Bab 19

Dante mengernyit heran dengan suara dari kamar Dazen. Saat ini dia sedang berada di ruang tengah dan berkutat dengan laptop. Dante memandangi jam yang menunjukkan pukul satu tengah malam.

"Kenapa anak itu?" Dia awalnya tidak ingin mencari tahu, namun ketika suara-suara tidak jelas itu berubah menjadi isakan, dia berjalan cepat ke kamar Dazen.

"DAZEN! DAZEN! DAZEN!!" Butuh beberapa panggilan yang kuat, untuk membuat Dazen akhirnya tersadar.

Dia bangun dengan wajah sepucat kertas dan peluh yang membasahi bajunya. Dante dengan inisiatif menyodorkan air, "Ini minumlah."

Setelah sedikit tenang, barulah kemerah-merahan nampak di wajah Dazen. "Kau kenapa? apa yang terjadi?" Melihat Dazen yang hanya tertunduk, Dante mencoba sekali lagi. "Dengar, aku tidak memaksa. Tapi jika kau mau, kau bisa berbagi denganku. Aku yakin itu bukanlah sembarangan mimpi, sampai bajumu basah begitu! "

Dazen terdiam, melihat pakaiannya yang memang basah seperti dicelup dalam air. Sementara memperhatikan keterdiaman adiknya, Dante memutuskan beranjak. Tapi begitu tidak di sangka, ketika dia berdiri Dazen menghentikan.

"Aku bermimpi buruk. Bukan mimpi, lebih tepat disebut mengingat kembali apa yang terjadi." Kata Dazen tenang. Kejadian tadi siang, telah membangkitkan memori kelam yang coba dia tekan selama ini. Kali ini dia tidak kuat lagi, dia ingin berbagi.

Dante mendudukkan dirinya di depan Dazen, yang pikirannya sedang menerawang.

"Katakan, Kakak ingin mendengarnya!"

Dazen menatap Dante, dia melihat ketenangan pria itu. Entah kenapa, dia ingin memiliki ketenangan yang sama. Dia ingin kepercayaan diri, yang dimiliki Kakaknya itu.

Dazen mulai mengurai cerita sedihnya. Cerita yang ditahannya seorang diri selama bertahun-tahun. Cerita yang menjadi belenggu terberatnya.

Mendengar setiap cerita Dazen, Dante benar-benar marah. Perundungan yang dialami Dazen ternyata bukan hanya perundungan biasa melalui ejekan, atau bukan juga hanya perundungan fisik. Perundungan yang dialami Dazen, lebih kepada pelecehan yang melukai harkat dan martabatnya sebagai laki-laki.

"Lalu kau diam saja?"

Dazen mengangguk, tanpa emosi dan air mata. Baginya itu adalah mimpi buruk yang paling menakutkan. Itu membuatnya kehilangan kepercayaan diri sebagai seorang laki-laki selama bertahun-tahun.

Dante ingin bicara menggebu-gebu, mengeluarkan sudut pandangnya. Namun untuk pertama kali, dia ingin tahu pendapat Dazen.

"Tapi sampai kapan kau akan seperti ini? kesembuhan tiap orang adalah tanggung jawab masing-masing, meski penyebab sakitnya dilakukan orang lain. Jadi Dazen, sampai kapan kau akan seperti ini?"

Dante menepuk bahu Dazen, "Pikirkan!"

Baru saja Dante hendak berdiri, meninggalkan Dazen dan pikirannya, tapi remaja itu sudah bersuara. "Sampai tadi!"

Dazen menatap mata Dante, dengan tekad yang tidak pernah dilihat sebelumnya. "Sampai tadi aku tidak peduli pada diriku sendiri. Sekarang tidak lagi, aku ingin melepaskan semuanya. Aku ingin hidup lebih baik. Jadi ... Kakak, maukah kau membantuku?"

Dante mengedipkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna. "Jadi itu artinya?"

"Artinya aku ingin berubah. Tolong bantu aku, khususnya perasaan ku. Aku ingin percaya diri dan merasa lebih baik."

Mendengar hal ini, Dante menarik ujung bibirnya. "Kakak bisa membuatmu lebih dari percaya diri, jika kau mau mengikuti apapun yang Kakak katakan!"

Dazen menatap Dante penuh harap, "benarkah?"

Dante mengangguk, "Setelah hari ini, hidupmu akan akan berjalan mudah! sampai-sampai kau lupa pernah melewati hal menakutkan itu."

Ucapan Dante seolah menghipnotis Dazen, jauh kedalam. Mulai hari itu, dia berpikir untuk memulai jurnal baru dalam hidupnya.

•••

"Dazen coba telepon Ibumu! kenapa dia belum kembali juga?"

Dazen memutar-mutar remot tv, "Kata Ibu sebentar lagi. Dia masih ingin menunggu pernikahan anak tetangga."

Mendengar itu, alis Dante menyatu. "Ada-ada saja! menunda kepulangan untuk pernikahan anak tetangga? mana sudah satu bulan pula?"

"Tetangga itu sangat baik kepada kami, mungkin Ibu ingin sedikit membalas budi."

Dante berdecak kesal. Sekarang dibanding Dazen dia jauh lebih merindukan wanita paruh baya itu. Dante hendak berdiri pergi sebelum teringat.

"Oh, ingatlah untuk melakukan latihan mu! untuk kepindahan, kita akan mencari referensi terlebih dahulu. Kita akan bicarakan ini nanti, saat aku kembali!"

Dazen hanya mengangguk, sambil melanjutkan tontonan-nya. Sudah sebulan ini dia kesulitan bahkan hanya untuk sekedar duduk dan bersantai. Semenjak malam dia dan Dante mencapai kesepakatan, hari-harinya langsung berubah.

Dia yang dulunya hanya berkutat dengan laptop baik sebelum, sementara, maupun sesudah kelas daring-nya, kini tidak lagi. Olahraga dimulai dari jam empat pagi tanda kesehariannya sudah berubah. Jangankan untuk bersantai, dia bahkan kesulitan hanya untuk menemukan waktu membuat tugas.

Awalnya Begitu berat dan menyakitkan. Tapi untungnya proses tidak menghianati hasil. Dia yang dulunya dengan tubuh pas-pasan dan punggung bungkuk, kini memiliki postur yang lebih baik. Dazen sendiri tidak menyangka jika tinggi tubuhnya cukup diatas rata-rata remaja lainnya. Tapi yang paling berpengaruh dalam penampilannya adalah rambutnya. Guntingan side parted hair yang dipilihkan Dante awalnya tidak nampak bagus untuk dirinya. Namun sesuai perkataan Dante, setelah berat badannya bertambah dan pipinya mulai bervolume, gaya rambut itu benar-benar cocok untuknya.

Sampai-sampai setiap malam, Dazen akan menatap kagum dirinya di depan kaca. Bertanya-tanya, apakah ini benar dirinya?!

Karena perubahan ini telah membuat Dazen nampak seperti adik kandung Dante yang sesungguhnya. Hal ini bahkan dikatakan oleh teman-teman Dante, saat dia membuat Dazen, ikut kelas tinju bersama mereka.

Dazen tidak bisa, merasa tidak senang. Apalagi kemarin dia baru saja merasakan apa yang dimaksud dengan kemudahan dari keindahan. Dia yang datang terlambat, tidak bisa membeli buku dari cerita favoritnya. Dengan begitu kecewa dia akan berbalik, sebelum seorang gadis menahannya dan menawarkan buku itu. Bukan cuman gadis itu, ada yang lain juga, yang menawarkan tidak usah di bayar.

Dia sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Mencoba untuk tenang tapi tidak bisa. Ya walaupun penampilannya sudah berubah, nyatannya kepercayaan diri belum mengikuti. Dia masih ragu-ragu dan takut, apalagi jika dia sudah menjadi pusat perhatian, seperti belakangan ini. Rasanya Dazen ingin lari saja.

Berkonsultasi dengan Kakaknya, pria itu mengatakan lebih bagus untuk menjadi malu-malu saat sekolah, itu akan membuat nilai tambah. Sungguh Dazen tidak mengerti pernyataan itu dan sangat penasaran. Saking penasarannya dia memutuskan untuk setuju masuk sekolah.

"Apa aku tanya Sonia saja?" Kira-kira Dazen. Walaupun menonton tv, pikirannya sedang tertuju pada hal ini.

Setelah cukup waktu untuk berpikir, Dazen akhirnya memilih bertanya pada Sonia. Pikirnya lebih baik, jika memiliki seseorang yang dikenal di sekolah baru.

Dazen pun mengirimkan pesan mengenai tujuannya. Tapi sebelum ini, Sonia pun sudah tahu bahwa Dazen sedang mencari referensi sekolah.

Sejak hari itu, hubungan mereka cukup membaik. Walaupun Dazen awalnya tertarik pada Sonia, dia akhirnya bisa menerima jika gadis itu menyukai Kakaknya. Merasa juga sudah cukup dekat, Sonia tanpa sungkan mengatakan, dia ingin mengejar Dante.

ini kali pertama, Dazen tidak setuju, tapi dia memutuskan untuk tidak ikut campur lebih. Karena kadangkala dia juga bingung dengan hubungan Kakaknya. Katanya berpacaran dengan Yessie, tapi sebaliknya beberapa kali kedapatan berjalan dengan wanita lain.

•••

Sementara di tempat lain, Sonia yang mendapat kabar dari Dazen sangat senang. Selain senang karena sudah menjadi sahabat, Sonia memiliki pemikiran licik lain. Berpikir jika Dazen sekelas dengannya, dia bisa mengajak pria itu membuat tugas dirumahnya dan melihat Dante.

Karena sudah semenjak kejadian itu, Dazen menolak bertemu dengannya karena sibuk. Entah sibuk apa, Sonia jelas tidak percaya. Tapi yang paling penting, kini dia akan sering melihat Dante, jika dekat dengan Dazen.

•••

"Bu, bagaimana kalau kita kembali saja?" tanya Sus Naya, pada Josephine.

"Sabar sebentar, setelah acara pernikahan Kinara kita akan langsung kembali."

Mendengar hal ini, Sus Naya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bukan waktu yang menjadi masalah disini, tapi fakta kesehatan wanita itu memburuk semakin hari. Belum lagi dia menolak, jika hal ini diberitahukan kepada putranya.

Sungguh mengkhawatirkan, pikir Sus Naya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!