dia berusaha untuk tenang dalam penjelasannya, "itu karena aku tidak mau! aku hanya ingin berkeliling denganmu saja."
Mendengar ucapan Dazen, Sonia semakin kesal. Dia menghentak kakinya keras sebelum berjalan keluar. Dazen yang tidak mengerti apa-apa, menganggap itu sebagai persetujuan untuk boleh ikut.
Dengan dipandangi banyak pasang mata, Dazen berjalan mengikuti Sonia. Penampilan keduanya membuat heboh, karena Sonia yang dikenal sebagai bunga sekolah, baru saja berjalan dengan siswa baru yang sangat tampan.
Dazen yang ditatap semakin tidak nyaman, memutuskan untuk merapat kearah Sonia. "Aku tidak nyaman!" Bisiknya. Sonia yang dari tadi mengacuhkan Dazen, merasa sayang kala melihat keringat sudah membasahi laki-laki itu.
"Ayo, cepat!" Ajak Sonia setengah berlari. Untung saja gedung kesenian, memiliki jarak yang lumayan dengan gedung kelas.
•••
Sesampainya disana Dazen menyuruh Sonia masuk saja, dia akan menunggu diluar.
"Tidak apa! ayo masuk saja." Tanpa bertanya Sonia menarik tangan Dazen menaiki beberapa anak tangga di depan gedung.
Selain terkenal karena parasnya, Sonia juga merupakan seorang anggota orkestra yang memainkan cello, dan kadang tampil sebagai pemain utama. "Ayo duduklah disini, aku akan kedepan."
Dazen mengangguk, dia juga bersemangat dengan kegiatan sekolah yang belum pernah dia lihat itu sebelumnya.
Tapi Sonia baru beberapa langkah berjalan sebelum dia dibuat mematung, dengan wanita yang berjalan kearahnya.
"Hay Sonia!"
"Calista?"
Dazen yang berdiri tidak jauh dari situ, jelas mengenali Calista. Orang yang membantu Kakaknya saat tersedak. Namun dengan penampilan Dazen, Calista tidak mengenali remaja itu, meskipun pandangan mereka bertemu.
"Ke-kenapa kau disini?"
Calista tersenyum lembut, namun matanya penuh ejekan. "Kenapa? apa kau punya masalah. Aku adalah pelatih baru disini."
Sonia tanpa sadar mundur beberapa langkah, dia terkejut mendapati Calista disini. "Tidak! itu tidak mungkin." geleng-nya tidak percaya.
Melihat syok dimata Sonia, Calista semakin maju mendekati gadis itu. "Apa kabar anak haram?"
Mendengar itu tinju Sonia mengepal, jika bukan karena situasi saat ini, dia bersumpah, dia akan menampar wajah sepupunya itu.
Tidak mau membiarkan Calista bicara lebih, Sonia berbalik dan meninggalkan gedung seni. Dazen yang hanya melihat tapi tidak bisa merasakan ketegangan diantara para gadis, terkejut dengan Sonia yang lari tiba-tiba.
Dia hendak mengejar tapi di hentikan dengan ucapan Calista, "Berhati-hatilah terhadap gadis itu!"
Dazen menatap Calista dengan tanda tanya, tapi gadis itu hanya tersenyum dan berbalik pergi lebih dahulu. Meski tidak mengerti, Dazen memutuskan lanjut mengejar Sonia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments