"Ibu, bukankah sudah katakan tidak usah!"
"Dazen, ini adalah yang terbaik. Dia adalah Kakakmu! lebih aman untuk tinggal dengannya, dari pada Ayahmu!"
Dazen menarik nafas frustasi,
"Darimana? darimana Ibu tahu bahwa lebih aman bagiku untuk dengannya dari pada sendirian? aku yakin Ibu sendiri tidak mengenalnya dengan baik!"
"DAZEEENNN, Uhukk ... Uhukk!!"
Melihat Ibunya terbatuk, Dazen menjadi panik.
"Ibu, Ibu tidak apa?" tanyanya khawatir.
Melihat batuk itu sulit mereda, dia pun mulai mengusap punggung ringkih wanita itu.
"... sini, Ibu duduklah. Maafkan aku," katanya pelan.
Remaja tujuh belas tahun itu, segera mendudukkan Ibunya.
Dazen sapaannya, tidak bermaksud untuk bicara hal menyakitkan seperti itu pada Ibunya. Hanya saja, Dazen masih tidak bisa menerima, keputusan sepihak Ibunya.
Keduanya hanya tinggal bersama, di sebuah kota kecil berbudaya. Saking berbudaya nya, saat sang Ibu di pukuli habis-habisan oleh Ayahnya ... orang-orang malah menyuruh Ibunya intropeksi diri, sebagai seorang wanita. Hal yang sesat menurut Dazen.
Tatkala itu, sempat ada kebahagiaan di hati Dazen, manakala Ayahnya pergi meninggalkan mereka. Tapi kini, masa sulit lainnya kembali. Sang Ibu dinyatakan mengidap kanker darah, dan sudah berada pada tahapan lanjut.
Hati Dazen sangat hancur, saat mendengarnya pertama kali. Ternyata itu adalah alasan, kenapa tubuh Ibunya semakin kurus dan lemah kian hari.
Sementara bagi Sang Ibu, keadaan Dazen adalah segalanya. Dia tidak ingin saat dia tiada nanti, akan datang hari dimana suaminya kembali. Dia takut, pria kejam itu akan menghancurkan Dazennya yang lemah.
Anaknya ini, memang memiliki penampilan yang sedikit berbeda dari teman-teman sebayanya. Menggunakan kacamata besar dan tubuh yang selalu membungkuk, menjadi ciri khas Dazen, yang membuat orang-orang selalu mengejeknya.
'Entah bagaimana dia bisa salah memilih dalam pernikahan keduanya.' Pikir Josephine sang Ibu.
Pemikiran dan kekhawatiran ini terus berlarian di kepala Josephine. Hingga suatu hari ... dia tidak tahan lagi. Hal yang telah lama disimpannya sendiri, tidak kuat lagi untuk Josephine tahan. Dengan harapan anaknya mau mengerti, dia akhirnya memberitahukan kebenaran itu pada Dazen.
Sementara Dazen yang menerima kebenaran itu, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Kebenaran mengenai pernikahan pertama Ibunya, benar-benar diluar dugaan. Selain itu, fakta baru mengenai dia yang memiliki Kakak laki-laki, benar-benar canggung baginya.
Dazen telah berusaha menjadikan dirinya sangat kuat karena berpikir dia adalah satu-satunya anak sang Ibu. Untuk itu, walaupun dia melewati berbagai kesulitan mulai dari kekejaman sang Ayah, hingga pembulian baik disekolah maupun lingkungan bermain, Dazen menahan semuanya sekuat hati.
Dia tidak menyesali menahan semuanya sendirian, hanya saja membayangkan dia memiliki Kakak laki-laki ... entahlah. Karena Dazen sendiri tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perasaannya saat itu.
Tapi kini, Sang Ibu ingin dia mencari sang Kakak. Dazen awalnya menolak, namun begitu dia sendiri sangat penasaran.
Dituntun oleh keinginan dan penasaran, Dazen akhirnya mulai mencari informasi sang Kakak.
Dante Juan Zios, nama pria itu akhirnya terbayang-bayang berhari-hari dibenaknya. Penampilan pria itu sangat tampan pikir Dazen. Awalnya, dia bahkan mengira sang Kakak adalah model atau aktor.
Penampilan dan gaya hidup Dante yang terpampang di media sosialnya, sangat berkelas. Mulai dari meminum wine, bermain basket, pergi ke klub golf, naik kapal pesiar, hingga belajar di Universitas ternama. Membuat Dazen sangat rendah diri.
Entah bagaimana bisa, Ibunya berpikir untuk mengantar dia pada Sang Kakak ... bahkan jika pria itu menerimanya, Dazen takut dia hanya akan menjadi beban dan mempermalukannya.
"Dazen??"
"Mm, Ya Bu!"
"Kenapa melamun?"
Dazen menggeleng, tidak bisa menyatakan kekhawatirannya.
"Dengar, persiapkan dirimu ... tiga hari lagi kita akan berangkat ke negara Z."
"Tapi, bagiamana---"
"Jangan khawatir, tanah peninggalan Kakekmu telah Ibu jual! dengan uang itulah kita akan berangkat."
Dazen semakin tidak memahami Ibunya, "Ibu bagaimana kalau dia tidak ingin aku disana?"
Josephine menggeleng, "Tidak. Dia anak yang baik! dia di asuh ayahnya, jadi dia adalah orang yang baik."
Dazen menggaruk kepalanya, "Bagaimana dengan alamat? apa Ibu tahu alamatnya?"
Josephine tersenyum, "tentu saja kau yang akan menemukannya!"
Mendengar jawaban Ibunya, Dazen terdiam.
Ya, Josephine memang tidak salah. Alasan kenapa kacamata Dazen sangat tebal, karena dia menghabiskan banyak waktunya di depan komputer.
Istilah populernya, adalah nerd.
Dazen semakin sakit kepala, entah mungkin efek karena sakit, sehingga Ibunya lebih sulit dihadapi.
Maksud Dazen adalah seperti ini, dia juga seorang laki-laki, jadi setidaknya baik dia dan Dante, pasti memiliki sudut pandang yang sama.
Siapa orang di dunia, yang ingin menerima kedatangan Ibunya setelah pergi selama dua puluh tahun? Sudahlah soal Ibunya, tapi bagaimana dengan saudara tiri, yang tiba-tiba dititipkan??
Dazen yakin, Dante pasti keberatan.
"Akkhhh!!" Semakin Dazen pikirkan, semakin sakit saja kepalanya.
•••
Hari-hari berlalu dengan cepat.
"Ibu, sudahlah ... biar aku yang membawakan tas ini!" ucap Dazen yang mulai kesal.
Selain pakaian dan barang-barang mereka, kini dia juga harus menenteng satu tas besar kue kelinci.
"Tidak, apa ... kue kelinci ini biar Ibu yang bawa! saat kecil Kakakmu suka sekali dengan kue ini."
Oh, sungguh rasanya Dazen ingin memarahi Ibunya. Bukannya kenapa, hanya saja kue kelinci hampir seperti makanan bayi. Dazen, sangat yakin ... Dante tidak akan menerima hal itu.
"Apa ini benar alamatnya?"
"Yaa!"
"Kalau begitu ayo kita cari kakakmu. O yah, pakai jaketmu dengan benar. Ini bukan negara kita, iklim disini bisa membuatmu sakit."
Dazen segera membenarkan posisi jaketnya. Saat ini mereka ada di salah satu negara terbesar dengan gedung-gedung pencakar langit terbaik.
Hiruk pikuk perkotaan benar-benar hal yang baru bagi Dazen. Namun di saat bersamaan, dia berusaha keras untuk menjaga dirinya tidak terlalu bersemangat.
Karena saat ini mereka tidak memiliki tempat tujuan tetap. Jika Dante menolak, bisa saja mereka tidur diluar malam ini, mengingat uang mereka yang pas-pasan.
"Ayo, gedungnya sudah dekat."
Kedua orang itu mulai melangkahkan kaki mereka lagi. Ya, karena keterbatasan ... mereka hanya bisa menaiki bus satu arah dan berhenti di stasiun. Selanjutnya mereka lanjutkan berjalan kaki.
Cukup lama berjalan kaki, mereka akhirnya tiba disebuah gedung apartemen mewah.
Josephine menatap bangunan itu dengan takjub, "Kakakmu sepertinya menjalani kehidupan yang baik. Jika kau memiliki kesempatan, belajarlah darinya."
Dazen menahan nafas kesal, mereka bahkan belum bertemu tapi Ibunya sudah memberikan nasihat perpisahan.
"Maaf, ada yang bisa dibantu?" tanya sang penjaga pintu.
"A-aku datang menemui putraku, dia tinggal disini."
Sang penjaga menatap keduanya dari atas kebawah dan merasa ragu. "Bisa saya tahu, siapa nama putra anda?"
"Dante! Dante Zios." Ada kebanggaan dalam suara Josephine tatkala menyebutkan nama anaknya itu.
Tentu saja sang penjaga mengenal Dante, pria paling ramah dalam gedung ini.
"Permisi sebentar."
Sang penjaga itu masuk kedalam dan mencari resepsionis yang bertugas.
"Hubungi Tuan Zios, nomor 11-a! Tanyakan apa benar ibunya datang?"
•••
Dante yang baru saja mematikan panggilan video dari salah satu donatur keuangannya, di kagetkan dengan panggilan telepon apartemen.
"Ada apa?"
"Tuan, apakah benar Ibu anda datang berkunjung?"
Satu detik, dua detik, tiga detik ...!
"APA?? DIA BENAR-BENAR DATANG??" teriak Dante.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
valeria la gachatuber
Sudah menunggu mati-matian, tolong update sekarang juga thor!
2023-09-08
0