DON JUAN BEING A BROTHER
Dia segera mematikan panggilan tanpa beban, kembali menemui teman-temannya.
Tapi begitu dia masih sedikit risih. Untuk menekan perasaan itu, Dante menyalakan mode pesawat.
"Siapa Bung?" tanya Matthew. Mereka memang cukup bebas, untuk saling bertanya hal pribadi seperti itu.
"Tidak ada. Sepertinya salah sambung."
Lucas sambil membuka kaleng soda, menanggapi ... "Mungkin saja salah satu wanita yang menjadi korbannya."
Matthew menanggapi ucapan Lucas dengan tawa, tidak jauh berbeda dengan Dante.
"Awalnya suara seorang anak laki-laki, lalu kemudian seorang perempuan yang menangis."
"Menangis?" tanya keduanya serentak.
"Ya, menangis. Katanya dia adalah Ibuku. Konyol!"
Lucas dan Matthew sontak bertatapan, lalu menatap Dante lagi.
"Dan, bagiamana kalau itu memang Ibumu?"
Dante mengernyit, tidak setuju.
Lucas mengangguk, menyetujui ucapan Matthew.
"Hei, Don Juan ... apa kau mau mencoba kelas akting? sepertinya peranmu lumayan juga!"
"Ya, peran untuk memainkan seorang anak yang menyangkal Ibunya." timpal Matthew.
Dante akhirnya menyadari sesuatu, di tengah tawa kedua sahabatnya itu.
Ya, mereka benar. Dia masih memiliki Ibu, walau wanita itu tidak tinggal dengannya saat ini.
Dante tidak tahu kapan dan bagaimana tepatnya. Tapi yang di dengar dari Ayah serta Neneknya yang sudah meninggal, kedua orang tuanya telah bercerai saat dia berusia 3 tahun.
Ibunya telah kembali ke negera asalnya, di suatu provinsi kecil. Sementara dirinya dan sang Ayah hidup jauh di padatan megapolitan terbaik.
Semenjak perceraian itu, Dante sudah tidak pernah memiliki komunikasi apapun. Jadi wajar saja, jika dia melupakan soal Ibunya.
Tapi nampaknya ... para sahabat yang mengetahui semua tentangnya, tidak melupakan hal itu.
"Hei Dan, kenapa wajahmu tegang begitu! Come on bung, kami cuman bercanda."
Dante menggeleng, "Tidak! mungkin saja kalian benar!"
Pria itu pun kembali berjalan menjauh untuk mengecek ponselnya.
Sementara Lucas dan Matthew hanya bisa saling bertatapan, sebelum memulai latihan golf mereka, tanpa Dante.
Sementara itu, Dante membuka mode pesawatnya dan benar saja ada banyak panggilan tak terjawab.
Dia sudah siap untuk menelpon lagi, ketika diingatnya bahwa itu panggilan luar negeri. Setelah menimbang-menimbang hal yang tak seharusnya, Dante akhirnya pergi ke resto di area golf situ.
Ketika dilihatnya seorang wanita yang nampak beberapa tahun lebih tua darinya, sedang duduk sendirian. Dante melihat baik-baik nomor telepon tadi, sebelum mematikan ponselnya.
Akhirnya dengan begitu alami, dia mendekati wanita itu. Karena bagi Dante, mungkin saja selain dia! semua orang di tempat ini memiliki uang yang cukup.
"Permisi!"
Wanita yang tadinya sibuk dengan ponsel itu terkejut dengan sapaan Dante. Suara pria di depannya itu, begitu berat namun lembut di saat yang bersamaan.
"Ah, ada apa?"
Dante tersenyum, "Maaf ponselku kehabisan baterai, tepat saat sedang bicara dengan Ibuku. Dia mungkin khawatir, "... apakah anda memiliki charger?"
Wanita yang sempat dibuat linglung oleh senyuman Dante, tiba-tiba merasa khawatir. Penampilan Dante dikombinasikan situasinya, membuat sang wanita merasa bersalah jika tidak membantu.
"Um, sayang sekali aku tidak membawa."
Wanita itu menggigit bibirnya tatkala melihat raut kekecewaan Dante.
"Kalau begitu tidak---"
"Bagaimana kalau telepon? um, maksudku bagaimana kalau kau telepon saja Ibumu."
"Ah, tidak usah." Tolak Dante. "... Ibuku sedang diluar negeri. Aku tidak bisa menjadi kurang ajar, dengan menggunakan biayamu untuk menelpon kesana."
Wanita itu tertawa pelan mendengar penjelasan Dante. "Tidak! jangan katakan hal seperti itu, kau bisa menggunakan ponselku ... semuanya tersedia di dalam. Pakailah! jangan membuat Ibumu khawatir."
Wanita itu bahkan menyodorkan ponselnya. Dengan sedikit keengganan yang tentu saja hanya akting, Dante mengambil ponsel itu.
"Kalau begitu aku permisi sebentar."
Dante menjauh sedikit dari meja itu, sementara yang punya ponsel sibuk menatap pria itu.
Dia sudah sering melihat Dante dan teman-temannya bermain di klub ini. Menurutnya Dante memang sangat menarik mata! sudah lama dia memperhatikan, tapi tentu saja hanya sebatas itu.
Lagi pula para pria itu, tampak berusia awal dua puluhan. Sementara dia sendiri sudah berusia awal tiga puluhan. Hanya masih tidak menyangka, akan menyapa pria muda seperti Dante lebih dekat.
"Ah, dia tampak baik dilihat secara langsung."
•••
Sementara Dante memasukkan nomor yang berusaha dihafalnya dalam waktu singkat.
Ketika panggilan terhubung, jantung Dante berdetak lebih dari biasanya. Dia tidak pernah melihat wanita dikatakan sebagai Ibunya, dan sebenarnya dia juga tidak tahu, akan mengatakan apa.
"Halo?" Suara laki-laki yang pada awalnya, pikir Dante. Jika di dengar seksama, nampak seperti suara remaja.
"Ini kau yang menelponku tadi kan?"
Sedikit terdiam barulah ada balasan, "Ya!"
"Hei, ada apa kau menerorku? dan mana wanita tadi? kenapa dia mengaku-ngaku sebagai Ibuku."
"Enam panggilan tak terjawab, tidak bisa disebut teror. Dan wanita yang kau tanyakan itu, adalah Ibumu. Josephine Lea!"
Dante mematung, Ya benar ... Ibunya adalah Josephine Lea. Walaupun dia tidak pernah melihatnya, tapi bukan berarti dia tidak tahu.
Ayahnya cukup sportif untuk tidak menyembunyikan apapun darinya.
"Lalu dimana dia?"
"Apa kau ingin bicara?"
Dante bingung sendiri. Entah apa dia benar ingin bicara atau tidak.
"Kau bisa bicara! tapi bicaralah dengan baik. Ibu sedang sakit."
Dante sampai menjauhkan ponsel dari wajahnya. Gaya bicara anak itu cukup to the point, walaupun terdengar sedikit kekanakan.
Dan apa itu tadi 'Ibu?' Anak itu memanggil Ibu. Yang artinya, mungkin saja remaja laki-laki itu anak Ibunya juga. Dante tidak tahu perasaan asing apa yang menghinggapinya, sehingga begitu tak tertahan dia hendak mematikan ponselnya ...
"Halo? Dante? Itu kau nak?" Suara ringkih itu terdengar lagi, membuat Dante tidak nyaman. Namun begitu, dia segera menguasai dirinya.
"Ada apa? kau menelpon begitu banyak, tidak hanya untuk menangis bukan?"
Wanita itu mulai terisak pelan, tapi terdengar juga berusaha untuk tenang. "Dante, aku Ibumu Josephine Lea. A-aaku tidak tahu, apa ayahmu mengatakan atau tidak! tapi yang---"
"Dia mengatakannya!" potong Dante.
Dalam pendengarannya, wanita itu mencoba membuat penilaiannya kabur.
"... tidak, tidak bukan begitu." Wanita itu menangis lagi.
"Dengar cukup. Aku tidak memiliki banyak waktu. Jika ada yang ingin kau katakan! katakan segera."
"Dante, Dante!! Ini Ibu, aku tahu ini terlambat untuk mengatakannya, tapi aku harap aku bisa bertemu denganmu!"
Dante tersenyum getir, ternyata benar itu Ibunya.
"Datang dan temui aku jika kau ingin. Masih kota yang sama."
TITT ~~~
Dante mematikan panggilan begitu saja. Dia sedih tanpa tahu untuk apa.
"Sudahlah Dante!" katanya seolah menghipnotis dirinya.
Dia berbalik dan menuju ke meja wanita tadi. Ekspresinya mendamai dengan cepat.
"Maaf memakai terlalu lama."
"Tidak, tidak apa."
"Ini ponselmu. Terimakasih Nona ...?" Dante mengangkat sebelah alisnya.
"Ah, Helena."
"Nona Helena." Dia tersenyum sedikit, "... nama yang indah. Dengan perpaduan wajah itu, orang-orang yang berkenalan tidak akan pernah melupakanmu."
Helena tertawa dengan kata-kata Dante, dia tahu pria itu membual. Tapi mungkin disinilah perbedaannya! Dante adalah pria tampan, jadi tidak memuakan mendengarnya berbicara seperti itu.
Lagipula cara Dante menyanjung, terdengar alami dan tak terlalu di paksakan. Membuat Helena menarik nafas panjang yang diakhiri senyuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Axelle Farandzio
Gak sabar tunggu lanjutannya!
2023-09-07
0